“Sudahlah. Aku lagi sibuk. Cepat kemari.”
Telepon ditutup. Ardi kebingungan namun naluri membimbingnya untuk mengejar sahabatnya. Sejenak ia melihat Matius sedang berhadapan dengan Cintya. Ia kembali ke mobil. BMW itu kembali ke jalan melewati depan museum.
Dea terdiam di atas mobil. Hening.
Satria menyelipkan telepon genggam ke saku celananya, tapi map itu tetap ia kepit dengan lengan di ketiaknya. Ia menapaki gang berbatu di dalam sebuah kompleks pasar kecil yang mulai diramaikan turis-turis asing yang ingin mencicipi makanan ringan dan melihat asesori terbuat dari kayu dan kertas berjejer di emperan itu. Orang-orang terkejut melihat ia datang sambil berlari kencang menembus keramaian.
Saat berbelok ke gang gelap yang menembus jalan raya di sisi lainnya, ia terkejut ketika tiba-tiba sebuah pedagang mendorong sepedanya mendekat. Mereka bertabrakan dan Satria terpental karena melawan gaya ke depan. Map itu terjatuh. Satria ditolong oleh beberapa orang termasuk pedagang itu. Tapi map itu terlempar jauh di belakang setelah ditendang oleh seorang anak kecil yang berlari membawa mainannya. Satria pasrah karena surat penting itu tiba-tiba berada di dekat Jakob dan Obey yang mengejarnya. Map itu telah berpindah tangan. Ia lalu lanjut berlari beberapa meter di depannya ketika pandangannya kabur melihat ramainya lalu lintas jalan raya.
Saat memberanikan diri menyeberang, Ardi hampir menabraknya.
“Ayo cepat naik!” seru Ardi.
Satria pun melihat ke arah gang dekat pasar. Orang-orang masih memperhatikannya.
Satria lalu melompat masuk ke BMW berwarna ungu tua itu. Saat pintu tertutup ia masih sempat menyaksikan dua orang yang tadi mengejarnya, kini tanpa topeng. Dengan jelas ia bisa melihat wajah mereka kembali. Lalu mobil itu melaju pergi, membelah keramaian lalu lintas, menerobos lampu merah. Dua garis melengkung tersisa di atas permukaan aspal hasil pergesekan serat karet ban dengan bidang padat itu.
Sirene berbunyi. Satuan patroli jalan raya dari Direktorat Lalu Lintas Denpasar yang persis bersiaga di perempatan itu segera menyalakan mobilnya.
“Suratnya?” Ardi, yang memegang kemudi, bertanya kepada Satria yang berusaha mengatur napas di sampingnya.
Satria menggeleng. Sontak Ardi meluapkan kekesalannya, kemudian tenang.
“Jakob dan Obey. Mereka mengincar surat itu.”
“Apa? Berarti Cintya yang menyuruh itu ke mereka.”
“Tapi kenapa?”
“Tentu saja mereka ingin bagian dari Cintya. Setelah keadaan menjadi kacau, Jakob dan Obey tak mau pulang dengan tangan hampa. Cintya kemungkinan menawarkan surat itu sebagai jaminan bonus bagi mereka. Tentu saja bonus itu langsung datang dari pemerintah.”
“Keterlaluan.”
“Tapi percuma saja. Begitu surat bertanda tangan asli itu sampai ke kantor pemerintahan di Jakarta, bahkan Pak Menteri sendiri tak berani membantah keabsahannya. Proyek Entikong tetap akan berjalan meski Matius tertangkap.”
“Sial. Lalu bagaimana sekarang?”
“Kita kembali ke museum.”
BMW itu langsung berhenti di belakang mobil patroli polisi yang terparkir di sisi kiri gerbang depan museum. Matius dan Kapolda semakin merasa terpojok. Tiba-tiba kompleks itu menjadi ramai.
Dari arah jalan lalu berlarian mendekat beberapa orang yang membawa kamera. Mereka adalah wartawan yang mendapat bocoran informasi. Tayangan eksklusif selalu menjanjikan pujian dan bonus besar tatkala rating berita mereka tersiar luas dan merangkak naik.
Matius kebingungan.
...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H