Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Seratus Ribu Pupa

20 Maret 2014   16:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:42 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

*

Pupa adalah Abdul Gani.

Usianya sudah tujuh puluh lima, maka ia sudah tidak tahan menatap matahari lama-lama. Langkahnya juga setengah-setengah -pendek- maka ia bertahan di atas jalur drainase sepanjang Jalan Agro itu, jauh di luar batas jalur lalu lintas. Dari situ ia senang karena bisa melihat gedung tinggi kampus Ekonomi sebelah timur dan rumah-rumah toko kecil bergaya indekos murah di sebelah utara sekaligus. Abdul Gani biasa dipanggil Pupa, maka nama itu saja yang ia ingat kalau-kalau telinganya samar-samar mendengar panggilan orang dari kejauhan. Tapi, di jalan yang tak akrab, ia lebih banyak bingung. Rindang pohon-pohon dari arboretum pinggir simpang jalan itu sesekali mengganggunya dengan semerbak kotoran burung-burung cangak yang menakutkan suaranya. Tapi itu lebih baik ketimbang ia berdiri di bawah sinar matahari langsung.

Arboretum --atau lazim dikenal sebagai hutan mini-- di tengah kota Yogyakarta hanya ada di Fakultas Kehutanan UGM, agak lebih besar dan terkenal ketimbang pendahulunya di Fakultas Biologi. Konon burung-burung cangak dulunya mendiami kawasan lembah di sebelah timur, setelah lepas liar dari dalam pagar Kebun Binatang Gembiraloka, sebelum akhirnya menginvasi ke arah  barat dan mendiami hutan mini ini. Peneliti kehutanan menyambutnya gembira karena populasi satwa ini aman di ketinggian lebih dari dua puluh meter di atas aspal, dan berarti ekosistem hutan masih bertahan. Di sisi lain, penggiat konservasi mengkritik karena burung-burung bersayap lebar dan perparuh panjang ini telah mengusir populasi burung-burung kecil seperti punai dan kepodang.

Pupa sudah tidak ingat kapan ia melewati hutan ini pertama kali. Ia hanya mengira bahwa pemandangan menyejukkan ini di tengah kota itu jadi semacam penyejuk di kala sepuluh tahun terakhir tingkat polusi kota Yogyakarta meningkat tajam. Berjuang melawan sampah-sampah spanduk tak berizin yang memenuhi tiang-tiang pinggir jalan. Ia duduk  sendirian di atas bangku kayu yang sebetulnya muat tiga orang. Setengah jam di situ, bukannya sedang beristirahat. Ia menggosok matanya yang mulai perih karena asap, dan mulai mewanti-wanti kapan kotoran berwarna putih dan kental itu jatuh dari dedaunan di langit dan mengenai topinya. Di tangannya kirinya tergenggam uang seratus ribu ripuah, dan di tangan kanannya terbungkus plastik sebentuk kroket --makanan ringan, bulat yang bagian luarnya gurih berminyak.

Setengah jam terakhir Pupa bimbang. Padahal beberapa jam yang lalu ia hanya berpikir akan berangkat dari rumahnya di Demangan, berjalan kaki sebentar melewati UGM, kemudian pulang memutar lewat Rumah Sakit Panti Rapih tempat ia dirawat karena kelainan fungsi hati, dulu. Akan tetapi pemandangan di depannya kini, itulah yang menahannya duduk, berpikir, dan takut mengambil keputusan yang salah. Pupa sudah akan memberikan seratus ribu uangnya untuk orang jalanan tidak mampu yang paling pantas mendapatkannya. Dan mungkin ia bisa memakan kroketnya sendiri, jauh dari omelan istrinya yang sering sensitif soal goreng-gorengan berminyak. Akan tetapi rupanya menjalankan niat tidak mudah. Pupa terdiam saja di bangku itu, karena di seberang jalan sana, sekelebat-lebat dihalangi bayangan kendaraan, duduk kepanasan bukan satu, dua, tapi tiga orang jalanan. Maka Pupa bingung, uang di tangannya harus pindah ke orang yang mana.

Orang pertama di seberang jalan adalah seorang ibu dan bayinya. Sang ibu mengenakan kebaya tua hitam dengan motif bunga-bunga merah, meski tidak nampak cerah karena terhalang asap dan pudar karena sinar matahari. Di tangan kirinya terpegang botol susu yang pentilnya tersangkut di mulut bayinya yang gemuk, dan di tangan kanannya tergantung gelas plastik yang nampaknya bekas mi instan seduh, bunyi-bunyi setiap kali ia bergerak. Orang kedua --duduk dua-tiga meter jaraknya, adalah seorang anak perempuan agak besar, mungkin sekira lima SD. Mulutnya terus terbuka menganga seperti sengaja membiarkan angin segar masuk, matanya menjelalat ke semua arah, termasuk ke langit. Dibandingkan ibu-ibu tadi, anak ini lebih lincah duduk kemudian berlari ke tengah lalu lintas, kemudian kembali dengan segepok uang tambahan. Ia lepas sandalnya setiap kali tiba di trotoar, lebih menikmati menginjak rumput dengan kaki telanjang. Meski begitu wajahnya tidak lebih bahagia. Keringat bercampur kotoran debu menutupi kening dan pipinya. Sesekali ia minum dari botol plastik yang sudah remuk di mana-mana. Pupa lantas terkejut, karena selain koran dan gelas tadah uang, di dekat anak itu ada buku tulis dan pensil, juga tas sekolah yang sengaja disamarkan di bawah pepohonan bulevar.

Orang ketiga, di mata Pupa, nampak lebih mengenaskan. Ia jadi sedih dan terheran-heran karena sosok ketiga itu, nampak persis seperti dirinya. Di dekat pagar trotoar yang berbatasan langsung dengan selokan, terbaring menyamping seorang tua, laki-laki. Pupa lantas mengira-ngira bahwa orang ini mungkin hanya dua-tiga tahun lebih muda dari dirinya. Tak jelas ia dari mana ataupun mau ke mana; apakah sedang beristirahat perjalanan atau memang sehari-hari tidur di situ. Pakaian kemejanya sudah terbengkalai dan hanya terpaut dua kancing paling bawah. Celananya panjang abu-abu dengan semacam karet pengikat di pinggang --simpulnya menyembul keluar dari ujung-ujung baju. Orang tua itu melipat lengan kanan yang membatasi pipinya dengan beton di bawah. Sementara tangan lainnya siaga di atas pinggul. Tidak ada yang mengusik tidurnya kecuali lalat atau semut sesekali menggigit.

Pupa melihat orang pertama dan ia tak mengira bagaimana zaman telah mengubah seorang ibu jadi pekerja yang terlalu memaksa. Ingatannya dulu terbang kala bertemu Yani, seorang gadis desa di Tulungagung.

Waktu itu 1961, dan presiden Sukarno dikabarkan mulai gusar dengan jabatannya yang dirongrong bawahannya sendiri. Kebijakan ekonominya mulai dipertanyakan karena marak menasionalisasi perusahaan sisa Hindia-Belanda tapi masih menganggap pekerja utama orang pribumi adalah di pertanian. Seorang gadis, Yani namanya, bekerja sebagai tukang jahit borongan di Modiste Kalkur, tak jauh dari jalan poros Tulungagung-Trenggalek. Letak tempat kerja yang dekat dengan angkutan manajer dan karyawan pabrik rintisan Portland Cement Maastschappij mengenalkan Yani dengan beberapa karyawan transit di warung pinggir jalan dekat situ, termasuk Abdul Gani. Keduanya kemudian dengan cepat merasa dekat, dan memutuskan menjalin hubungan sembunyi-sembunyi. Aturan perusahaan waktu itu tidak membolehkan karyawan tamtama menikah apalagi punya anak, sehingga setiap kali ingin bertemu, Sepucuk surat haris dikirim Abdul Gani dan disambut dari dalam lipatan pesanan jahitan oleh teman Yani bernama Cahya. Hubungan Abdul Gani dan Yani kemudian hanya bertahan satu setengah tahun karena belakangan, Abdul Gani mengetahui bahwa Yani sebenarnya telah menikah dan masih berstatus istri orang. Waktu itu, tiba-tiba dari bus turun seorang laki-laki renta menggendong bayi.

“Ini anakmu, aku wegah menjagai. Sudah kamu urus sendiri!” kata orang tua limapuluhan yang kemudian kembali naik ke bus itu.

Di depan modiste Yani berlutut, menahan tangis sambil menyeka kepala anak bayinya dan menutupinya dengan sarung.

“Maafkan Yani, Mas,” ujar Yani kepada Abdul Gani yang ternganga, hancur. “Seharusnya aku bisa jujur, kalau saja tidak tergoda pesona Mas yang terlalu membutakan. Aku sempat berpikir kehidupanku dan anakku mungkin akan lebih baik nanti, kalau waktunya pas dan aku mengakui semuanya kepada Mas Abdul. Tapi… rasa-rasanya tidak gampang jadi ibu yang susah untuk anak yang masa depannya mungkin cerah. Saya paham kalau Mas benci sama saya.”

Sampai di situ Abdul Gani tidak membalas perkataan gadisnya. Ia pergi dan tak ingin mampir di modiste lagi. Satu-satunya peninggalan dari Yani yang disimpannya hanyalah jas dan celana resmi yang warnanya kelabu, sebuah hadiah yang mirip-mirip dengan suasana hatinya. Sejak itu Abdul Gani menyadari, betapa perempuan tak bisa terlalu lama menjauh dari anaknya. Segala sesuatu yang terjadi pada akhirnya akan mengembalikan darah daging kepada yang melahirkannya ke dunia. Dan atas nama semua masalah yang dibawa pahit orang dewasa, bayi tetap akan jadi obat lara, pesan Tuhan yang luhur bahwa kehidupan harus berlanjut. Tidak gampang jadi ibu yang susah untuk anak yang masa depannya mungkin cerah.

Kemudian begitu saja, Abdul Gani teringat anaknya, Yuke.

Yuke kecil tumbuh tidak sempurna, bisa dibilang begitu. Saat dilahirkan lewat operasi sesaria selama empat jam menegangkan, bayi merah itu normal. Semua jari tangan dan kakinya lengkap, ibunya pun bernapas lega dan sehat. Abdul Gani merangsek masuk ke ruang persalinan Rumah Sakit Panti Waluyo tengah malam itu karena ingin langsung melihat anaknya. Sekonyong-konyong ia berkata girang, “Anakku malaikat. Dia malaikat. Terima kasih Tuhan!” Ia mencium kening anaknya, dan kening istrinya berurutan. Ia pikir kebahagiaannya lengkap sudah.

Akan tetapi tahun-tahun setelahnya tak seindah itu. Yuke tumbuh tidak lebih cepat daripada seorang bayi yang mengalami keterbelakangan mental. Di usia tiga tahun ia belum bisa berjalan dan masih menyusui; Penglihatannya rabun dan cara bicaranya terpatah-patah sulit dimengerti. Dokter berpendapat bahwa Yuke mengalami gangguan yang disebut down syndrome, gejala mental jangka panjang yang mulanya “bisa jadi asupan gizi yang buruk selama masa kehamilan, atau gen.” Abdul Gani berkomunikasi dengan Yuke lebih banyak dengan mimik wajah --yang biasanya direspon dengan gelak tawa dan mata yang memicing. Di sekolah Yuke kesulitan menerima pelajaran dan menghadapi kejahilan teman-temannya. Akhirnya anak itu sakit-sakitan, dan tidak keluar rumah. Yuke wafat di November tahun kelimanya dan dokter hanya mengatakan “demamnya tidak terkendali”. Anak itu menutup mata dengan tenang tak jauh dari buku tulis bergambar Si Unyil yang sangat disukainya. Bertahun-tahun setelah itu, kehidupan Abdul Gani tak pernah sama.

Melihat anak perempuan kumal di jalanan dan bekerja seperti masa mudanya dulu, Abdul Gani tak kuasa menahan tangis. Ia berdiri dari tempatnya duduk, dan melangkahkan kaki kanannya ke depan. Ia sudah merasa ingin sekali mendekap dan menenangkan anak perempuan berjilbab yang mengemis di seberang jalan. Akan tetapi kemudian sosok ketiga menenangkannya kembali. Uang seratus ribu di tangannya ia remas-remas tak terkendali, dan amarahnya membuncah sejenak. Ia injak-injak kotoran yang sudah menempel tipis di tanah, menyumpah-serapah sebuah nama, kemudian duduk terengah-engah.

Memori berikutnya datang dari seseorang bernama Hakim.

Hanya tujuh bulan setelah meninggalkan Tulungagung, jauh dari kehidupan gadis bernama Yani itu, pengangguran Abdul Gani hijrah ke Yogyakarta. Kabar-kabar tentang mulai maraknya penjualan koran Kedaulatan Rakyat membuatnya terpincut melamar pekerjaan sebagai wartawan di sana. Dari kawannya bernama Umar ia mendengar bahwa honor untuk sebuah berita lokal di Yogyakarta masih berkisar sembilan ribu rupiah, dan mungkin dalam seminggu seorang wartawan bisa mengumpulkan uang sekitar tiga puluh atau untung-untung lima puluh ribu rupiah, bekal makan selama satu bulan. Maka ia pagi-pagi mengambil bus yang transit di Cepu, Madiun, Solo, kemudian tiba waktu zuhur di Maguwoharjo menuju rumah indekos Umar yang baik hati menawarkan tampungan sementara. Ternyata, upaya itu berhasil. Abdul Gani diterima sebagai wartawan lepas dengan masa percobaan tiga bulan dengan upah lima ribu rupiah per laporan. Karena tulisan-tulisannya selalu mengulik sisi humanisme yang disukai pembaca, hanya dalam waktu empat bulan ia sudah jadi sorotan di antara para wartawan dan redaksi. Ia dipromosikan lebih cepat sebagai wartawan tetap, dan diberi topi hitam bertuliskan PRESS bordiran di dua sisinya.

Tapi rupanya, kebanggaan itu menimbulkan dengki orang lain. Hakim namanya, rekan sesama wartawan. Kalau Abdul Gani akhirnya diberi tugas kolom Warta Kota dan Humaniora, Hakim (sesuai namanya) pandai sekali menerawang isu dan menulis soal perkara-perkara hukum. Jambret, pembunuhan, sampai korupsi ditulisnya tuntas. Tapi toh, pembaca tidak banyak melirik tulisan-tulisan itu. Kolom hukum akhirnya dipangkas dari lima halaman jadi satu halaman saja, dan sisa lamannya difokuskan mengulik kisah keseharian Lokal. Hakim murka kepada redaksi, dan menaruh dendam terhadap Abdul Gani. Ia mulai berpikir mengerjai Abdul Gani secara pribadi.

Tiga bulan berselang dan seperti tidak ada tantangan berarti. Abdul Gani membangun kehidupannya pelan-pelan. Suatu hari ia duduk manis sambil merokok di jajaran sayap timur terminal Giwangan, dan mendapati seorang gadis menyapanya dengan lambaian tangan dari kejauhan. Ia dengar namanya diteriak-teriakkan. “Gani! Abdul Gani!”

Abdul Gani memanjangkan lehernya, dan melihat sosok tidak asing itu. Apalah namanya jodoh, walaupun pernah saling jauh akhirnya ketemu lagi pada akhirnya. Awalnya Abdul Gani mengira ia masih merindukan Yani, tapi yang di depannya kini malah seorang gadis yang mengaku telah lama menaruh hati padanya. Ialah Cahya, bekas rekan kerja Yani di modiste Kalkur. “Maaf, Mas. Kalau aku baru jujur sekarang. Sejak dulu surat-suratmu aku baca juga bareng Yani, dan di situ aku bisa menilai bagaimana tulus seorang Mas Abdul Gani memegang cinta. Walaupun rasanya cemburu di dada sesak, aku mengakui bahwa cara Mas Gani meluluhkan hati perempuan selalu merdu. Bukan salah Yani juga kalau dia tidak berani mengakui status pernikahannya. Dia terlanjur cinta sama mas…”

“Cahya, sudahlah.” Abdul Gani mengangkat telapak tangannya persis di depan mata Cahya. “Sini duduk, kamu baru sampai.”

Akhirnya mereka mengobrol sampai dua jam di terminal itu. Dan percaya cinta bisa datang begitu saja, kala dua hati yang hampa bertemu dan cocok. Hanya satu bulan setelah itu Cahya dan Abdul Gani menikah. Mereka tinggal di rumah kontrakan murah yang halamannya luas di daerah Kotabaru, jauh dari kebisingan jalan. Kehidupan mereka berjalan bahagia dan sederhana saja. Entah bagaimana ceritanya, suatu hari Abdul Gani bangun kesiangan dan telat berangkat liputan. Cahya marah-marah dan mengumpat, setelah capai memberinya semangat. Akhirnya terlontar dari mulutnya. “Pupa bangun!”

"Pupa itu apaan?" Lugu Abdul Gani bertanya kepada istrinya.

"Kepompong tidur...." Cahya menjawab ketus.

"Apa bagus kedengaran aku dipanggil itu?"

"Enggak tahu! Pokoknya Pupa ya Pupa saja. Enggak suka?"

Sejak itu, Pupa selalu jadi panggilan mesra Cahya untuk suaminya. Meski belakangan takdir baik ternyata belum berpihak pada Abdul Gani. Tiba-tiba muncul Hakim di ambang pintu mereka, dan menunjuk hidung Cahya di depan Pupa.

“Jadi kamu belum cerita ya ke suamimu, soal malam itu?” Hakim tersenyum melihat kegusaran meradang di wajah Cahya, kemudian pergi berkacak pinggang dengan tawa kemenangan meledak.

“Malam… kapan? Cahya?” Pupa mengguncang-guncang pundak istrinya dengan keras, tak berbalas. Cahya terdiam, menangis, dan terduduk menutup matanya dengan dua tangan. Ingin rasanya Pupa menampar tapi terlanjur sayang; Ingin rasanya ia mengejar Hakim dan merobek-robek baju laki-laki berkulit kusam itu, tapi ia tak berani.

Kedua kalinya dalam hidupnya, Abdul Gani menerima permintaan maaf bersama tangis dari dua gadis yang berarti dalam hidupnya. Pada akhirnya kehidupan bertahun-tahun menggajarkan Abdul Gani banyak hal yang sering kali tidak disadarinya sampai ia benar-benar ditunjukkan dalam kondisi yang kurang menyenangkan. Walaupun pada akhirnya kehidupannya membaik, ia selalu ingat hal-hal kecil yang kerap membuatnya tersenyum dan menangis sekaligus.

Di bangku pinggir jalan Fakultas Kehutanan UGM itu Abdul Gani menghela napas panjang, memenuhi rongga dadanya dengan udara pekat yang bercampur-campur. Ia bangkit, meluruskan posisi topi PRESS-nya, menyeberang menghalau kendaraan, dan tiba di sisi jalan yang lain. Ia berjongkok di depan bayi itu, menaruh potongan kroket di telapak tangan ibu itu, membisikinya sesuatu yang membuat ibu itu menangis, kemudian berjalan ke arah anak perempuan kecil berjilbab itu, menuangkan lembar seratusan ribu ke dalam gelas anak itu. Ia berjalan ke timur, melewati laki-laki berkulit legam yang masih tidur, dan menghiraukannya.

Melanjutkan hidup berarti terus berjalan, batin Pupa. Saat satu pintu tertutup, biasanya pintu-pintu yang lain terbuka. Ia tak mengira bisa bertahan hidup lebih lama dari anaknya, dari Hakim, dan dari orang-orang yang dulu pernah menaruh pesan penting dalam benaknya. Ia merasa sehat, dan mungkin besok akan merekam lebih banyak cerita lagi.

Di ujung jalan Demangan Baru, Pupa membuka pintu rumahnya. Ia lalu duduk dan menyeduh teh panas untuk dirinya, dan untuk seseorang tua, berambut putih, keriput, yang terbaring lemah di kamar itu. Ia mencium kening istrinya, dan membisikinya “Aku mau mengajakmu jalan-jalan, sayang.”

--------------------------------

Ilustrasi: Jalan Agro di dekat Fakultas Kehutanan, simpang Jalan Kaliurang, UGM/tutinonka.files.wordpress.com.

*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun