[caption id="attachment_179184" align="aligncenter" width="500" caption="ilustrasi/admin(shutterstock.com)"][/caption] Tahun 2012 sepertinya akan menjadi awal sinar matahari yang lebih cerah dan sejuk hinggap di perfilman nasional. Animo masyarakat meningkat menyusul semakin banyaknya film produksi dalam negeri yang diapresiasi di luar negeri. Dari benua Eropa hingga Amerika, film-film Indonesia pada tahun ini diapresiasi lebih baik, bahkan mencatat rekor tingkat penayangan tertinggi. Sebuah awal? Awal sukses perfilman Indonesia pada 2012 kabarnya justru datang dari dua benua berbeda. Film laga "The Raid: Redemption" arahan sutradara berkebangsaan Wales Gareth Hue Evans berhasil menarik perhatian banyak kritikus film dunia setelah diputar pertama kali di segmen Midnight Madness Toronto Film Festival akhir 2011 lalu. Secara beruntun, film yang menonjolkan bela diri silat ini diapresiasi oleh Cadillac Midnight Madness People's Choice Award, diputar di Festival Film Internasional Dublin Jameson di Irlandia, Festival Film Glasgow di Skotlandia, Festival Film Sundance di Utah, AS, dan Festival Film Busan di Korea Selatan. Situs kredit film-film ternama dunia, IMdb bahkan memasukkan "The Raid" ke daftar sepuluh film aksi terbaik sepanjang masa. Di AS, hanya butuh dua hari bagi film ini untuk meraup penjualan tiket senilai US$221.ooo. "The Raid" tidak sendirian menjajal kesuksesan di ajang internasional. Film drama yang diproduseri Kemal Arsyad dan Meiske Taurisia "Postcards From the Zoo" juga berhasil menembus Berlinale (Internationale Filmfestspiele Berlin atau Festival Film Internasional Berlin) yang ke-62 pada Februari lalu. Ada juga film thriller "Modus Animali" arahan sutradara Joko Anwar ikut menarik perhatian beberapa lembaga kritikus film Amerika, termasuk SXSW. Di tengah-tengah penantian penikmat film global akan film-film sekuel dari judul-judul terkenal seperti "The Avengers" dan "Iron Man", film-film Indonesia berhasil memanaskan garis start sejak awal 2012. Riuh-rendah perbincangan banyak forum pecinta film internasional tentang film-film Indonesia sejauh ini lebih dari sekadar angin segar terhadap tim produksi lokal. Ini tentu menjadi motivasi produktif bahwa insan film tanah air sudah siap untuk karya-karya yang lebih heboh, menggugah, dan lebih baik di segi sinematografi dan dialog. [caption id="" align="alignnone" width="650" caption="Salah satu adegan dalam film "Modus Anomali"/SXSW, Peter Martin"][/caption] Tentu saja kritik-kritik melayang terhadap film-film di atas. Ada yang menyebut "The Raid" masih bisa lebih baik dari segi dialog dan teknik pengambilan gambar; Seorang penikmat film mengatakan "Postcards from the Zoo" masih terlalu kekanakan; dan SXSW masih mencatat beberapa poin yang membuat Modus Anomali tak begitu menarik. Tapi selebihnya, sudah ada nama-nama Indonesia di teater-teater Eropa dan Amerika! Selamat Tinggal Pocong Di dalam negeri sendiri, animo masyarakat yang kini lebih cerdas dalam memilih film sepertinya akan berada di belakang film-film yang dibuat dengan kualitas lebih menjanjikan. Film The Raid dan Modus Anomali mendominasi penantian khalayak bioskop Indonesia setidaknya hingga Maret 2012 ini. Media-media sosial memperbincangkan betapa produksi film nasional sudah bisa disejajarkan dengan Hollywood. Bioskop-bioskop penuh untuk film Indonesia, tentunya kekuatan media sosial sangat berpengaruh dalam h al ini. Masyarakat penikmat film dalam negeri di satu sisi masih percaya tren, bahwa permintaan film di bioskop berbanding lurus dengan daya tarik yang digembar-gemborkan melalui linimasa dan dinding jejaring sosial. Bahkan, ada pengguna Twitter yang menyeletuk terang-terangan bahwa "Selamat datang film Indonesia berkualitas, Selamat tinggal pocong!". Kicauan tersebut bisa jadi ada benarnya. Bahwa di tengah-tengah bergairahnya film-film  nasional dengan kualitas lebih baik serta non-hororpornografi, penonton mengharapkan lebih. Penantian ternyata belum selesai, karena dalam 2012 ini pula beberapa film sudah dibicarakan bahkan di waktu-waktu pratayangnya. Sebut saja film bertema petualangan "Atambua 39 Derajat Celsius" yang jadi proyek terbaru produser kenamaan Mira Lesmana. Dengan mengeksplorasi sisi alam Indonesia yang belum pernah difilmkan sebelumnya, tentu film ini menggelitik rasa penasaran, akan seperti apa jadinya keindahan tanah Atambua di kawasan Timur Indonesia dikisahkan dalam drama dan sinematografi. Mira Lesmana berusaha menyampaikan lebih banyak tentang Indonesia, gambaran-gambaran yang jauh dari keriuhan kota. Tentu saja kritik tidak akan berhenti. Kritik atas film-film akan terus mengalir dari dalam dan luar negeri terkait produksi dan hasil jadi film-film anak negeri. Akses yang lebih realistis ke beragam festival film di dalam dan luar negeri memberi nilai tambah dari karya-karya sinema Indonesia untuk menentukan kemampuannya sendiri, dan mengejar ekspektasi penonton dalam negeri yang menantikan kualitas film yang patut dibicarakan di jejaring sosial sebagaimana tren berjalan. Ini semangat Hari Film Nasional 30 Maret. Kesungguhan dan bukti karya produser, sutradara, penulis skenario, dan juga pemain film tanah air sangat patut diapresiasi jauh lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Jika masih berlebihan disebut mengagumkan, film-film yang menembus tingkat tontonan di atas 500.000 di dalam negeri sudah sangat membanggakan, apalagi jika menembus bioskop-bioskop Amerika dan Eropa. Tentunya, standar apresiasi khalayak film di dalam negeri sedikit berbeda dengan yang ada di luar negeri. Meski begitu, pandangan secara kasat mata ketika melihat penonton sebuah bioskop bertepuk tangan di beberapa scene sebuah film cukup menjelaskan bahwa ada harapan baik bagi perkembangan film produksi Tanah Air. Semoga semakin baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H