[caption id="" align="alignnone" width="580" caption="The Jakarta Post online (sites.newsjockey.com)"][/caption]
Koran The Jakarta Post akhirnya membuat ramai pengguna media sosial yang tertarik mengamati media. Editorial mereka pagi ini (4/7) yang bertajuk “Endorsing Jokowi” dipercaya sebagai bentuk deklarasi koran berbahasa Inggris itu kepada satu pasangan calon presiden untuk 9/7 mendatang, setelah selama 31 tahun mengaku netral.
Dalam tajuk rencana sepanjang dua puluh paragraf itu, The @jakpost terang-terangan memilih Joko Widodo sebagai presiden ketimbang “pihak satunya”. Pertimbangan-pertimbangan prospek demokrasi, isu-isu penting yang mengemuka, serta janji perbaikan reformasi jadi pertimbangan editorial @jakpost mengenyampingkan Prabowo. Tak ayal, editorial ini sempat dipertanyakan publik media sosial. Apakah @jakpost sudah ikut-ikutan jadi media partisan, sebagaimana dua televisi berita TV One dan Metro TV yang kini sudah kebal dicaci maki?
Meski sulit memilih karena dua kandidat presiden adalah orang yang dianggap terbaik, nampaknya meja editorial @jakpost cenderung membenarkan kata-kata budayawan Goenawan Mohamad yang merujuk perkataan Anies Baswedan “Jika semua pilihan tidak menyenangkan, pilihlah yang kesalahannya paling sedikit.
Dalam editorialnya @jakpost menulis alasan,
“… akan tetapi kami tidak bisa duduk diam saja ketika calon alternatif [satunya] sangat tidak menyenangkan jikasaja kelak terpilih.”
… dengan menambahkan bahwa afiliasi “calon satunya” ini dengan ormas-ormas garis keras dan ketidakberdayaan mereka membantah tuduhan penculikan aktivis sudah cukup untuk menimbang pilihan.
Beragam komentar disuarakan hingga linimasa Twitter pagi ini mengangkat judul tulisan itu sendiri, “Endorsing Jokowi” di posisi keenam-tujuh terpopular. Publik awam rata-rata menyamakan @jakpost dengan TV One dan Metro TV karena, sebagai media massa, ternyata koran ini juga ikut-ikutan beropini soal kandidat politik secara tendensius.
Di sisi lain, metode yang ditempuh @jakpost malah mendapat pujian dari kalangan wartawan sendiri, dan justru dinilai lebih melindungi berita-berita mereka dari sentuhan politik.
Beda keberpihakan @jakpost dengan TV One
Editorial atau tajuk rencana merupakan cara media cetak, khususnya koran, untuk menyuarakan pendapat mereka sebagai insan manusia, dan terpisah dari materi pemberitaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan tajuk rencana sebagai karangan pokok dalam surat kabar, majalah, dsb.
Wartawan senior sekaligus direktur eksekutif produsen film-film dokumenter Watchdoc Dandhy Laksono lewat rangkaian kicauannya pagi ini menjelaskan, apa yang diumumkan @jakpost pagi ini tidak serta merta membuat mereka menjadi media partisan, sebagaimana yang terjadi di TV One dan Metro TV.
10. Rubrik ini dibuat sebagai bagian dari kesadaran, bahwa redaksi pasti punya bias dan punya sikap dlm memberitakan hal apa pun. — Dandhy Laksono (@Dandhy_Laksono) 4 Juli 2014
Dandhy merupakan mantan pekerja MNC Group yang pada Kamis kemarin sempat berdebat dengan pemimpin redaksi RCTI Arya Sinulingga di Dewan Pers terkait independensi media televisi, khususnya kasus “hoax bocoran surat permohonan penangguhan penyelidikan Transjakarta dari Jokowi untuk Kejaksaan”.
Editorial, lanjut Dandhy, merupakan hak khusus bagi redaksi koran atau majalah untuk menyalurkan “syahwat” mereka ketika harus menentukan sikap, termasuk untuk hal-hal politik.
Sifat “kamar khusus” yang melekat pada editorial membangun dinding api yang tegas antara opini redaksi, dengan materi-materi berita yang diunggah setiap hari lewat proses peliputan jurnalistik. Karena itulah Tajuk Rencana/editorial wajib menempati kolom khusus di tataletak koran, dan secara visual tidak disatukan dengan konten berita. Dengan sekelumit cirinya, eksklusivitas editorial inilah yang tidak dimiliki televisi.
“Media cetak berbeda dengan televisi atau radio; koran dicetak dengan sumberdaya sendiri, sedangkan televisi/radio disiarkan dengan frekuensi negara (publik).” Dandhy menjelaskan, siaran televisi dan radio sampai ke telinga pemirsa tanpa bisa dicegah --kecuali dengan mematikan alatnya--, sementara koran bergantung pada hak dan daya beli."
Oleh karena itu, ketika koran menggunakan hak opininya, semuanya akan kembali ke calon pembaca, apakah mereka akan membeli koran itu, ataukah tidak. Begitupun di ranah daring (online), maukah membuka tautan atau tidak.
Meski demikian, Dandhy menekankan bahwa tetap ada risiko-risiko yang akan dihadapi @jakpost setelah mengumumkan keberpihakan editorial mereka. Yang akan paling berpengaruh adalah akses wartawan-wartawati mereka pada calon-calon narasumber yang sekiranya “berseberangan” dengan opini redaksi.
The Jakarta Post pasti tahu risiko editorial mereka. Bahkan koran sekelas Kompas pun sempat disorot ketika menerbitkan Tajuk Rencana 6 Mei 2010 berjudul “Pengunduran Sri Mulyani”.
Koran Palmerah itu dipertanyakan karena dalam tubuh artikel redaksi tersebut, tak sedikitpun mereka menyindir tanggung jawab pemerintah sampai-sampai sang Menteri Keuangan terbaik itu pergi, hingga akhirnya hijrah ke Amerika beberapa bulan berikutnya. Dosen IKIP PGRI Madiun bahkan sempat membuat analisis perbandingan yang mempertanyakan, mengapa Kompas tidak mengajak publik menggugat tanggung jawab SBY saat itu.
Benarkah Pilihan Sulit?
Dalam sejarahnya, setiap koran di Indonesia selalu menghadapi dilema di musim politik. Dituduhnya Kompas menerbitkan hasil survei berbayar lewat litbangnya baru-baru ini jadi bukti betapa sulit mengokohkan netralitas bagi media di musim pilpres.
Yang menarik juga adalah, keputusan @jakpost mendukung Joko Widodo sekilas agak berseberangan dengan kasus praduga yang baru-baru ini menimpa pemberitaan mereka. Jika pembaca masih ingat, pada 12 April lalu The Jakarta Post memuat di laman mereka tulisan yang kurang lebihnya mengatakan “Jokowi diusir Puan Maharani; Perpecahan di tubuh PDIP”.
Beberapa saat setelah tulisan itu diunggah, protes melayang ke @jakpost, baik dari PDI-P selaku objek berita. Publik Twitter menantang penulis artikelnya bersuara. Bahkan Joko Widodo sendiri dengan nada tinggi mengaku ingin menemui wartawan yang menulis berita tidak benar tersebut.
Akhir dari kisah berita bersumber anonim @jakpost itu sama-sama diketahui: The Jakarta Post menerbitkan berita klarifikasi yang berisi sanggahan Joko Widodo beserta Puan, dan petinggi partai banteng lainnya. Meskipun, sumber anonim yang dimaksud pada akhirnya tetap disembunyikan.
Ingatan ini jadi menarik jika kita menarik garis lurus antara kasus berita bersumber anonim ini dengan keputusan The Jakarta Post mendukung Joko Widodo. Ini bisa dipakai sebagai hipotesis, bahwa suara redaksi mereka akhirnya menjadi bulat setelah melalui pertimbangan-pertimbangan yang sulit. Ataukah bisa jadi, The Jakarta Post sebenarnya menghadapi pilihan yang sejatinya tidaklah benar-benar sulit.
The Jakarta Post bisa saja hanya menjalankan pesan Anies Baswedan tadi: memilih yang terbaik dari dua yang tidak meyakinkan. Dengan menulis bahwa “Prabowo memiliki semua kriteria yang kami catat sebagai kecacatan kandidat” redaksi bisa saja menyadari bahwa sebagai koran senior yang punya corong berita hampir ke seluruh dunia, @jakpost bisa memanfaatkan kuasa editorial ini untuk menghentikan laju Prabowo, sebisa mungkin.
Sungguhpun, editorial bersejarah ini tidak satupun menyantumkan nama sang mantan jenderal.
"There is no such thing as being neutral when the stakes are so high." - The Jakarta Post
----------------
Editorial lengkap "Endorsing Jokowi" bisa dibaca di sini.
*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H