[caption id="attachment_92546" align="aligncenter" width="644" caption="Tampilan Nama Lama "][/caption]
Akhir tahun 2010 lalu salah satu rumah sakit terbesar di Yogyakarta, Jogja International Hospital mengganti namanya menjadi "Rumah Sakit JIH". Sekilas memang kesannya aneh karena menggunakan pemaknaan akronim nama berulang, yaitu "Rumah Sakit" dan "Hospital". Saya yang baru tahu, langsung berpikir bahwa, pasti ada alasan tertentu mengapa nama berbahasa Inggris yang secara visual lebih keren justru diganti ke nama Bahasa Indonesia dengan kesan yang sedikit "mekso" seperti itu. Mengapa? Ternyata, itu semata-mata menindaklanjuti peraturan Kementerian Kesehatan RI.
Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan Supriyantoro sudah memberi penjelasan terkait hal itu sebagaimana dilaporkan kompas.com. Sehubungan dengan banyak rumah sakit yang menggunakan nama atau label internasional, ia mengatakan, Kemenkes akan menertibkan rumah sakit yang masih menggunakan nama internasional.
Pasalnya, di seluruh Indonesia saat ini dari sekitar 1.500 RS di Indonesia baru ada 4 yang menerapkan pelayanan kualitas standar internasional. Di Yogyakarta, satu dari keempat RS tersebut adalah RSUP Sardjito. Itulah alasan mengapa JIH harus mengganti namanya menjadi lebih "lokal", karena di mata Kemenkes, kualifikasinya belum pantas menyandang status internasional.
Dalam acara Dies Natalies ke-65 FK UGM kemarin, Supriyantoro menjelaskan bahwa sebenarnya dalam hal mutu pengobatan, kualitas RS di Indonesia tidak jauh berbeda dengan yang ada di luar negeri. Hanya saja, dalam hal kualitas pelayanan kesehatan serta keselamatan pasien RS lokal kita masih lemah.
Baru-baru ini kembali instansi kesehatan banyak digemborkan isu miring terkait pelayanan dan keselamatan pasiennya. Maureen, balita yang jari kelingkingnya putus kembali menyeret RS Awal Bros Tangerang ke meja pengadilan etika pelayanan kesehatan. Sampai-sampai, dirjen rujuk Kemenkes turun tangan untuk mengevaluasi kembali proses perawatan yang dilakukan pihak rumah sakit, apakah sesuai standar atau tidak. Dalam konferensi persnya, pihak RS Awal Bros sudah membantah bahwa kasus terputusnya jari kelingking Maureen akibat kelalaian tim dokter. Menurut juru bicaranya dr. Elizabeth, hal itu murni tidak dikehendaki pihak RS dan adalah konsekuensi operasi dan pemberian infus untuk menyelamatkan nyawa Maureen.
Di lain pihak, beberapa tim ahli bedah Anak menganggap bahwa pemberian cairan Bicarbonat Natrius (Bicnat) yang dilakukan oleh ahli bedah RS Awal Bros sejatinya dalam dunia kedokteran masih merupakan hal yang kontroversial, karena cairan tersebut dalam beberapa percobaan terbukti bisa mengakibatkan kerusakan jaringan yang bisa mengakibatkan kulit serta daerah lainnya melepuh.
Supriyantoro menambahkan, sebaiknya tidak ada lagi rumah sakit yang menggunakan nama internasional selain yang sudah terdaftar di Kemenkes. Ini agar masyarakat tidak tertipu dalam hal pelayanan dan biaya perawatan. Jika memang terakreditasi, harus melampirkan nama lembaga sumber yang mengakui dan sampai kapan status itu boleh digunakan.
Memang, melihat semakin berkembangnya otonomi bisnis privat hingga merambah hal-hal pelayanan vital masyarakat, perlu diadakan sosialisasi yang menjelaskan secara gamblang perbedaan pelayanan yang cocok bagi kalangan menengah ke bawah yang pada dasarnya masih memilih-milih RS dengan mempertimbangkan banyak variabel, khususnya biaya. Semakin kreatif sektor bisnis, maka masyarakat dengan pendidikan rendah rentan menjadi korban salah kaprah dari janji-janji manis yang ikut bersama nama beken RS. [Afs]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H