Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Memaknai "Bebas Beropini"

29 September 2011   07:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:30 724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_138231" align="aligncenter" width="680" caption="Ilustrasi (marioncountymessenger.com)"] [/caption] Seminggu terakhir saya melihat beberapa tulisan opini di Kompasiana mulai berisi konten provokasi. Bagus juga untuk pendewasaan. Dalam hemat saya, para penulis opini di Kompasiana yang memuliakan sesama ini sebetulnya belajar banyak dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, khususnya perihal beropini. Itu bisa dimengerti. Hanya saja, saya berpikir bahwa konteks "bebas beropini" semestinya dimaknai secara lebih esensial, bukan literal. Frasa "Bebar Beropini dan Menyatakan Pendapat" sebetulnya adalah bahasa baku yang membentuk istilah untuk menggambarkan hak yang diberikan kepada seseorang atau kelompok untuk menyatakan pandangannya terhadap sesuatu. Frasa ini pun tertuang dalam konstitusi negara kita. Namun, nampaknya pemaknaan ini masih dangkal bagi sebagian kita. Masih banyak yang mengaggap bahwa bebas beropini sama dengan memiliki kebebasan tak terbatas untuk menaruh penilaian terhadap sesuatu.

"Ini kan forum beropini, jadi saya berhak dong memuat opini saya tentang apapun."

Kalimat di atas seringkali saya temui di beberapa kolom komentar tulisan opini yang beredar. Bisa ditebak, isinya mesti mengundang kontroversi sehingga penulisnya harus mengungkapkan haknya seperti di atas. Secara konten, memang sah-sah saja melontarkan opini ke ruang publik yang isinya membahas ataupun menyinggung siapapun. Hanya saja, secara kontekstual, ranah beropini yang tersedia di media sosial harus dilihat secara lebih esensi, bukan sensasi (wah saya suka sekali istilah ini, Freez). Jangan sampai dengan dalih kebebasan beropini yang dipegang, berbuah anggapan fitnah bagi orang lain sehingga berujung di meja hijau. Hal ini banyak terjadi di negeri kita kan? "Bebas beropini" yang baik menurut saya adalah mengundang pandangan banyak kalangan dengan konten-konten yang tidak bersifat stereotype. Tata tertib blog sudah mengatur itu semua secara gamblang dan jelas. Opini-opini yang diangkat ke ruang publik, sebagaimana saya pelajari, seharusnya mengandung visi konstruktif bagi semua, bukan sekadar pelepasan syahwat mencerca, menilai sepihak, atau setidak-tidaknya memuaskan pandangan pribadi. Kalau mau yang seperti itu, tulis di buku harian saja. Merespon Kubu Kontra Sayangnya, sebagian kecil dari kita para pembuat opini sering kali juga terpeleset dalam merespon komentar ataupun tanggapan. Tanggapan yang kontra meski bermaksud baik jangan dianggap sebagai posisi "hitam" atau "sayap kiri" sehingga diantisipasi pada tulisan-tulisan berikutnya, tidak ditanggapi lagi. Ini mengherankan, sebab menurut saya membatasi ruang respon publik pada opini kita sama saja membungkam kebebasan mereka beropini, sama seperti kita. Ada kalimat bagus, "Hak-hak kita dibatasi oleh hak-hak orang lain." Tindakan represif terhadap sanggahan orang lain atas opini kita adalah pelanggaran terhadap nilai-nilai kebebasan sosial dalam interaksi. Bahasa komunikasi yang baik adalah yang menyambut kritikan, mengakui ruang-ruang konten yang masih perlu diisi, sambil tetap menegaskan pendapat pribadi. Opini yang dilengkapi dengan opini-opini lain akan menjadi sebuah kesatuan yang bermakna. Jadi, sejauh mana kita bebas beropini sebaiknya dilihat dari kacamata interaksi yang saling membangun, menyatukan perbedaan, lalu saling mengisi kekurangan dalam diri. Mumpung kita masih bergelut di ranah maya, bagaimana jika di forum-forum lantai keramik atau karpet dimana mikrofon dan kursi bisa saja melayang? Ini pun sekadar opini. Salam persahabatan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun