Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Surat Tak Terkirim (40)

30 November 2011   13:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:00 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

(SEBELUMNYA....)

Matius menyela dengan menyuruh orang tua itu tenang. Ia meniupkan udara melalui kedua rongga mulutnya seperti berdesis, lalu telunjuknya dirapatkan di bibir. Jalil menuruti.

“Saya kira kita sudah saling mengerti. Cintya akan baik-baik saja.”

Matius lalu mengambil sebuah kursi plastik dari atas mobil lalu meminta Tejo mendudukkan sang menteri tepat di belakang mobil itu sehingga ia berada di antara badan mobil dan pagar tembok yang tidak terlalu tinggi.

“Jangan coba-coba kabur. Atau nyawa putri Anda... Anda bayangkan saja sendiri.”

Tejo mengawal dengan sangat baik. Perilakunya santun dengan tangan terlipat di depan perut. Ia sempat melempar senyum namun menteri tidak membalasnya.

“Ya. Amankan suratnya. Kita ketemu di museum Bali, setelah saya beri perintah kalian boleh kemari, kata Matius lalu telepon ditutup.

Di kompleks...

Bento menutup telepon lalu mematikan televisi. Ia berjalan dengan sigap membangunkan rekannya Rojer yang sejak beberapa menit lalu mendaratkan kepalanya miring di atas bidang meja kayu itu. Surat bertanda tangan itu nyaris basah jika saja air liur yang menetes dari ujung bibirnya menembus plastik pembungkus.

Ardi terbangun dari tidur singkatnya. Ia lalu melihat Satria masih terlelap bersama dengan Jakob dan Obey. Namun Cintya tetap terjaga. Ardi memberanikan diri membuka pembicaraan yang ia kira hanya sempat ia sampaikan pada jam-jam genting.

“Cintya....”

“Aku masih menimbang-nimbang. Sebetulnya apa tujuan kamu yang sebenarnya dari semua ini? Apa semua yang dikatakan Matius itu benar?

“Cintya?”

Ardi terdiam karena balasan tak terdengar suaranya.

Dari kejauhan ia melihat kedua pengawal penculik itu mencuci muka, merapikan pakaian dan memakan sedikit roti yang dikeluarkan dari sebuah plastik. Bento menunjuk-nunjuk Rojer menuduhnya mengambil sekaleng susu murni yang mereka beli sebelumnya. Sedangkan Rojer yang merasa tertuduh hanya mencibirkan bibir lalu kebingungan sendiri mencari korek api yang hilang entah kemana. Ia lalu meletakkan kembali rokoknya ke dalam saku baju sebelah kiri dada.

Cintya menelan ludah.

Ia lalu menegakkan kepalanya lalu menarik napas dalam-dalam. Udara dingin pagi itu mengalir deras dan memenuhi rongga paru-parunya. Ia lalu menolehkan kepalanya sehingga matanya menangkap pandang mata Ardi.

“Memang benar.”

...

(SELANJUTNYA...)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun