Pistol diturunkan. Rojer menggeleng mendengar jawaban rekannya itu.
“Ardi, kau pergilah,” kata Satria.
“Museum Bali? Di mana?” kata Ardi yang masih bingung. Ia hendak mengangkat gagang pistol itu kembali ketika tiba-tiba Cintya menyergapnya dengan jawaban.
“Puputan Square, tengah kota. Dekat Pura Jagadnatha. Biar aku yang antar.”
Dea menatap tajam sekaligus heran. Diliriknya Ardi yang lalu mengangguk. Ia mencibirkan bibirnya kemudian pasrah.
“Beb, tolong ya. Kita selesaikan ini lalu kembali ke Jakarta. Aku serahkan mereka ke kamu. Biar aku dan Cintya ke sana.”
“Tidak boleh. Aku ikut.” Dea menyilangkan lengan di depan dadanya.
Satria kembali menggeleng. Obey dan Jakob hanya menyimak.
“Tapi...”
Cintya lalu mengusulkan inisiatif. “Tak mengapa. Biar Dea bersamaku. Kamu Ardi silakan pakai mobil BMW itu, ikuti saja mobilku nanti.”
“Baiklah.”
Mobil Picanto melaju ke tengah jalan. Pukul 06.15. Suara kendaraan lalu-lalang mulai ramai. BMW termodifikasi itu menyusul di belakang Cintya dan Dea. Seorang pedagang rokok yang baru membuka kios kaki limanya terheran-heran melihat mobil-mobil bagus keluar dari kompleks yang ia ketahui jarang didatangi orang. Mereka menyelesaikan apa yang telah mereka mulai.
Ardi terbayang-bayang masalah apa yang akan dihadapinya. Sambil menyetir ia menimbang-nimbang rencana penyelamatan terakhir nanti, bukan hanya masalah Pak Menteri, tetapi juga menyelamatkan dirinya dengan berbagai alasan di depan kekasihnya. Kemunculan wanita lain memang selalu menjadi masalah yang butuh dipikirkan lebih terbuka. Dan sepengetahuan dan sepengalamannya, belum pernah ia melihat kekasihnya begitu dingin menghadapi wanita, tidak seperti beberapa pengalaman masa lalu yang sering melibatkannya dalam kisruh lantaran Dea cemburu berlebihan. Kali ini tidak. Dan ini justru membuat perasaannya lebih takut. Digenggamnya setir mobil itu kuat-kuat, lalu pikirannya tersentak.
“Astaga! Surat itu!”
Ardi berusaha menenangkan diri, tapi tak sempat ia menelepon hingga akhirnya ia melihat Dea menyalakan lampu belok ke kiri, meski ia melaju pelan tanpa menepi. Ardi menyadari kode itu dan dari kejauhan melihat sebuah van terparkir di depan pagar sebuah museum. Museum Bali, begitu ia melihat tulisan tertulis di papan nama dekat jalan. Matius terlihat sedang menelepon dan gelisah. Lalu lalang kendaraan membuatnya jenuh. Keramaian yang beranjak tak pernah menarik baginya. Kota Jakarta yang padat dan panas cukup membuatnya jenuh untuk sering-sering menyingkir jari jalan raya. Tak ia perhatikan siapapun yang melintas, hanya ruas jalan masuk museum yang masih nampak kosong.
Ardi mengambil jalan memutar sekali lagi kemudian menepikan mobil agak jauh di sisi selatan kompleks itu. Di kejauhan depan ia bisa melihat lapangan Puputan yang terkawal tiang-tiang listrik dan beberapa ornamen khas Pulau Dewata. Lalu lintas padat ketika matahari sudah merangkak sepersepuluh langit. Mobil Dea terparkir di sisi lain lapangan.
Belum ada tanda yang mereka lihat. Dengan memfokuskan pandangan, Ardi menyadari Menteri Kehutanan berada di belakang mobil itu, instingnya bekerja. Pasti menteri itu masih disekap di sana.
Matius menatap ke arah timur jalan. Silau.
Lalu rombongan mobil polisi nampak mendekat tanpa sirene berbunyi. Tiga mobil itu jalan beraturan membelah lalu lintas, membelok lalu mengarah ke jalan masuk museum. Matius tersenyum dan mengangguk melihat pejabat yang duduk di bagian kursi penumpang depan mobil itu.
...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H