Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[WPC] Kedamaian dari Dekat

2 Juni 2012   05:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:29 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Nenek, maukah kau ceritakan sebuah kisah? Aku merindukan Ibu-Bapak." Sang nenek tersenyum. Ia lalu meminta cucunya duduk di merapat di lantai dengan kaki bersila. Mereka tak mendengar banyak bunyi-bunyian jelang Dzuhur itu. Debu terpapar cahaya bagai opera yang menari-nari tanpa tujuan. Anak itu bertopang dagu. Matanya besar nampak indah dengan bulu yang panjang-panjang di kelopaknya. Mata hitam penuh kegalauan. "Ada suatu waktu di masa lalu," sang Nenek memulai ceritanya sambil menggela napas. Pandangannya menerawang entah ke mana. "ketika kita hidup berdampingan. Tetangga saling bertukar lauk untuk makan malam. Anak-anak sepertimu bermain di lapangan terbuka tanpa gangguan. Layangan diterbangkan setiap hari. Kau bahkan bisa melihat dari dekat sepasang belalang yang sedang kawin." Anak kecil itu, Hanif, melebarkan matanya. Rambutnya lusuh tapi wajahnya nampak bersih. Gigi-gigi kecilnya sesekali mengintip. Ada senyuman yang seperti menggumam. "Pasti asyik," bayangnya. Tapi neneknya hanya bisa tersenyum. "Dulu di kala itu, nenek masih kecil. Orang-orang saling menyapa. Mereka berbeda kain penutup kepala, berbeda bentuk dan merek sepatu, tapi seragam di satu saf. Mereka menunduk bersamaan, dan mengangkat kepala dan tangan bersama-sama ketika menang." Nenek itu dengan tersenyum kemudian mengangkat segenggam pasir dan memperlihatkannya dekat-dekat di hadapan cucunya. "Cerita kedamaian ini, bisa jadi bagian dari masa lalu, Nak. Tapi kau harus yakin, bahwa kau akan mendapatkannya kembali di masa depan. Ketika semua ini selesai." Anak itu terdiam dan menunduk nyaris lesu. "Tapi kapan ini semua selesai, Nek?" Bahkan suaranya pun pelan. "Hanif cucuku, keserakahan manusia tiada batasnya. Tapi begitu pula cinta. Kelak akan ada satu-dua orang yang membawa cinta mencuat ke permukaan. Seperti sepasang kekasih yang membentuk dunianya sendiri." Pandangan nenek begitu dalam, sampai seperti memeluk cucunya dari mata sampai ke hati. "Ada suatu negeri jauh di sana, di mana orang-orang merasakan perbedaan setiap hari, lalu menikmatinya sebagai keberagaman. Masyarakatnya datang dari banyak suku tapi menikmati makan siang bersama di satu meja kecil. Suatu hari kau akan tiba di sana. Rasakanlah kedamaianmu sendiri, lalu ajaklah banyak orang bersamamu." Namun anak itu seperti tidak mengerti. Tapi ia bisa merasakannya semakin dekat. Kemudian neneknya berkata lagi. "Kelak, kau akan mendapatkan keberanian yang mengubah ini semua. Mulailah dari merasakan yang di sini ..." Nenek itu merapatkan telapak tangannya ke dada Hanif. "Dan di sini," kali ini telapak tangan merapat hangat ke kepala sang cucu. "Lalu dunia akan berubah.  Seperti sebuah taman tempat kau bermain bersama ayah dan Ibu." Anak itu mencerna kata demi kata. Menghapalakan nada bicara dan pesan di balik nafas sang nenek. Matanya mengarahkan pandangan ke luar pintu. Mengikuti arah terbangnya debu, melihat pantulan kawat berduri yang dilempar di jalan. Telinganya menangkap kembali suara-suara teriakan orang dan bunyi berondong peluru yang jatuh di atas aspal berpasir. Bunyi derapan langkah berganti-ganti, sampai akhirnya hening. Seperti ia bisa merasakan bunyi angin yang sampai ke telinga dan turun ke dadanya. Lalu kerongkongannya berubah sejuk. Senyumannya terangkat. Betapa sebuah taman yang indah. Adzan berkumandang. Di suatu tempat di dekat gurun, anak itu tersenyum di bawah atapnya. Mimpinya berbicara tentang suatu negeri yang lebih damai. [caption id="attachment_185208" align="aligncenter" width="585" caption="Ilustrasi sepasang belalang (Afandi Sido/LikaLikuPhotography)"][/caption] ==================== Untuk Weekly Photo Challenge eps. 7

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun