Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Cerita Perbatasan 3: Masalah yang Sama

29 Mei 2011   11:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:05 971
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_111223" align="aligncenter" width="640" caption="Ekspresi seorang anak usia sekolah di Suruh Tembawang yang bekerja mendulang semen setiap hari Minggu. 22 Mei 2011. (Hak cipta foto: Daniel Yudi Harnanto)"][/caption] Dari ratusan dusun yang kami kenal dari perjalanan singkat menelusuri Kecamatan Entikong hingga ke beberapa dusun di hulu Sungai Sekayam Kalimantan Barat, masalah sosial yang paling nampak peliknya adalah infrastruktur ekonomi, dan satu lagi adalah pendidikan. Ya, pendidikan nampaknya menjadi masalah yang sama terjadi di dusun-dusun Kalimantan, terjadi pula di berbagai pelosok lain Tanah Air. Di Dusun Suruh Tembawang misalnya, anak-anak usia sekolah masih harus bekerja pada akhir pekan guna menambah pendapatan keluarga mereka. Saat kami melakukan perjalanan menuju Badat Lama dan harus mampir sejenak untuk mengganti mesin motor sampan, kami mendapati pemandangan penuh semangat. Penuh semangat karena di hari Minggu sekalipun anak-anak harus bekerja, demi keluarga ataupun diri mereka sendiri. Sebagian anak-anak di Suruh Tembawang setiap hari Minggu bekerja sebagai pendulang semen yang mereka angkut sekitar 10 kg per harinya untuk dibawa ke rumah-rumah. Mereka membantu orangtua mereka yang memanfaatkan beberapa sak semen untuk membangun rumah dan jalan beton. Tidak adanya angkutan massal memadai membuat anak-anak memilih mengangkut semen di punggung-punggung mereka lalu kemudian dibayar ribuan rupiah. Selain semen, anak-anak juga memikul keranjang berisi sahang (lada) untuk dibawa berjalan selama kurang lebih 2 jam mendaki dan menuruni bukit lalu dijual di tanah Malaysia. Untuk sehari dengan maksimal kemampuan mengangkut 20 kg, setiap anak berhak atas uang Rp 2.000,- per kilogramnya. "Ya, mereka kalau hari minggu senangnya kerja, bawa sahang ke seberang. Dapat sepulu ribu. Bisa untuk beli makanan atau sayur untuk di rumahnya," kata Pak Limanto, salah satu guru SMP di Suruh Tembawang. Memang masih ada sebagian anak-anak yang bermain dengan riang, sama seperti di banyak kampung di Indonesia. Namun sebagian mereka yang memilih bekerja, begitulah kegiatan mereka sehari-hari, memikul keranjang sahang, berjalan tanpa alas kaki, lalu mendapatkan beberapa ribu rupiah tambahan uang dari hasil penjualan keluarga. [caption id="attachment_111228" align="aligncenter" width="640" caption="Mereka memindahkan beberapa kilogram semen untuk dibawa. (Hak cipta foto: Daniel Yudi Harnanto)"][/caption] Lebih lanjut, menurut Pak Limanto, kebutuhan anak-anak di dusun ini tidak terlalu banyak. Mereka tetap datang ke sekolah pada hari Senin hingga Sabtu, lalu Minggu mereka beribadat atau bekerja. Orangtua mereka tetap menyetujui mereka bekerja mengangkut sahang atau berkebun di bukit-bukit, meski menyekolahkan mereka. "Ini kalau mungkin sekolah tidak gratis, mereka tidak mau ke sekolah," jelas Pak Limanto yang menerangkan bahwa fasilitas buku tulis sudah disiapkan di samping biaya sekolah yang murah. [caption id="attachment_111229" align="aligncenter" width="640" caption="Sebagian dari anak-anak juga bermain dengan riangnya. (Hak cipta foto: Daniel Yudi Harnanto)"][/caption] Pak Jos, salah satu warga dusun itu mengaku, ingin anaknya tetap sekolah, asalkan juga bisa bekerja di kebun atau mengangkut sahang. "Itulah pekerjaan mereka, bang. Mereka juga senang bisa dapat uang," ujarnya. Memang, nampak anak-anak dusun yang bekerja mengangkut hasil kebun berusia sekolah dasar. Sementara itu, anak-anak usia remaja lebih banyak bersantai di rumah, atau bekerja di ladang atau di sungai. Warga dusun percaya bahwa menginjak usia remaja, anak-anak sudah dan harus bisa bekerja, lalu mereka biasanya berangkat ke kecamatan atau kabupaten menjadi tenaga kerja di beberapa usaha. Di hotel, tanggal 23 Mei 2011 sesaat sebelum melanjutkan perjalanan kembali ke Pontianak, kami disapa oleh dua remaja yang menghuni salah satu kamar hotel itu. Kebetulan kamar mereka berseberangan di satu koridor dengan kamar kami, lalu pagi itu mereka menghampiri kami di kamar yang pintunya memang terbuka lebar. "Abang, saya Andri," kata salah satunya memperkenalkan diri. Dengan sebagian rasa curiga, kami pun membalas sapaannya, berkenalan, lalu akhirnya berbincang-bincang ringan. Dari obrolan itu, kami mengetahui bahwa mereka --yang nampak berusia remaja-- baru saja tiba dari salah satu kecamatan untuk menjadi pekerja bengkel di Entikong. Mereka baru saja tiba hari itu, menginap di hotel untuk kemudian dijemput calon majikan mereka siang harinya untuk kemudian langsung dipekerjakan. Di Entikong, menurut informasi Ibu Martini, sekolah tersebar tidak merata. Satu dusun bisa jadi hanya memiliki satu sekolah dasar, maksimal ditambah satu sekolah menengah. Sementara itu sekolah lanjutan atas hanya ada di kecamatan. Jadi, saat itu kami sepakat berpikir bahwa tidak mengherankan anak-anak perbatasan memiliki dilema tersendiri, dan mereka punya pilihan sikap sendiri terhadap masa depan dan pendidikan mereka. Sangat tipikal. Hal ini tentu saja terjadi tidak hanya di dusun-dusun Entikong atau perbatasan, akan tetapi semua pelosok Indonesia. Adalah masalah yang sama dihadapi anak-anak Indonesia terkait pendidikan ketika mereka dihadapkan dengan pilihan hidup yang lebih tegas, dan mudah dilakukan, semisal bekerja setiap hari minggu mengangkut hasil kebun menuju pasar demi sepuluh ribu rupiah. Mau menyalahkan sistem pendidikan, sistem sosial, atau sikap pribadi keluarga anak-anak setempat. Kami terus terang bingung. Sungguh kompleks masalah di banyak dusun perbatasan kita. Sebagian masalah-masalah khusus yang mereka sendiri yang tahu pangka-ujungnya, sebagian lagi adalah masalah sama yang menjadi warisan bangsa berpuluh-puluh tahun hingga sekarang. [caption id="attachment_111230" align="aligncenter" width="640" caption="Anak-anak masih ingin bermain dan beribadat pada hari Minggu. (Hak cipta foto: Daniel Yudi Harnanto)"][/caption] Sebagai informasi, Bang Tong yang mengantarkan perjalanan kami dengan sampan ke beberapa dusun, adalah seorang sarjana hukum. Ia dikenal sebagai satu-satunya pemuda asal dusun yang berhasil menempuh pendidikan hingga lulus perguruan tinggi. Meski demikian, realitas menunjukkan bahwa ia lebih memilih bekerja di bengkel mesin motor sampan dan melayani tamu-tamu luar kota yang ingin menempuh perjalanan sampan, sama seperti banyak pemuda seusianya. [caption id="attachment_111231" align="aligncenter" width="640" caption="Inilah Bang Tong. Salah seorang pemuda Entikong yang setia dengan pekerjaan dan pilihan masa depannya. (Hak cipta foto: Daniel Yudi Harnanto)"][/caption] [caption id="attachment_111251" align="aligncenter" width="640" caption="Kami saat berbincang-bincang di salah satu bagian Suruh Tembawang. Pak Limanto berkaos abu-abu. 22 Maret 2011. (Hak cipta foto: Daniel Yudi Harnanto)"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun