Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Surat Tak Terkirim (33)

28 November 2011   08:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:06 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(SEBELUMNYA....)

Jalil melepaskan pegangan Obey pada lengannya. “Matius, tolong kau hentikan saja ini. Polisi sudah mengarah kemari, mungkin akan tiba beberapa detik lagi. Kau mau apakan gadis itu? Apa untungnya bagimu?”

“Pak menteri.... Anda belum tahu ya. Ups, iya. Memang belum tahu ya....,” ledeknya. “Mungkin pemuda sok hebat di depan Anda itu bisa membantu menjelaskan mengapa semua seperti ini. Nah, Ardi, bagaimana. Maukah kau menyegarkan kembali pikiran orang tua ini?”

Ardi menggeleng dengan kesal dan terpojok. Ia menghadap kepada Menteri Kehutanan itu namun kata-katanya tak keluar.

“Lama!” Bentak Matius mengejutkan mereka.

“Pak Jalil! Ini dia anak perempuan Anda dari istri pertama yang saat ini sedang sekarat. Masih ingat nama Aryaningrum Laksono? Nah, perkenalkan. Ini dia Cintya. Anak perempuan Anda yang telah menjadi sesuatu.”

Menteri itu terkejut bukan main. Jari-jarinya bergetar mengikuti degup jantungnya yang meningkat tajam. Lapisan kulit luarnya tak lagi merasakan kedinginan saat darah berdesir deras di bawah permukaannya memenuhi pembuluh yang memadat.

“Terkejut, bukan? Ini dia awal mula semua ini, Pak. Penculikan, masalah Entikong dan tanah rakyat yang terlalu remeh temeh, semua berawal dari anak Anda ini. Cintya. Seorang anak yang telah lama hilang, atau lebih tepatnya dibuang oleh ayahnya, bersama ibunya yang malang. Tentu saja Anda butuh waktu untuk mengingatnya karena waktu itu Cintya diserahkan ke ibunya, mantan istri Anda waktu itu, saat masih berumur sebelas bulan. Dua puluh tahun lalu kalau saya tidak keliru. Cintya tumbuh besar lalu kembali dan mengikuti Anda selama belasan tahun usianya, hanya untuk meminta pertanggungjawaban batin sebagai anak dan ayah. Seorang anak gadis tentu saja ingin melindungi ibunya yang ia anggap telah dianiaya oleh Ayah di masa lalu, dan bertekad akan muncul untuk membalaskan sakit hati ibunya. Wah, ini kisah roman lama, tapi masih saja terjadi di masa sekarang.

Nah, Pak Menteri Kehutanan yang terhormat, kiranya saya tak perlu jelaskan lebar mengapa saya terlibat dalam ini semua. Cintya yang meminta. Ia mengira melalui rencana strategis kementerian kita melalui Direktorat Eksploitasi Lahan yang saya pimpin untuk membabat lahan ratusan hektar untuk 28 km jalan di Entikong, ia bisa masuk dan mendekat ke Anda, menembuskan hasrat pribadinya. Ini hanya sebuah win-win solution bagi saya, bukan? Ironi sekali. Masa lalu pahit seorang birokrat seperti Anda menjadi batu sandungan yang merusak nama departemen. Oh iya, Apakah Anda sering mendapatkan telepon masuk ke selular bapak tanpa ada suara pemanggilnya berbicara satu katapun? Waktu di kantor Anda sering mengeluh begitu kan? Saya yakin itu Cintya, memastikan Anda tetap dalam jangkauan. ”


Menteri itu semakin geram. Napasnya memburu mencermati setiap kalimat yang disampaikan bawahannya itu. Sesaat ia menatap mata Cintya yang telah basah, raut mukanya menyejuk.

Jalil lalu terjatuh tanpa kata. Kedua lututnya tertapak keras di atas lapangan rumput berlapis tanah lunak itu. Tak peduli ia dengan kain celananya yang basah. Ia bahkan lanjut menapakkan kedua telapak tangannya ke tanah, lalu menangis. Air matanya mengucur dan menetes tanpa ada yang menghalangi.

Matius menghela napas lalu menatap ke tengah langit sejenak. Cintya masih menangis, sementara Ardi terdiam sama diamnya dengan Jakob dan Obey. Jauh di belakang, Satria menjatuhkan pensilnya ke lantai kamar tawanan setelah perasaannya terbawa situasi yang membawa fakta kepada seorang pejabat negara itu.

“Jalil.... Ayah....” Cintya berbisik dalam tangisnya.

...

(SELANJUTNYA...)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun