Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Setan… Setan!

19 September 2014   23:45 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:11 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

*

SAMBIL MENGELUH, Zulfadi Mulkin melepaskan cumbuannya pada leher sang istri. Ia ingin sekali mendaratkan bibirnya sekali lagi pada tonjolan pundak yang licin itu akan tetapi ketukan mendadak, berkali-kali di pintu tidak bisa diabaikan. Siapa pula yang datang di pagi buta begini? Ia berpakaian, meminum sisa perasan jeruk, mematikan lampu kamar --di saat istrinya yang telanjang sudah telanjur mengantuk-- kemudian membuka pintu. Di sana ia menemui seseorang yang tak bisa ditolaknya. Virgi Listawan berdiri di sana, terengah-engah. Wajahnya seperti diburu setan dan kaus abu-abunya dirembesi keringat di dada dan ketiak. Ya ampun, ternyata setan benar-benar mengejarnya.

“Kau tidak tidur sama sekali?”

Zaulfadli mengomentari penampilan rekannya yang seberapa lama diam. Mazda kompak keluaran tahun 2010 sudah meluncur di tengah kecamatan Kemalang menuju utara. Gunung Merapi mustahil terlihat dengan kegelapan sedemikian. Kabut memeluki tiang-tiang lampu jalan yang membisu.

Virgi menggeleng. Untuk kesekian kalinya ia menghela, merubah posisi duduknya, menggigiti kukunya, atau sekadar mengelap keringatnya. Rekan itu jelas tidak tenang, dan sesuatu yang diketahuinya malam ini mungkin benar-benar tidak bisa membuat mata terpejam.

Tolong. Tolong kami. Polisi tidak percaya apa yang telah kami lihat.

Mereka kira itu pencuri! Tapi bukan, kami yakin itu setan.

Setan yang memakan tiga orang dan akan mengejar lebih banyak lagi.

Monster. Monster. Meminta janin dan air tuba. Tolong datanglah segera. --Rahayu.

Virgi menggulung, meremas lagi kertas itu lalu memasukkannya ke saku celananya. “Dia kembali, Zul. Setan itu kembali. Awalnya kuanggap Rahayu membual --kita tahu dia suka lebai sejak kuledeki belum punya jodoh. Tapi ternyata… jeritannya malam ini tidak bisa membuatku tidur. Aku belum memberitahumu detilnya. Jadi, sekitar jam sebelas tadi aku meneleponnya, sekadar mengisi waktu sebelum mengantuk. Kau tahu aku sering melakukan itu dengan banyak orang, laki-laki, perempuan. Si Rahayu, awalnya cerita banyak soal pekerjaannya di klinik, pasien-pasien tua yang cerewet, upah yang nunggak dua minggu, sampai laki-laki menjengkelkan yang terus merayunya pindah ke Batam. Aku pernah cerita kan, soal niatannya pindah kerja dan ganti semua nomor kontaknya?”

“Ya. Dia tidak ingin diganggu lagi oleh cowok.”

“Ya, mungkin juga tidak ingin diteleponi olehku terus. Apapun lah. Akhirnya, dalam obrolan kami tadi, sekitar setengah jam lewat, Rahayu pamit sebentar ke kamar mandi, dan teleponnya ia taruh di suatu tempat, meja atau apa. Dan di situlah aku… aku dengar… ia menjerit.”

“Dia benar-benar menjerit? Siapa tahu dia berbicara denganmu dari kamar mandi?”

“Zulfa, aku tahu beda kata-kata dengan jeritan. Dia menjerit! Scream! Kau tahu, film-film itu? Dia ketakutan, Zul. Ada yang mendatanginya tadi…!”

“Bisa jadi ponselnya ada masalah. Sering aku menelepon tiba-tiba muncul bunyi desing atau gemerisik rancu, tidak keruan.”

“Kalau itu bunyi error, bagaimana bisa aku menjelas ia berbicara? Janin. Janin. Serahkan janinmu. Mati. Aku dengar kalimatnya, suaranya, bergemuruh. Dan jelas itu bukan suara perempuan apalagi Rahayu. Langkah kakinya bahkan terdengar berat, diseret seperti pemangsa yang mengendap-ngendap. Aku sempat dengar kaki kursi besi ikut terseret. Kemudian jeritan sekali lagi --yang aku bilang tadi, suara Rahayu, lalu ponselnya mati. Ya Tuhan, ini tahun 2014 dan tidak kukira aku masih bisa mendengar yang seperti itu.”

Zulfadi mengangguk berusaha memahami jalan pikiran yang resah dari rekan di sampingnya. Meski begitu ia tak benar-benar percaya, apakah semua yang digambarkan ini benar-benar terjadi. Seharusnya ia berbaring di samping istrinya yang hangat, bukan terjebak di daerah kecil bersama seorang laki-laki dan ketakutan tak logis. Mazda itu berbelok melewati alun-alun Klaten kemudian mengarah ke timur. Di luar sana dua-tiga lampu putih dari warung kopi dan angkringan masih menyala untuk para sopir taksi dan sisa orang jalanan yang masih hidup.

Rumah itu peninggalan Belanda. Arsitekturnya klimis tapi batu-batuannya besar dan tua. Seperti kebanyakan rumah kolonial, tidak ada lantai dua. Atapnya tersusun dari genteng Alkalia setidaknya berusia 75 tahun. Langit-langit di sudut luarnya sudah keropos dimakan rembesan hujan. Catnya memudar dan jendela-jendelanya terpaku teralis dengan tulisan stiker biru ‘KLINIK BIDAN RAHAYU’.  Sementara di bawah lekukan atap depannya tersamar tonjolan huruf Anno MCMXXV, menandakan waktu persis pembangunannya.Halamannya teduh dengan sebuah pohon beringin di sudut tenggara dan setapak kerikil membelah hamparan rumput menuju rumah. Bulir air menetes dengan tempo lambat dari keran kecil yang tersembunyi di salah satu dinding luar. Lampu temaram hanya ada di atas pintu. Dan di dekat keset yang teruntai bahan serabut kelapa, hanya ada dua sandal, resmi dan satunya sandal jepit karet. Hanya saja, sandal karet tertinggal hanya sebelah, satunya hilang entah ke mana.

Virgi dan Zulfadi saling tatap dalam kebingungan yang mengkhawatirkan, karena baik pintu dan jendela rumah itu tidak terkunci. Mereka melewati ruang tamu, koridor di dekat jajaran patung bernuansa Hindu, lukisan dan foto-foto usang, kemudian berakhir di dapur. Tidak ada tanda-tanda nona rumah, kecuali bagian kanan dari sandal karet model Jepang warna hijau putih itu, tergeletak di tengah karpet. Zulfadi mengeluarkan revolvernya sementara Virgi merapatkan punggungnya ke dinding. Ada cahaya bergerak-gerak di dapur berasal dari lampu gantung yang baru saja disentuh sesuatu. Saat akhirnya mulai menyatu dengan keheningan, mereka bisa mendengar suara sesengukan pelan. Virgi menutup bibir dengan telunjuknya memberi tanda kepada Zulfadi. Dan dengan isyarat berhitung ala kepolisian, mereka mendobrak sebuah kamar di sisi utara persis sebelum dapur. Pintu terhempas ke dinding, dan refolver Iptu Zulfadi sudah mengambil alih ruangan.

Virgi menghambur melintasi karpet dan berjongkok di dekat ranjang. Tangannya ia rogohkan ke kolong pembaringan berkaki besi itu, mengangguk-angguk dan membujuk, hingga akhirnya berhasil menyambut sebentuk lengan putih. Lengan itu langsung mencengkeram tangannya, berusaha menarik bajunya ke kegelapan. Melihat itu Iptu Zulfadi makin siaga. Ia siap menembak kapanpun. Virgi kemudian memberi isyarat tidak-apa-apa sesaat sebelum menarik tubuh itu keluar dari kolong. Rahayu ketakutan dan tak bergerak. Hanya sehelai kain pantai yang bisa didapatkan Virgi untuk menutupi pundak dan bagian atas dadanya yang terbuka. Zulfadi berjaga di pintu saat perempuan itu, dengan terbata-bata, menceritakan kejadian yang menimpanya.

“Sudah kubilang itu setan!”

Rahayu melotot, matanya merah dan nyaris banjir air mata. Tangannya masih bergetar. “Lihat! Tanganku bergetar. Kakiku dingin, aku tidak bisa merasa. Virgi, setan itu kembali. Wedhus, dia monster.”

“Dia? Hayu, tenang. Ceritakan pelan-pelan. Siapa yang mengejarmu? Siapa yang memburumu?”

“Setan! Kau dengar, Virg? Aku per-pernah SMS ke kamu soal Kang Hadi yang ma-mati? Seminggu lalu? Eh… Nah… Ada dua orang lagi mati. Tempatnya beda-beda, tapi semua orang sini. Astaga, Ya Tuhan. Apa yang telah menimpa mereka. Neraka telah menjemput mereka atau… atau…”

“Rahayu….” Virgi berlutut di depan Rahayu, berusaha menenangkan perempuan itu dengan menggenggam tangannya. Kedua pasang mata itu saling tangkap, dan sepertinya cara itu berhasil. Rahayu mulai menghela napas, mengangguk, dan mulai merasakan gerak bibirnya. Pemandangan yang rupanya agak mengganggu Iptu Zulfadi yang melirik mereka.

“Coba. Ceritakan padaku. Seperti biasa kita mengobrol. Santai, mengalir. Semuanya ringan. Ya?”

“Terima kasih, Virg.” Rahayu menghela napas lagi, meminum air dari gelas kecil di dekatnya, menyeka matanya lalu kembali bercerita. “Mas Hadi dikira mati karena anjing gila. Mas Wisnu, yang berpulang 5 hari kemudian, dikira disatroni perampok kemudian dibacok. Tapi belakangan ada desas-desus warga. Mpok Sitemi yang pertama cerita. Mas Hadi dan Mas Wisnu sering main gaple bareng. Di rumah Pak Dar. Pulangnya sekitar jam 2 atau jam 3. Kata Mpok Sitemi, kan dia jaga angkringan. Nah, katanya sebelum Mas Hadi meninggal, dia seperti jalan sendiri begitu, masuk ke dekat-dekat pohon bambu. Habis itu dia berteriak kencang, terdengar langkah berat, seperti tanah dipukul-pukul, pindah-pindah, kemudian hilanglah teriakan Mas Hadi. Dikira anjing memburunya. Tapi tidak ada jejak anjing di sana.”

Rahayu meneguk lagi air dari gelasnya. Sementara di pintu, Zulfadi mulai mengamati halaman yang semakin ditelan sunyi. Lolongan anjing merana dari kejauhan.

“Mas Wisnu?”

“Dia juga pejudi. Kata orang dibacok, ada bekas luka dalam di leher belakangnya. Tapi lukanya ada empat, seperti cakar. Menyamping dari kanan atas ke kiri bawah. Kalau itu bacok, mana mungkin seperti itu lukanya?”

“Lo, dari mana kau tahu lukanya sedemikian?”

“Dokter Hamdi yang bocorkan hasil otopsinya. Aku tidak sengaja lihat pas ambil berkas di Panti Waluyo. Monster, Virg! Mereka berdua dibunuh monster. Mungkin dosa mereka sudah banyak. Mas Wisnu juga lewat pohon bambu itu, Ya Tuhan. Dan malam ini setan itu datang kemari. Dia… dia…. Lebih seram dari yang kubayangkan. Suaranya dalam. Langkahnya menyeret, pintuku tidak bersuara tapi langsung terbuka. Dan sudah kudengar palu-palunya memukuli dinding di sini….”

Perempuan itu kembali gelisah dan melihat sekeliling. Ia berusaha bangkit tapi terus ditahan Virgi yang memegangi tangannya.

“Aku lari ke kamar waktu mendengar itu, terus aku lupa aku tidak bawa ponsel. Kemudian aku berteriak-teriak sendiri minta tolong, waktu kudengar bangkuku bergeser dan setan itu mulai melewati koridor. Di dapur tidak ada barang apa-apa jadi aku memilih mengunci diri. Kudengar dia berteriak, ‘Janin.Janin. Serahkan nyawamu. Mati. Mati!’ Janin apa? Aku tidak tahu, tidak ada gambaran. Dia membunuh dua orang mungkin tiga, untuk apa mengejar perempuan? Aku tidak hamil, untuk apa dia meminta janin? Kemudian… aku tidak ingat apa-apa lagi.”

Kisah yang membingungkan. Zulfadi menangkap pandang dengan pertanyaan serupa dari mata Virgi, rekannya. Mereka lalu memutuskan untuk menginap di ruang tamu itu, sekadar menjaga Rahayu dan mungkin kemudian bisa bertanya ke warga sekitar.

Hari lebih gelap dan suram dari yang seharusnya di pukul sembilan pagi. Setelah tak banyak mendapat info dari tujuh-delapan orang di sekitar, Iptu Zulfadi berdiri menghadap serumpun bambu tua yang membelah kampung di dua RT berbeda. Setapak itu hanya dilapisi tanah dengan bercak darah kering yang di banyak bagiannya dikerubuti semut. Garis polisi tinggal beberapa senti setelah dicopot, dan tanah bergunduk-gunduk membentuk jejak semacam roda, sepatu-sepatu, dan mesin. Pekerjaan reskrim menuntut ketelitian, dan Zulfadi hapal setiap prosesnya. Pola lengkungan bambu, proyeksi jejak jalan seseorang dari dua arah berbeda, dan bagian tanah yang paling sering diinjak. Penelusuran jejak akan lebih mudah di ruangan tertutup. Di alam terbuka dan kampung yang tidak tertata, jejak kriminalitas menghilang bersama kemasan makanan, roda-roda pedagang kakilima bahkan ulah ceroboh petugas. Tidak ada jawaban dari lengkungan bambu itu, maka Zulfadi mencoret kemungkinan kecelakaan atau serangan dari arah depan. Kalau perempuan itu benar, maka seharusnya penyerang berada di….

Bayangan di tanah itu memanjang. Terkoreksi sedemikian rupa oleh sosok yang tak jelas. Zulfadi tak sempat mengoreksi kalimatnya sendiri. Cahaya matahari tiba-tiba silau di atas kedua matanya.

Di ruang tamu itu, Virgi merasa sudah terlalu lama menunggu. Jam lima sore, makan siang sudah lama dingin --ia memutuskan membuat sup udang yang mungkin berguna untuk pemulihan trauma, tapi lalu makan sendirian. Belum ada kabar dari rekan polisinya. Berkali-kali dihubungi tapi ponsel Zulfadi tidak aktif. Virgi merasa rekannya itu memanfaatkan situasi desa yang tenang dan dengan curang melepas kejenuhannya bersama mbak-mbak penjaga warung kopi atau melipir ke tempat-tempat karaoke terselubung. Polisi tidak sepenuhnya lurus, apalagi dihadapkan pada pemakluman sosial dan penghargaan kerja yang minim. Virgi bangkit kemudian bermaksud meminta izin sebentar dari nona rumah. Mungkin Rahayu masih tertidur karena dari pagipun belum ada suara dari dalam kamarnya, selain keran air yang menyala sedikit-sedikit. Jam setengah dua belas, ia tak tahan lagi. Ia ketuk pintu kamar, tapi tidak ada jawaban. Ia ketuk lagi, tidak ada jawaban. Jangan-jangan? Virgi mulai berpikir macam-macam. Ia lari keluar rumah kemudian mengitari halaman, langsung menuju bagian luar kaamr tempat Rahayu beristirahat. Satu kerai jendelanya terbuka tapi tidak mungkin menjangkaunya. Barisan tanaman pot akan hancur jika dilewati. Maka Virgi kembali ke dalam dan mulai menggedor-gedor. Memanggil nama “Hayu. Hayu!” pun tidak berbuah apa-apa. Akhirnya dengan keruwetan pikiran, dan kecurigaan yang memuncak, Virgi merapatkan lengannya yang ditekuk sedemikian rupa. Sekali dobrak, pintu itu terhempas.

Selimut menggunduk dan menutup hingga ke kepala ranjang. Virgi tidak melihat ada gerakan di bawah selimut, tidak pula ia dengar dengkuran. Maka pelan-pelan ia mendekat, merogohkan tangannya, mengintip ke kamar mandi -yang kosong dengan embernya yang meluap-luap. Selimut itu ia tarik, hingga mulai terulur makin ke bawah. Lalu Virgi menutup mulut. Ia meminta maaf karena di bawah sana Rahayu sudah bangun dengan senyuman. Perempuan itu tampak lebih sehat, rambutnya sudah terikat rapi. Virgi lega kekhawatirannya tidak terbukti. Kecuali, ia cemas dengan gerak mata Rahayu. Perempuan itu meraih tangannya. Virgi sadar, ia terjebak sesuatu di dalam kamar itu, apalagi ketika sadar perempuan itu telah melepas pakaiannya dengan sengaja sebelum ia masuk.

“Maaf aku sudah bikin kau khawatir, Virg.”

Rahayu melontarkan kalimatnya jauh lebih rapi sekarang. Seperti sudah direncanakan lama, setiap kata keluar dari mulutnya dengan nada yang tidak terlalu tinggi, tapi tidak juga rendah. Genggaman tangannya tak mau ia lepas dari tangan tamunya itu, sementara pintu masih terbuka lebar. Rahayu mengangkat pundaknya sedikit dan berusaha duduk, kemudian dengan isyarat syahdu ia mulai mengajak Virgi ke sampingnya.

Virgi kikuk. Kepalanya langsung pusing. Ia tidak ingat kapan terakhir kali melihat perempuan dalam keadaan seperti sekarang. Pendengarannya memudar, darah mulai membanjiri rongga kepalanya.

“Aku selalu tahu bahwa kau akan datang jika aku dalam kesulitan. Di kamar ini, aku meringkuk tadi malam, ketakutan. Tapi di sudut jauh hatiku aku yakin kau akan datang, bagaimanapun caranya. Eh, ternyata kau bahkan membawa polisi, aku jadi merasa aman.”

“Ya. He-he-he. Ngomong-omong soal polisi, aku belum melihat Zul sejak keluar tadi pagi. Mungkin, baik kalau aku cari dia dulu.” Virg menarik tangan Rahayu yang mulai menggerayanginya, dan melangkah mundur, menyalamatkan diri sebelum ia terpeleset jatuh.

“Virg….”

Rahayu menatap tak banyak kata. Kedua matanya sembab seperti telah lama menangis. Kesepian dari seorang wanita sering kali tak berbahasa. Hanya terbaca dari tulisan, getar suara, atau cerita-cerita rekan kerja. Akan tetapi Virgi yakin mata adalah jendela jiwa. Perempuan itu meminta sesuatu darinya, yang mungkin tak seharusnya ia berikan --tidak dalam situasi sebingung ini. Virgi berusaha menguasai dirinya dan meyakini ia akan baik-baik saja, apapun keputusannya. Ia genggam tangan Rahayu, kemudian menghela napas. Langkahnya yang tadi ingin ia tarik, kini pasrah. Karpet yang mengalas kaki-kaki ranjang tak lagi rapi, Virgi menyeret dan melepas sepatunya dengan kaki yang lain. Rahayu tersenyum, tak lama lagi ia mencetak nama di tubuh laki-laki yang selama ini tak berhasil digodanya. Entah tangan mana yang bergerak, tapi pintu kamar itu mulai berderit kembali… menutup.

Lalu Rahayu pindah ke bawah, meringkuk sedemikian rupa. Gerakan langkah berat tiba-tiba terdengar dari ruang tamu. Drap-drap! Karpet terseret, mangkuk sup tumpah ke lantai.

Virgi hanya sempat menyerahkan bibirnya sekian detik ketika tiba-tiba ia mendengar letusan senjata. Virgi terbelalak. Di ambang kamar, rekannya Zulfadi terengah-engah mengarahkan revolver yang ujungnya kini berasap. Darah segar muncrat ke helai selimut saat Virgi menyadari perempuan di bawah dadanya tengah meringis kesakitan. Peluru menembus tengah lengan kanannya, mengucurkan darah sampai ke lantai.

“Aaaarrgh… Setan!” Rahayu mengumpat. “Kau monster!”

Dengan pistol tetap tertodong, Iptu Zulfadi menyeringai. Ia mencari-cari karpet kemudian menendang pisau dapur mengarah sampai terhempas ke dinding kamar mandi. Ia tarik rekannya dari atas tubuh telanjang perempuan itu, kemudian memandang penuh murka.

“Wanita jalang. Lonte! Kau menjebak tiga laki-laki ke kamar ini untuk kemudian kau bunuh. Kau ini psikopat atau apa? Atau… hanya menghukum nafsu laki-laki yang mudah takluk dengan rayuan kata-kata dan sepasang mata palsu? Oh… pasti kau tidak menyangka pujaanmu Virgi akan datang membawa polisi, kan? Karena itu kau kebingungan dan mengurung diri di kamar. Hah….!”

Virgi diselimuti kebingungan melihat adegan di hadapan matanya. “Zul, ada apa ini?”

“Wanita ini, kawanku Virgi… spesialis pembunuh laki-laki. Hadi, Wisnu, mati di tangannya… di kamar ini dan bukan di jalan luar sana. Calon korban ketiga sampai kusogok dua juta agar mau bicara. Mereka mata keranjang, peselingkuh. Dia ini membujuk, bagaimanapun caranya biar si laki-laki datang. Hakim beruntung langsung lari, kena lemparan asbak di belakang kepalanya. Kepadanya wanita ini berpura-pura terpeleset di kamar mandi. Berkata sejujurnya pada polisi tentu akan memecah rumah tangga mereka. Wanita ini menikmati permainan, dan aku beruntung kau masih belum larut bersamanya. Sejak awal aku tidak mempercayai ceritanya waktu kau bilang ada monster atau setan di hari-hari begini. Kau kira ada setan. Nah… ini dia setannya. Kecantikan adalah tipuan beracun, dan skeptisme logis adalah obatnya. Aku pilih mengikuti naluriku.”

“Kau setan!” Rahayu kembali mengumpat-ngumpat. “Aaaarhh.. tolong…. Bawa aku ke dokter….”

Zulfadi terkekeh. “Kau lebih pantas mati…. Aku membuang-buang waktu berkualitasku demi omong kosong dan kebodohan.”

Sementara Virgi, yang sadar telah disindir dengan keras, berusaha menyembunyikan kemarahannya, pada perempuan itu, atau pada kebodohannya sendiri. Ia malah tak bisa berkata apa-apa. Selepas magrib, warga bertukar gosip, saat kawanan polisi mendatangi desa mereka sekali lagi.

-------------------

Ilustrasi: chillingscenesofdreadfulvillainy.blogspot.com.

*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun