“Aku mengerti.” Ardi mencoba menyampaikan simpatinya.
“Tidak. Kau tidak mengerti.”
Lalu mereka semua diam. Suara gemerisik dari depan terdengar beriringan dengan langkah kedua pengawal itu mendekat ke mereka. Matahari mulai menerangi kubah langit hingga cahayanya menampakkan kebiruan di seluruh bidang cakrawala tak bersudut. Cintya memudarkan kesedihannya sendiri dan mengedip-ngedipkan matanya hingga air matanya habis terjatuh dan menguap dengan sendirinya. Ia menatap wajah licik dan kepala pelontos pengawal yang semakin mendekat ke mereka. Punggungnya ia gerak-gerakkan pertanda waspada, membuat Satria semakin sadar dan ikut-ikutan siaga. Jakob dan Obey ikut terbangun.
“Hey, Cintya, Lilis, siapapun namamu sebenarnya.” Satria tiba-tiba berucap setelah berdeham. Jakob dan Obey memperhatikannya, begitu juga Ardi. Sementara wanita itu menyimak sambil tetap melihat pengawal yang mendekat.
Terdengar bunyi jentikan beberapa kali dari bawah mereka.
“Aku tahu ini terdengar bodoh. Tidak seharusnya kami berdua ada di sini dan terlibat masalah kalian lebih jauh. Tapi, kita sudah di sini. Jadi sekarang, biarkan kami mengatur semuanya. Dan jika kamu tidak keberatan, tolong siap-siap untuk menyergap mereka berdua.”
Bunyi jentikan itu terdengar kembali. Jakob dan Obey memeriksa dari mana bunyi itu.
“Ardi....” lanjut Satria berbisik. Ardi menyimak suara sahabatnya yang membelakang itu.
Jentikan itu kembali terdengar sekali dan mereka terdiam. Terdengar bunyi gemerutuk tipis kemudian tali itu tiba-tiba longgar. Seketika menyerbak aroma hangus serat-serat tali kain itu terbakar. Mereka tetap bergeming dengan lilitan yang hanya melonggar di bagian belakang. Satria mengangguk memberi isyarat kepada semuanya. Jakob dan Obey pun menggenggam tali yang melintang kendur terputus. Korek api di tangan Satria telah berhasil menjadi pemutus ajaib di saat mereka hampir kehilangan harapan.
Bento tersenyum mempercayai kemenangan di depan matanya. Rojer berjalan ikut di belakangnya ketika mereka tiba-tiba terkejut dengan suara mobil yang berjalan masuk. Mobil itu melompat saat menginjak gundukan tepi lapangan berumput. Bento tertabrak hingga terpental ke samping, sementara Rojer panik dan langsung berlari ke arah pos. Pistol terlempar dan berputar menjauh di atas rumput yang basah.
“Ardi, sekarang!”
Ardi langsung melompat menyergap Rojer yang telah berada beberapa langkah di depan mereka. Ia lalu dalam hitungan sepersekian detik melayangkan tinju ke arah wajah pengawal berambut panjang itu.
Jakob yang melihatnya menggeleng heran.
Ardi lalu menunjukkan kepalan tangannya. Sebuah jam tangan logam terbalut di keempat jarinya yang memerah.
“Jakob, sudah kubilang jam tangan ini akan beguna.”
Jakob yang mendegarnya hanya menggeleng kalah.
Satria menghampiri seorang pengawal lainnya. Bento terbaring kesakitan sambil memegang lututnya di dekat parit depan dua ruangan tempat mereka menyekap tawanan. Mobil mesin dimatikan. Rem tangan ditarik menahan bobot badan mobil yang berhenti dengan posisi bagian depan lebih tinggi. Dari dalam kabin sopir keluar seorang pengendara yang membuat Ardi tersenyum.
“Beb....”
Dea melemparkan senyum. Ia menepuk-nepuk kedua tangannya seperti baru saja membersihkan sesuatu. Ia lalu mendekat ke arah kekasihnya, menatap matanya sambil tetap tersenyum. Lalu senyuman itu berubah menjadi lebih masam ketika ia berkata, “Kita akan berurusan nanti.”
...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H