Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Surat Terakhir dari Perbatasan

16 April 2011   10:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:44 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="646" caption="Ilustrasi (faqs.org)"][/caption] Apa sebenarnya isi surat itu? Ini masih tentang antara Satria dan Ardi. Saat ini telah terjadi perubahan harapan bagi orang-orang di Desa Kahuliyat, Buriang. Berkat beberapa pesan surat yang intens dikirimkan Satria, seorang pemuda yang memilih mengabdikan lima bulan hidupnya untuk menjadi relawan tunggal di desa itu, suasana berubah. Seminggu pasca rombongan itu datang membangun, kampung-kampung bagaikan gadis baru yang telah didandani dan siap berjingkrak kembali. Lalu, apa sebenarnya isi surat terakhir yang dikirim Satria dari desa itu, sampai-sampai Ardi, sahabatnya di Jakarta tak kuasa menunggu lebih lama lagi untuk mengirimkan bantuan? Mari kita simak.

Desa Kahuliyat, 26 April 2011. Sahabatku Ardi. Gerimis tak akan rela berlama-lama menyapu desa ini. Ruang kelas SD terlalu rapuh untuk menaungi Bu Martini dan 50 murid. Mereka sejatinya tidak meminta, Ardi. Mereka justru menawarkan kita kesempatan, untuk memberi, dan untuk mengasihi satu sama lain. Sejak tak kau angkat teleponku waktu itu, jujur aku sempat kehilangan harapan. Hatiku sebetulnya tak begitu gusar, andai saja kabar itu tidak datang. Kau tahu, Ardi? Tepat dihari aku berusaha menghubungimu itu, serombongan pemerintah daerah datang ke desa ini. Ya, Ardi. Mereka datang, dan kau tahu apa yang dikatakan mereka? "Janganlah terlalu sering meminta. Kita bukan masyarakat desa yang cengeng. Kita tidak akan meminta lagi. Mulai sekarang, desa kita bergantung pada negeri seberang. Semua hasil panen wajib dijual ke seberang. Uang Ringgit harus dipakai sehari-hari, agar pendapatan daerah kita meningkat. Anak-anak boleh bersekolah, tapi tidak usah melanjutkan setelah satu angkatan ini lulus. Akan ada gedung sekolah baru yang dibangun di sini, dan kalau sampai akhir tahun ini pemerintah pusat tidak membetulkan sekolah kita, maka terpaksa nama sekolah ini akan berganti, menjadi Sekolah Melayu, karena yang mendanai adalah rekanan kita dari negeri tetangga." Ya, itulah. Kau tahu bagaimana perasaanku saat aku mendengar pidato semacam itu, Ardi? Ingin rasanya aku tikam pejabat itu lalu kembali ke kota. Itu aku yang putus asa. Jadi, sahabatku Ardi. Sekarang pilihannya ada di tanganmu. Aku terus berusaha meyakinkan Bu Martini yang sudah mulai gusar. Bu guru itu jauh lebih nasionalis daripada presiden kita, aku yakin itu. Lalu mengapa aku harus mengorbankan keteguhannya? Sudahlah. Hentikan saja negosiasimu itu dengan kementerian. Aku yakin masih lebih banyak orang yang meu bergerak atas dasar kemauan hati sendiri untuk menolong, bukan karena tugas-tugasnya terpampang di dinding kamarnya sebagai program kerja. Selama ini aku selalu yakin padamu, Ardi. Tapi kalau kau berlama-lama begini, aku tak tahu harus mempercayaimu sampai kapan. Aku tahu tidak mudah meyakinkan orang untuk dirogoh kantongnya. Tapi please, paling tidak beritahu mereka bahwa di sini ada 50 murid yang pandai, dan mau tetap bersekolah. Balaslah surat ini, sahabatku Ardi, bukan dengan tulisan, tapi dengan perbuatan. Sahabatmu, Satria.

Sore itu di rumahnya di Jakarta, sesaat setelah membaca surat itu, jantung Ardi berdegup kendang, keringatnya menetes. Malam itu juga ia menelepon setidaknya dua puluh orang yang bisa ia kumpulkan esok harinya. Ia rela kehilangan apapun di sekitarnya, tapi ia tak pernah mau kehilangan kepercayaan seorang sahabatnya. Ardi akhirnya sadar bahwa selama ini ia terlalu  mengandalkan hal yang tidak pasti, proposal ke sebuah kantor birokrat. Padahal sejatinya, ia sendiri bisa melakukan banyak hal yang lebih besar dan lebih menghasilkan. Begitulah, seorang sahabat hanya bisa mengingatkan sahabat lain. Dan yang paling menguatkan hubungan adalah, di saat seorang sahabat mengingatkan seorang yang lain tentang kesalah-kesalahannya. Dengan begitu, maka keterkaitan dan rasa percaya langsung membuncah, membelah setumpuk bayangan apapun yang dianggap sebagai "remeh-temeh rintangan".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun