Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bukan Untukku, Ibu

15 Juli 2011   13:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:39 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Begitulah setiap dua minggu, aku meminta dua puluh rbu rupiah ke Ibu. Kadang juga Ibu menghela napas, mungkin sedikit heran mengapa anaknya rutin meminta uang. Pernah sekali kuceritakan tentang puisi-puisi dan tulisanku dimana pulsa kuperuntukkan, tapi Ibu tak paham. "Apalah itu urusanmu Nak, yang penting kamu tidak mencuri dan tidak membuang-buang rezeki," katanya sambil menepuk pundakku.

Ibu, sesungguhnya aku menjadi berbeda dengan teman-temanku, meluruskan hobi berpuisi dan bercerpen seperti ini yang tak banyak kau mengerti, bukanlah untukku. Ini semua untuk Ibu.

Mungkin Ibu belum begitu tahu rasanya, saat aku mengangkat piala lomba menulis, sejak tingkat kelurahan hingga tingkat provinsi yang memberiku laptop ini. Ibu pernah bilang baru akulah orang di rumah ini membawa barang canggih masuk ke ambang pintu. Untuk itulah aku begini, bu.

Aku tahu banyak sekali pengeluaran ini-itu karena kesibukanku. Untuk pulsa, untuk listrik, untuk obat batuk buatmu karena serak memanggilku untuk mandi, anakmu ini sudah paham bu. Usia remaja sudah kuinjak, sebentar lagi dewasa.

Bagaimanapun, aku harus siap menjadi penopang rumah kita, beberapa tahun lagi sebelum Ibu bisa tenang menikmati jerih payahku sekarang.

Memang kelihatannya belum ada apa-apa bu. Hanya anakmu yang sibuk di depan laptop, tak ada apa-apa. Tapi keyakinanku, Bu. Aku selalu bermimpi menjadi orang besar karena tulisan-tulisanku. Dan atas itu, aku berniat setiap salat subuh untuk menjadikan ini sumber rejeki besar buat Ibu.

Ibu, bersabarlah.

Ini tinggal sedikit lagi. Saat beberapa orang besar digerakkan oleh Tuhan untuk menaruh nilai dalam karya-karyaku ini lalu mengirimkan beberapa uang kertas yang rupa dan bentuknya jarang kita sentuh, nasib kita akan berubah.

Kelak, mungkin tahun depan, Ibu tak lagi menjual makanan bungkus di halaman, tapi sudah makan enak di sebuah restoran. Mungkin tahun depan rumah kita akan direnovasi sehingga tak perlu lagi kita membeli dua jerigen air tatkala kemarau. Mungkin tahun depan, anakmu ini bisa menjadi orang besar yang dewasa, lalu kembali memelukmu sambil berkata, "Ibu, ini sesungguhnya buat Ibu. Bukan untukku, Ibu."

Yogyakarta, Juli 2011

*terinspirasi oleh seorang kawan di masa lalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun