Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Perempuan dan Trofi

30 Mei 2014   19:35 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:56 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

*

Ismi mulai menulis tentang Batik saat bertemu dengan teman semasa SMA-nya. Dari Bono, temannya itu, ia mulai terinspirasi untuk menayangkan semua isi pikirannya dalam tulisan blog. Media yang sebelum ini bagi ia seperti mainan seorang wartawan atau penjelajah yang mengelilingi Eropa kemudian menelurkan buku, akhirnya terdengar masuk akal.

Enam bulan terakhir Ismi tenggelam dalam keasyikan memilah-pilih tampilan antarmuka sampai ia pelajari jenis-jenis huruf komputer dan cara memasukkannya. Lewat blog yang ia bangun selama tiga minggu dan pelajari selama tiga bulan berjalan itu, Ismi mulai mengumpulkan ide-idenya. Selama enam bulan itu pulalah Ismi berhasil menarik pembaca dengan tulisan-tulisannya seputar corak-corak, filosofi batik di sampai perubahan pasar yang mengkritik rancangan busana berbahan batik. Ia  konfirmasi temuannya dengan mulai mengirim surat-surat, wawancara, memotret banyak tempat bahkan mengendap-ngendap keluar dari kelasnya karena ia pikir idenya harus segera ia tuliskan ke dalam blog. Semua itu begitu teratur sambil memastikan Bono tidak banyak tanya dan tetap meminjamkannya komputer jinjing empat belas inci dan modem seharga dua ratus ribu. Semua itu demi satu tujuan yang, sampai sebelum ini, cuma dirinya dan Tuhan yang tahu.

**

Apa yang ada dalam pikiran Supatmi sama sekali tidak menyentuh pertanyaan soal perubahan perilaku cucunya. Sebenarnya sering kali Ismi terdiam sendiri, tetapi Supatmi menganggap itu kegalauan muda-mudi saja. Mungkin soal mata pelajaran atau paling banter masalah asmara. Tapi tiga bulan terakhir ia merasakan Ismi semakin lain, lebih aktif, dan makin perhatian. Bahkan anak itu lebih rajin membantunya membeli bahkan memilah kain, memijat-mijat kakinya ketika lelah.

Supatmi memandangi foto seorang anak-anak bersama laki-laki paruh baya dan perempuan Jawa yang tersenyum ayu. Kertasnya buram tapi sosok-sosoknya jelas. Sepeninggal mendiang kedua orang tua Ismi karena kecelakaan kereta api, Supatmi membawa anak ini tinggal bersama di Kauman. Keputusan itu diambil semata-mata karena momen kecil seusai pemakaman orang tuanya, Ismi kecil merengek minta jarik warna coklat untuk dijadikannya selimut. Anak itu tertidur seperti begitu tenang, seperti melupakan kesedihannya yang belum tahu betul takdir yang ditentukan maut. Meskipun, setelah itu Ismi kembali hidup biasa dan tidak menaruh perhatian khusus terhadap kain yang pernah menemani kesehariannya. Melihat Ismi kembali ceria bertahun-tahun setelah momen itu, Supatmi merasa sedikit lebih muda. Serasa, jiwanya pelan-pelan digelitik juga. Hanya saja, satu hal yang Supatmi rasa paling aneh, yaitu perubahan tiba-tiba Ismi yang begitu bersemangat kembali pelajari batik. Di malam-malam selepas makan ia bertanya tentang corak-corak berlatar putih dan yang berlatar hitam, warna-warna gelap yang dominasi corak batik Yogya dan Jawa Tengah, sampai hal-hal teknis soal bagaimana Supatmi menulis batik dan bahan-bahan pembuat alat cap yang sering digunakan paman-pamannya. Supatmi bertanya-tanya sendiri, sebelum ia melupakan kegundahan itu dan menikmati saja. Pesanan kain-kain batik untuk toko-toko mahal membuat hidupnya lebih baik kini. Paling tidak, di usianya lebih delapan puluh, ia punya tabungan cukup buat cucu angkatnya itu.

**

Ismi berteriak gembira sampai kursinya terdorong. Tampilan surat elektronik berisi Pengumuman Sayembara Kisah Penggiat Budaya itu diklik tiba-tiba sehingga menutup. Layar kembali ke desktop dengan animasi balon bergerak-gerak. Ketukan di pintu pemicunya.

“Kenapa aku tiba-tiba menulis tentang batik?” Ismi mengulang pertanyaan yang ditujukan padanya yang, pada akhirnya, mencegah tangannya lanjut mengetik. Suasana bilik kecil milik Bono yang sekaligus difungsikan sebagai galeri lukis kecil-kecilan selalu hening. Bagi Ismi, pertanyaan itu mungkin sudah seharusnya ia jawab dengan jelas.

“Ya,” tukas Bono. “Aku perhatikan sudah berbulan-bulan kau menulis batik dan batik saja. Di blog, memang banyak yang baca, aku sendiri belum tentu bisa menarik pembaca sebanyak itu. Tapi, Ismi, aku cuma penasaran. Apa sih yang bikin kau tiba-tiba pelajari batik. Bukannya…. Maaf, bukannya kau pernah bilang kalau batik itu membosankan?”

Keheningan merambat sejenak. Pertanyaan itu membuat Ismi tersenyum. “Aku menyesal pernah berkata begitu, Bono,” jawabnya dengan air muka malu. “Banyak pikiran yang membuatku jauh dari ini semua. Sampai suatu malam, aku bermimpi soal mendiang Bapak dan Ibu. Setelah itu ingatanku seperti menampar kembali, terlebih soal kain batik yang jadi temanku menangis sewaktu kecil. Kain itu ternyata masih disimpan nenek Supatmi. Katanya, aku tumbuh bersama kain-kain asli Jawa, meski orang tuaku (seperti halnya kau), separuh Sumatra. Karena itulah, No….” Wajah Ismi tersenyum begitu saja, memaksa Bono mengangguk paham.

“Wah, berarti kau sudah paham banyak soal batik. Corak-corak yang di blog ini, sudah hapal semua? Benar?”

“Tentu saja aku mulai paham. Riset alakadarnya berbulan-bulan ini rasanya belum cukup, tapi aku mulai bisa menandai beberapa nama corak batik ketika aku melihatnya di Beringharjo.”

“Coba sebut?”

Ismi tertawa sipu, sampai akhirnya ia mulai mengangkat tangannya menghitung jari. “Aku tahu setidaknya… sembilan? Sepuluh nama corak batik. Tapi sebut beberapa saja ya: Sekar Jagad –yang ini namanya paling aku suka, rupanya berupa kepala dan sayap berbulu-bulu. Ada beberapa pakar yang menyebut corak ini sebagai embrio Burung Garuda. Ada juga corak Parang, semisal Parangkusumo, pertanda keagungan dan wibawa yang sakral, banyak dikenakan kalangan Kraton; Ciptoning pertanda kecerdasan berpikir, Truntum dengan bunga-bunga berbentuk titik-titik bintang pertanda cinta kasih dan simpati; terus corak Jong yang sejarahnya menyinggung busana bala-pasukan Sultan Agung ketika menyerbu pasukan Belanda di Batavia pada abad ketujuh belas. Oh! Ada juga corak Lung, yang berarti ‘burung’, bentuknya ada berupa raket-raket sejajar yang dipadu sayap-sayap. Yang ini, konon diperkenankan pertama kali oleh saudagar Cina. Satu corak paling tua, dinamai The Sin Tjien atau… Batik Tanah Sing.”

Bono terpana membuka mulutnya. “Kau pelajari ini semua dari… buku?”

“Dari buku, museum Batik, monumen di Kilometer Nol. Ada banyak sumber pengetahuan tentang batik kalau kau mau keliling di Jogja.”

“Terus, Ismi. Apa setelah ini? Maksudku, setelah paham semua ini, kau ada target khusus?”

“Oh target?!” Ismi bangkit dari kursinya. “Baiknya sekalian aku perlihatkan kau.” Ismi mengajak Bono membuka kembali tampilan laptop. “Tulisan kirimanku, menang sayembara tokoh pelestarian kebudayaan. Sebenarnya, Bono…. Ada satu tujuanku kenapa menulis blog biar dibaca banyak orang.” Ismi memperlihatkan hadiah dari sayembara itu, sebagaimana tertulis di laman. Bono membacanya kemudian mulai paham.

“Kau memilih nenekmu sebagai tokoh penerima trofi penghargaan?”

*

Sayembara itu melahirkan ajang penghargaan lanjutan yang diinisiasi oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata sebulan kemudian bertema. Nenek Supatmi masuk dalam daftar dua puluh perajin batik calon penerima Anugerah Satya Karya Batik Nusantara, membuat Ismi menangis di biliknya sampai puas.

Supatmi mencium kening cucunya sebelum bergabung dengan puluhan perempuan seusianya di jajaran kursi terdepan. Turut hadir Sultan, menteri, dan jajaran Muspida di ruangan itu. Di belakangnya ratusan simpatisan dan keluarga perajin batik datang dengan bincang-bincang yang gaungnya memantul-mantul di langit-langit. Dua puluh perajin batik yang hampir semuanya berusia di atas tujuh puluh lima tahun berbaris-baris digiring ke atas panggung. Tampil memberikan trofi adalah Menbudpar disaksikan Sultan, dengan senyum sumringah mereka yang seperti bangga dengan lengan panjang yang dikenakannya.

Kemudian dari bangku penonton, Ismi melihat sesuatu yang aneh. Supatmi tak bisa bicara apa-apa dan beberapa kali menggosok matanya dari bagian tengah baris terdepan panggung. Kilat-kilat kamera memusingkan nenek-nenek itu, dan Supatmi bahkan nampak sangat terganggu. Trofi-trofi tegak dari kaca dan batu hitam bertengger di tangan-tangan mereka dan bahkan tidak mengguratkan sedikitpun senyum. Pipi-pipi mereka seperti berat, mata mereka layu. Mungkin, pikiran Supatmi sendiri masih bingung.

Melihat itu, Ismi menangis. Pikirannya tiba-tiba berontak dan sedikit menyesal. Untuk apa aku menyarankan nama nenek untuk sebuah trofi semata? Ismi berpikir soal uang besar yang turut jadi hadiah dalam anugrah itu, tapi tidak menghiburnya. Di sampingnya, Bono melihat hasil jepretan kameranya, kemudian melihat ke arah Ismi. Ia berpikir hal yang sama.

Mengapa, trofi-trofi berkilau itu, seperti tidak berharga? Mengapa, nenek Supatmi, dan nenek-nenek perajin lainnya, bahkan tidak tersenyum?

Pasar Beringharjo, merupakan pusat perdagangan Batik terbesar di Yogyakarta, terletak di ujung Jalan Malioboro.

Ilustrasi: Perempuan Membatik, Dee Ajeng Photography/hutmp166.blogspot.com

.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun