Matius kebingungan.
“Ardi, Satria. Syukurlah kalian di sini,” Cintya menyambut lega.
“Syukur katamu? Kamu pengkhianat sampai kapanpun!” bentak Satria.
Cintya terkejut, begitu pula Matius. Kapolda hanya menggelengkan kepala. Anak buahnya jauh lebih kebingungan.
“Kamu menyuruh dua anak buahmu untuk merampas surat itu. Iya kan? Padahal surat itu seharusnya musnah! Tak berguna!”
Cintya tak kuasa membalasnya. Sedangkan Jalil Soemantri nampak tenang-tenang saja. Matius yang berusaha mencermati kejadian ini sambil menyusun kembali remah-remah taktiknya hanya bisa terdiam sejenak.
“Satria dan Ardi! Tangkap mereka!” seru Kapolda lalu memerintahkan keempat anak buahnya. Mereka dengan sigap langsung meringkus lengan kedua pemuda itu.
Tapi Ardi justru tertawa.
“Dasar kalian polisi. Mau-maunya dibodohi karena uang. Matius lah penjahat sebenarnya.”
“Tidak mungkin! Cepat amankan mereka, Pak Kapolda!”
“Matius! Apa benar seperti itu?”
“Tentu saja benar!” Ardi yang membalas seketika. “Semua ini sejak awal direncanakan oleh Matius. Proyek Entikong adalah tujuan utamanya. Mereka butuh surat izin untuk meloloskan proyek ratusan milyar itu. Masyarakat Entikong tidak terima lahan hutan mereka dibabat, bahkan oleh Dirjen Eksploitasi Lahan Kemenhut. Karena itu mereka memutuskan ke Jakarta bulan lalu dan sudah melakukan audiensi dengan Pak Menteri. Proyek itu dibatalkan. Tapi Anda tetap ngotot mengesahkan izin itu dengan alasan revisi izin sudah didapatkan dan Pak Menteri menyetujui proyeknya. Padahal, saat konferensi pers dan sosialisasi surat itu Pak Jalil sudah ada di Denpasar ini untuk konferensi ASEAN.”
Kapolda menyimak. Ardi beberapa kali menghentakkan lengannya yang digamat kuat dua personel berseragam.
“Dan lagi...” Ardi bermaksud melanjutkan penjelasannya namun Cintya memotongnya.
“Konferensi pers beberapa hari lalu yang digelar malam di Kantor Kemenhut itu juga palsu kan? Saya berada di sana dan menyadari banyak hal yang tidak beres. Hampir semua yang mengaku wartawan tak saya kenal. Pita biru yang melilit di leher mereka hanyalah pengecoh agar mereka semua tidak saling menyalahkan dan Anda bisa dengan cermat membagikan amplop berisi uang tutup mulut. Hanya saja, seorang jurnalis warga bernama Ardi ini keluar terlebih dahulu dan tidak menyadari apa-apa. Anda juga berkata beberapa hal penting kepada seorang pengusaha kontraktor di lahan parkir malam itu. Ini rekamannya.”
“Dasar pengkhianat!” hardik Matius.
“Anda sudah mengkhianati saya lebih dahulu, Pak. Ingat?”
Rekaman itu diputar. Dan Kapolda Bali bisa dengan jelas mendengar semua perkataan Matius yang merencanakan pemalsuan surat itu serta penculikan menteri dengan seorang kontraktor yang juga taipan kaya di Kalimantan.
Kapolda terkejut.
“Benarkah ini semua, Pak Matius? Saya kira Anda hanya menawari saya dua tersangka ini agar kasus ini cepat selesai. Jadi ini semua cuma kedok untuk menutupi kejahatan Anda?”
Kalimat itu belum juga selesai lalu Matius mengeluarkan pisau lipat kecil dari balik jaketnya. Ia lalu mencekik leher Jalil Soemantri dengan lengan kirinya dan menodongkan pisau ke kepala pejabat negara itu. Tejo pengawalnya tak bisa berbuat apa-apa.
Keempat polisi berseragam itu langsung melepaskan pegangan mereka dari tangan Satria dan Ardi untuk sontak mencabut pistol dan mengarahkannya ke Matius.
Matius melangkah ke belakang.
“Jangan macam-macam kalian!”
“Bos...” Tejo berusaha menenangkan bosnya yang mulai nampak kalap berkeringat itu.
“Diam!”
Matius tak terkontrol. Napasnya memburu. Ia menyeret menteri itu semakin mendekat ke pintu mobil.
Ardi, Satria, dan yang lainnya belum tahu harus berbuat apa. Ini untuk kedua kalinya mereka terjebak di tengah penyanderaan dengan senjata berbahaya. Sedikit saja salah langkah, nyawa pejabat itu melayang dan semua ini menjadi sia-sia.
“Matius... tenang. Kita bisa diskusikan ini.”
“Tidak ada yang perlu didiskusikan!”
...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H