Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Puisi

(THREESOME) Patung

11 September 2011   04:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:04 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekar Mayang, Ari Zakaria, Afandi Sido [caption id="" align="alignnone" width="390" caption="Ilustrasi (Frookt.lv)"][/caption] ... aku seperti hendak menganyam air danau, atau mungkin menggarami lautan, semuanya percuma saja karena kau tetap diam... ... ucapkanlah, walaupun hanya satu kata, walaupun nantinya aku tetap tidak mengerti dengan satu kata itu, tetaplah berucap, mungkin dengan satu kata itu bisa membantumu berucap satu kata lainnya, hingga bukan tidak mungkin akan ada rentetan panjang di belakangnya, hingga kau kembali merasa ringan tanpa beban... ... jangan biarkan aku tak ubahnya seperti seseorang yang bercakap dengan patung, jangan kau teruskan bisumu itu karena aku tak ingin hanyut dalam kesunyian yang panjang... ... tapi kau tetap dalam diammu, sengaja membiarkan aku berjuang sendiri, untuk menganyam air dan menggarami lautan... *** ... mestikah aku lelah, haruskah aku menyerah, menatap akanku yang terlanjur lemah dan teremah, tak ada lagi gairah yang menyala dan menyalak, tak ada lagi gelora dan gejolak, yang seharusnya sanggup mengutuk hitam dalam kepekatan di hancurnya dinding-dinding kegetiran, seperti diammu, seperti bisumu yang meniadakan, ... yang meludahi, ... mencemoohku, ... yang menghina, ... menistakanku, entah aku tengah tersumpal dengan kepalsuan yang haram, entah aku tengah mengemis diatas janji-janji teringkar, namun aku gontai dan teler, aku mabuk dan ambruk oleh dinginmu yang makin membeku, ... keras, ... kaku, ... batu, ... cadas, ... karang, ... culas, ... curang, ... bajingan, ... munafik, ... bobrok, ... brengsek, ... anjing, ... khianat, inikah yang bernama arogan, yang meski dalam diammu semua terjerumus dalam kegilaan, jadi edan, sinting, hilang ingatan, tunduk terbunuh bagai binatang peliharaan, bersamamu, yang pintar jadi goblok, ... yang pandai jadi bego, ... yang yakin jadi murtad, ... yang iman jadi kafir, ... yang kotor jadi bersih, ... yang najis jadi suci... ... haruskah aku lelah, mestikah aku menyerah... *** langit malam tak cukup menaungiku. duka dendam tak surut menopangiku. belajar mengerti rasamu yang kokoh di balik kerapuhan, membayangi rona-rona waktu lalu mengatakan "tidak" kepadaku. Bagiku semua ini adalah kejujuran. Saat pagi, siang, dan malam berganti lurus dan wajahku tetap tirus. Kau akan datang suatu pagi, ketika burung-burung enggan berkicau, ... dan hujan tak lagi berganti kemarau. Hidupku terlipat dalam bentuk tak berbatas. ... atas nama kebisuan, dendam, dan cinta tak terbalas. Aku menjumpaimu dalam patung yang tenggelam. ... tak kuasa kusentuh apalagi kugenggam. Saat masa mengembalikan kesadaranku kala kembali malam, ... perasaanku masih tentang cinta dan dendam. Pergilah, dan tegakkan badanmu di setiap tempatmu mendekam. ... lalu dengarlah suara samar yang memanggilmu imam. 11/9/11 |12.00

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun