Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Nasihat Linikala (bag. 1)

21 Mei 2014   00:47 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:18 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

*

Gang sempit di antara Jalan Sutoyo dan Taman Arruyan sudah gelap pukul satu dinihari, dan Arza Fahremi berjalan sangat pelan. Remaja itu sesengukan. Kabut tipis dan genangan air seperti mengolok-ngoloknya. Pikirannya kalut, akalnya menciut. Tangannya masih gemetar dan ia masih ingat bagaimana jari-jari itu menarik keras di antara sela-sela rambut atau kulit lengan kekasihnya. Ingatan itu menyakitkan, meski ia sadar adalah setan yang menggerakkan tangannya memukuli seperti buta. Arza tidak menemukan jawaban selama tiga jam mondar-mandir di jalan untuk mengobati rasa bersalahnya. Hingga akhirnya, ia membuka Twitter, dan mengetik sebuah kalimat.

Saat kabut akhirnya mulai menaruh kasihan padanya, remaja itu terduduk memeluk lutut, dan tertidur di depan pintu.

Deru mesin jet ganda Honeywell BR menghasilkan pusaran udara di ketinggian duapuluh ribu kaki, saat pesawat Learjet berpenumpang tujuh orang itu memasuki tahap cruise, tahapan paling tenang dalam penerbangan. Imelda Ho melirik keluar jendela sejenak, bertanya-tanya apakah bilah sayap tipis yang bergoyang-goyang itu bisa tahan dengan gempuran awan tebal. Ia berusaha menenangkan diri dengan menyeruput lagi anggurnya, sembari coba memercayai candaan soal awan yang baru saja diumumkan lewat interkom pilot.

“Aduh tenang saja, Bu Mar. James dapat sertifikasi FAA dan tiga tahun terbang di Australia. Yuk bagikan lagi kartunya.”

Perempuan yang duduk menghadap ke belakang berusaha menenangkan temannya di seberang meja. Perempuan dominan ini berambut tebal, dengan baju merah yang kembangannya seimbang, mengutak-atik ponsel layar sentuh di tangannya. Ia sebenarnya sudah bosan dengan permainan ini, tapi tetap mencoba menaruh gengsinya dari balik senyuman terpaksa atas nama citra perkawanan sosialita. Bagaimanapun, tiga dari anggota rombongan itu benar-benar baru di pesawat pribadinya, jadi ia harus ramah sebagai nyonya rumah.

“Bu Imelda, enggak apa-apa, kan? Ayo main sini saja. Bisa hilangkan tegang pas terbang, lo!” ujar perempuan lain yang gaunnya tak kalah mentereng.

Yang duduk di dekat jendela hanya tersenyum, dan menjawab bahwa agaknya ia mulai ngantuk. “Pemandangan sini benar-benar cantik. Rasanya kita ada di puncak dunia,” katanya berdalih.

“O, jangankan itu, Bu,” ujar perempuan lainnya. “Kita seperti ada di puncak kenikmatan, meninggalkan semuanya di bawah sana. Right, James?

That’s right, Maam.” Interkom pilot mengiyakan. “Selamat menikmati pemandangan Himalaya, Bu Ho.

Seisi kabin terus saja bercuap, cekikikan, kemudian tertawa lepas. Mereka berbicara tentang pendapatan satu juta dolar dari perkebunan sawit Kalimantan, mengiba pada seorang lain yang suaminya sebentar lagi dijerat pasal pencucian uang, dan terkagum-kagum dengan kenalan mereka yang berhasil menembus parlemen untuk undang-undang yang menguntungkan. Untuk selebihnya bincang dan tawa itu saling menimpali seperti mereka adalah remaja sekolah yang bergosip tentang laki-laki lebih tua, atau mahasiswa yang mengirimi mereka nomor ponsel dan foto-foto nakal. Kemudian pendengaran Imelda pelan-pelan mulai mengabaikan celotehan rekan-rekan penerbangannya.

Pesawat mulai bergetar, naik dan turun pada ambang interval yang pendek. Imelda merasa perutnya bawahnya lebih pegal pada turbulensi ini ketimbang yang biasanya ia rasakan jika menumpang pesawat komersial. Di luar jendela langit biru sudah ditelan awan hitam, menyisakan bulir-bulir air di kaca yang terlempar ke sisi bingkai belakang. Ia lalu merogoh ponselnya, mengaktifkan flight  mode, kemudian membuka galeri foto.

Dua anaknya, perempuan, mulai beranjak remaja, saling berangkulan dengan latar lapangan Yankees. Imelda baru sadar betapa mirip mereka dengan dirinya. Pundaknya, pinggangnya, dan dada-dada mereka yang mulai memadat. Ia seperti melihat dirinya sendiri dalam dua dara cantik yang mencintainya. Tapi keindahan itu agaknya jadi hambar begitu Imelda sadar betapa dua malaikatnya juga mewarisi alis yang tebal, suara yang agak berat, dan perangai yang cerdik; persis Surya Lim, suaminya. Ingatan soal suami kadang membuatnya mual, betapa kehidupan jetset yang membawanya sekarang di ketinggian ini hanyalah hasil pernikahan paksa yang tak begitu menyenangkan, bahkan setelah sembilan belas tahun.

Imelda menghela napas dan kembali menyadari keriuhan di kabin. Dirinya sendiri merasa ada kesenangan meluap-luap, tatkala nanti setelah mendarat mereka mungkin akan menghibur diri dengan berbelanja di jalan-jalan Lhasa yang lebih membumi, jauh dari hingar-bingar membosankan Orchad Road atau Victoria Ave. Akan tetapi foto berikutnya di galeri ponsel itu seketika membuat hidungnya mampet lagi, telinganya berdesing lagi. Pemuda gagah berkaus merah itu bersandar di sebuah terali yang nampaknya adalah bagian kapal pesiar. Kacamata hitam melengkapi kejantanan yang menyemburat bersama senyuman yang apa adanya. Jo William, Imelda ingat betul. Seketika itu juga tubuhnya seperti menggigil --bukan karena udara dingin yang keluar tanpa ukuran dari atas kepalanya, pinggulnya bergerak-gerak seperti tersetrum, dan kepalanya tiba-tiba berdenyut-denyut.

Ini adalah jebakan perasaan spontan karena memori manis saat mereka bersama di lantai tujuh belas Hotel Clarion malam itu, diselingi ketegangan berdebar-debar bahwa hubungan terlarang itu seharusnya sudah diakhiri jauh-jauh hari sebelum ini. Imelda mulai takut melihat senyuman Jo di foto itu, seperti keinginan kuat yang tak habis-habisnya menggodanya, kadang mengancamnya. Tapi seberapapun berdebar dadanya, ia ingin cepat-cepat menghapus data itu, dan menguji apakah ketebalan saraf keberaniannya sama dengan pundi-pundi kekayaan yang dikumpulkan suaminya yang menyebalkan.

Di darat, tuts komputer itu tiba-tiba berhenti berdetak. Hamka Syam membenarkan posisi kacamata yang mulai tergelincir di punggung hidungnya karena keringat. Sekali laki-laki enam puluh tiga ini duduk, maka pantatnya tidak akan lepas dari kursi sampai ceritanya rampung ia ketik. Meskipun cerita blog kali ini benar-benar baru --dan sudah ditunggu sebagian besar pembacanya, Hamka merasa tetap ada gangguan ketika harus mengetik kata-kata yang agak sentimentil. Ia baru melanjutkan kembali ketikannya setelah dua tegukan air hangat melewati kerongkongannya, dan menjauhkan sorot lampu corong dari kepalanya.

… pada dasarnya kesejahteraan yang dimiliki seorang laki-laki tak lebih baik dari keberhasilannya menenangkan jiwa perempuan yang dicintainya. Dari Rhodes dan Callisto yang pernah hidup sebagai legenda, sampai ke zaman Ainun-Habibie dan Ratna Sari Dewi yang mengirim pesan cintanya ke banyak benua. Akhirnya jiwa yang saling mencintai akan menemukan petualangannya sendiri-sendiri, terlepas dari belenggu prasyarat yang lebih sering dijual ke orang-orang.

Hamka meneguk lagi air hangatnya, sembari menanti-nanti apakah kicauan yang diketiknya beberapa saat yang lalu sudah berbalas. Ia menyelesaikan ceritanya beberapa menit sebelum tengah malam itu, dan tertidur di kursinya sendirian. Di dalam mimpi, ia meliat Husniah, istrinya, datang dan mengelus kepalanya, menaruh penutup logam di atas gelasnya, bahkan menutup pintu depannya. Tapi mimpi itu, seperti biasanya, cepat memudar bahkan sebelum Hamka sempat bertanya, “Dari mana saja kau, sayang?”

Tiba-tiba di jam-jam sebelum subuh, ponsel di meja itu mengeluarkan bunyi ping. Hamka langsung terbangun dan mendapati dirinya sudah berantakan, dan monitor komputernya sudah dingin. Ia menekan enter dan mendapati tulisannya sudah dikomentari sebelas orang --yang kebanyakan adalah belia yang mengira hubungan percintaan mereka sudah begitu seriusnya sampai harus berkorban ini-itu.

Hamka mengusap layar ponselnya, dan mendapati pesan yang ditunggu-tunggu di Twitter akhirnya berbalas juga. Balasan itu datang dari akun terkenal yang ia jadikan patokan untuk membandingkan opininya sendiri soal cinta, hak-hak perasaan manusia, dan kehidupan yang mengubah cara pandang manusia. Pesan yang masuk ini adalah perdebatan kesekian kali di antara dia dan akun itu, dan kali ini ia membalasnya dengan kata-kata yang agak angkuh.

“Heh! Mana bisa seperti itu. Orang tua bangka saja kalau jatuh cinta sering kali buta dan memukul meja atau mengusir anaknya sendiri. Dia tidak tahu apa-apa!” Hamka menghardik.

“Ada apa, Tuan?” Tiba-tiba dari arah tangga di luar sana terdengar langkah cepat yang mendekat. Parto mendengok ke dalam pintu dan mendapati tuannya menarik napas berat. “Aduh maaf, Tuan. Saya kira ada apa. Ini baru jam tiga,” ujar pembantu itu. Hamka lalu meminta maaf dan meminta pembantunya itu kembali tidur. “Saya mau tidur sebentar lagi. Oh, Parto, tolong kau cek pintu depan.”

“Sudah saya tutup tadi, tuan. Seperti biasanya.”

“Oh.” Hamka berusaha mengingat-ingat kembali mimpinya, mengembalikan kesadarannya. “Terima kasih.”

“Permisi, Tuan.”

Pada siang harinya, Hamka bersemangat sekali mengayuh sepeda melalui jalan-jalan kampus. Sesekali ia menyapa rekan sejawatnya yang baru saja keluar dari jam ajar di fakultas, beberapa pegawai gedung, bahkan kawanan mahasiswa yang tak pernah bisa ia ingat nama-nama mereka. Dengan tas punggung merah hitamnya ia lalu mengembalikan sepeda, menjawab sapaan satpam bahwa jam mengajarnya sudah selesai, dan bahwa mungkin ia mau berjalan kaki sejenak di jalan-jalan utama sekitar situ.

“Arah mana yang trotoarnya agak bagus?”

Kedua satpam itu saling pandang, agak bingung, sebelum akhirnya mereka kompak menjawab, “Timur, Pak Syam. Hati-hati, Pak Syam.”

Dengan langkah kaki teratur --dan tidak terlalu cepat-- Hamka pikir bisa pelan-pelan mengembalikan posisi benar tulang belakangnya yang mulai agak sering sakit karena aktivitas blog. Ia menggulung lengan bajunya, mengeratkan posisi tas di belakang, dan dengan enteng berjalan-jalan sambil mengetwit. Ia kembali berdebat dengan akun NasihatBijak, membalas beberapa komentar di blog, dan sesekali menyadari nyaris menabrak lapak penjual mi dan harus mengalah turun ke jalan beraspal. Irama itu ia nikmati tanpa menghitung sudah sejauh apa ia melangkah.

@HamkaSy: Aku butuh pendapatmu soal cara berpikir pria yang pendek dan cara berpikir wanita yang panjang.

@NasihatBijak: Perempuan mengedepankan perasaan lalu pikirannya; Laki-laki mengandalkan logikanya lalu kata hatinya.

“Sok tahu….” Hamka berkomentar sambil terkekeh.

Tapi belum juga Hamka sempat membalas lagi, akun itu sudah mengetwit lagi: @NasihatBijak: Perempuan melihat lebih banyak, Itulah kenapa laki-laki harus mendengar lebih banyak.

Hamka berdeham. “Hm, kalau soal ini agak jago dia.” Sebelum berbelok melewati pom bensin yang dipadati ibu-ibu dengan sepeda motor otomatis mereka, dan kalangan sosialita dengan mobil mewah mereka yang antre di jajaran premium bersubsidi.

@HamkaSy: Kau tahu, di zaman sekarang, laki-laki kadang sama bodohnya dengan perempuan.

@NasihatBijak: Maksudnya?

Hamka menerima balasan yang paling manusiawi sepanjang pengalamannya berbalas komentar dengan akun itu. Maksudnya seakan-akan seperti orang yang ia ajak mengobrol asyik selama beberapa jam tetapi kemudian memrotes begitu saja karena dirasanya ada yang tidak sesuai.

@HamkaSy: Kau pasti tahu. Kau yang menyimpan banyak nasihat bijak.

Di sela-sela “percakapan siang” itu Hamka beristirahat sejenak dan memilih duduk di sebuah bekas halte yang lebih akrab dipakai pedagang asongan. Di situ ikut mangkal penjual rokok yang berdiri-duduk-melompat setiap kali bis berhenti. Ada juga pemuda remaja yang seperti tersedot perhatiannya ke layar ponselnya juga. Hamka membuka blognya lagi, dan terkejut mengetahui seseorang dengan akun anonim menyematkan komentar sepanjang hampir satu tulisan. Saking panjangnya, komentar itu menyita hampir satu ruang layar empat incinya itu Hamka membenarkan kacamata dan menghalangi sinar matahari, semata-mata agar pesan itu terbaca lebih jelas.

Pak Hamka, nama saya Sancay, sekarang berada di Taipei. Begitu pembukaan komentar itu berbunyi.

Pada kenyataannya, perempuan itu mengetik di depan sebuah jendela di Saint Regist Resort, sekitar dua kilometer dari Lhasa dan Barkhor di Tibet. Di lantai dua itu Imelda menaruh bantal dan telungkup malas, dan menyetel lampu kamar untuk suasana sehangat mungkin. Imelda berusaha menenangkan dirinya atas kesalahan-kesalahan yang mungkin akan diperbaikinya sekembali ke Indonesia. Imelda mengingat Jo, yang membuatnya ingin sekali memperbaiki suasana dan kembali merengkuh cinta keluarganya.

“Jeung Melda. Jeung!” panggilan di pintu menyela ketikannya di papan MacBook. “Itu mereka sudah nunggu di bawah. Katanya akan ada parade bebek goreng. Ikut ndak?”

“Aduh, Jeung Mila, maaf. Aku lagi nunggu telepon dari hubby ni. Nanti nyusul ya.”

Saat di pintu itu akhirnya tiba empat anggota rombongan lain dengan keriuhan yang khas, Imelda hanya meminta maaf dan menyilakan kawan-kawannya menikmati jalan-jalan, dan mungkin ia nitip beberapa tusuk gading untuk dimakan sebelum tidur. Setelah interupsi itu berlalu, Imelda kembali ke laman tulisan HamkaSy itu.

Di kolom komentar yang terhampar di bawah tayangan berjudul “Masih Besarkah Cintamu, Masih Hangatkah Rumahmu?”, Imelda merasakan jari-jemarinya bergetar. Entah bagaimana ia bisa sampai di tulisan itu --ia berpikir mungkin Twitter sudah menyediakan segala inspirasi bagi kegundahan orang-orang--, tapi tiba-tiba saja perasaannya tertarik dengan paragraf yang ditulis oleh seorang laki-laki duda asal Jogja. Maka merasa mendapatkan angin segar atas kegundahannya, ia mulai memasukkan pertanyaannya.

Saya adalah wanita karir kaya yang tujuh tahun belakangan menikmati hidup dengan keliling dunia. Tapi kemudian, beberapa bulan belakangan saya mulai merasak kenikmatan semua ini tak membuat perasaan saya hangat. Saya berusaha mengembalikan cinta di dada yang pernah saya rasakan dulu, tapi ujung-ujungnya saya cuma berakhir dengan harta-harta baru, dan beberapa laki-laki yang entah mencintai saya juga ataukah hanya mengincar harta. Saya ingat suami dan anak-anak, tapi rasa-rasanya saya sudah terlalu jauh berbuat dosa pada mereka dan saya takut kembali.

Suami saya --yang tigabelas tahun lebih tua-- lebih sibuk mengurusi perusahaan dan mengelola orang-orang bawahannya. Berkali-kali ia sebenarnya menyemangati saya untuk menjalankan bisnis-bisnis baru kami, tapi entah mengapa saya tidak begitu suka itu. Dulu kami menikah karena dijodohkan, jadi saya di awal-awal tidak begitu cinta padanya. Sekarang setelah anak-anak kami dewasa, saya --bukannya jadi sayang-- malah jadi segan dan takut padanya. Saya takut saya kembali, mengakui kesalahan, dan dia malah menceraikan saya atau mengancam jiwa saya. Dan saya ini tidak baik bagi kehidupan bisnis kami. Saya tergelincir terlalu jauh, Pak. Dan di kedinginan Asia Timur malam ini, saya tidak tahu harus bagaimana.

Membaca komentar masuk itu Hamka menggaruk-garuk dagunya. “Hmm…”

...

(selanjutnya di sini)

--------------------------

Ilustrasi: hngn.com.

*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun