Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kisah Harli Gideon

30 September 2014   04:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:59 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

*

DARI MIMPI yang rasanya teramat jauh, aku melihat banyak hal. Kebanyakan hal-hal biasa yang sulit kumaknai artinya, bergantian dengan hal-hal indah yang menenangkan, atau hal-hal buruk yang menakutkan. Tuhan menyayangi manusia dengan ingatan lebih sering pada hal-hal indah, dan keterlupaanpada mimpi-mimpi buruk. Nurani jelas memilih senyuman di saat bangun ketimbang cekik napas dan bulir keringat. Sungguhpun dapat memilih, apa yang hinggap ke dalam pikiran dan batin manusia kadung berpisah dari dinding kehendak.  Dalam guncangan pikiran hari-hari terakhir, bayang-bayang buruk terlihat lebih nyata. Suara-suara di dalamnya yang sumbang kuingat sampai sekarang. Tempat-tempat kotor, bau udara yang masam, dan seringai orang-orang aneh bisa tiba-tiba muncul di sudut ruangan, atau menggertakku di pinggir jalan.

Akan tetapi, Tuhan menyeimbangkan ketakutan manusia dengan kewaspadaan. Seperti menyediakan timba bertali untuk sumur yang dalam. Manusia takut tercebur tapi merindukan air segar dari dasarnya. Dalam upaya-upaya pembiasaan, aku tetap mengerjakan tugas-tugas kemanusiaanku, menyalin naskah-naskah kuno dan menyitirnya ke dalam rak. Jika pagi aku berurusan dengan debu dan benda-benda mati, sore hari aku duduk dengan tetua yang mengukur kehidupannya sebagai lembar-lembar buku --dan mereka merasa tengah menjejaki lembar terakhir. Di saat-saat itu aku bisa menonton bayang-bayang buruk sebagai lelucon. Tidak jarang, keburukan di depan mata dengan mudah kita tertawai, lantaran ironi nyata di banyak tempat terdengar lebih lucu.

Di suatu sore, aku menyimak cerita dari Harli Gideon. Hari-hari belakangan orang tua ini mengaku juga kesulitan tidur --aku menebak lampu di kamarnya mungkin terlalu terang atau bunyi-bunyi mesin cuci yang rusak membuatnya takut. Satu-satunya hal yang menyegarkannya mungkin adalah sapuan minyak zaitun di kulitnya tiap pagi, dan sayuran brokoli yang membuat rambut putihnya tampak berkilau. Kesamaan nasib terbukti menyambungkan pikiran. Kami duduk di bangku kayu dalam naungan pohon beringin tua. Harli mengeluarkan buku kecilnya dan mulai mencatat setengah-setengah apa yang ia ceritakan padaku.

“Di masa muda, aku bukanlah orang yang berhasil, kau tahu?”

Pertanyaan aneh, batinku, karena aku tahu persis perjalanan seorang Harli Gideon. Pemilik perusahaan Hopwell Tbk, bos untuk 40.000 pekerja pabrik cip komputer, dan seorang semi-filantropi bersama mantan istrinya yang seorang anggota dewan. Ia juga anggota komuni yang rajin dan terkadang muncul di majalah Tokoh-tokoh Menginspirasi. Saat aku singgung perihal apa yang mengecewakannya, barulah ia menatapku serius.

“Pernahkah kau merasa ketakutan… setelah melakukan hal buruk?”

Setiap manusia, kujamin, pernah. Maka aku menjawab pertanyaannya sebagaimana orang lain akan menjawabnya.

“Ketakutan seperti… setelah membunuh?”

Aku tak langsung menjawabnya. Sulit kupercaya, seorang berpembawaan lembut dan sangat sosialis ternyata pernah terjerembab dalam kriminal serius. Harli bahkan tidak memukul nyamuk yang menggigiti kakinya. Kalau toh benar yang dikatakannya, aku tak berani berkesimpulan lebih jauh. “Anda pernah membunuh?”

Harli mengangguk. “Waktu itu pagi berdebu di ujung musim kemarau, Minggu, seingatku.” Matanya sambil mengamati julur-julur akar beringin yang rasanya terus memanjang. “Aku sedang berkendara menuruni jalan dari arah utara. Di dalam mobil, ada Elina --istriku yang sekarang mantan, dan Jimny, anak kami yang waktu itu kelas lima SD. Mobil melaju mulus melewati jalan yang disisikan pepohonan jati, meranti, dan warung makan yang jarang-jarang. Awalnya kupikir akan menyenangkan karena kami berencana sarapan nasi ayam gepuk pagi itu sebelum berpencar --Elina ada acara tahunan di yayasan, sementara Jimny ingin berkemah seharian di pantai. Aku berniat menikmati makan enak seharian sebelum melanjutkan naskah presentasi. Mobil melaju mulus, dan Jimny mulai menyanyikan pelajaran sekolahnya. ‘Kuharap kau bisa menciptakan lagu suatu hari, Nak,’ kataku. Dari spion di atas kepala kulihat wajah anakku sumringah dan bangga. Akan tetapi di sampingnya, Elina malah membuatnya tidak nyaman. ‘Matematika, Pa, keunggulan Jimny. Dia pasti berhasil di Olimpiade dan jadi doktor yang meneruskan perusahaanmu. Bukankah itu hampir pasti, Ya sayang?’

“Wajah Jimny tidak sesenang yang dikira istriku. Aku tahu apa yang diinginkan anak itu. Meski aku akan senang jika ia melanjutkan kepemimpinan perusahaan, masa kanak-kanak mengajarkanku bahwa tiada yang lebih indah dari mengikuti impian dan kegemaranmu. Maka aku menegur Elina dan ternyata itu membuatnya kami malah bertengkar. Ia menuduh aku terlalu memanjakan Jimny sementara aku hanya berkata mungkin ia bisa mengizinkan anak itu menentukan jalan pikirannya sendiri. Karena tampaknya aku tidak bisa mengalahkannya berdebat--yang seringnya memang demikian--aku memilih diam. Tapi begitu saja ia meminta turun dari mobil dan lalu kucegah. Tangan kananku berhasil merogoh ke belakang dan menangkap lengannya, tetapi pandanganku kemudian teralihkan dari jalan. Semua sudah terlambat, Jimny berteriak ‘Awas, Ayah!’… kemudian ban mobil baru saja agak bergetar. Aku sama sekali tidak menginjak rem. Pastilah kami telah melindas sesuatu.”

“Mobil kalian melindas seseorang?”

Harli menggeleng. “Seekor kucing.”

“Kucing?” Aku sudah menyimaknya sebegitu serius sampai-sampai tidak sempat menanyakan apakah yang dimaksukannya sejauh ini, menabrak manusia, atau yang lainnya. Aku  berniat tanya bagaimana bisa ia begitu menyesali telah menabrak seekor kucing, tapi dari matanya penyesalan itu benar-benar terpancar kembali. Seakan-akan kejadian itu baru saja terjadi. Akhirnya aku tetap menyimak kelanjutan ceritanya.

“Kucing itu belum terlalu besar, tapi bukan juga anak-anak. Tubuhnya sudah cukup tinggi sampai-sampai terseret batang as sedan. Hitam putih, warnanya, kuyakin itu jantan. Saat aku dan Jimny keluar --dan Elina sudah berlalu dengan taksi, aku melihat kucing itu tergeletak di tengah aspal dengan kakinya berada di atas. Tekanan dari lantai mobil benar-benar mematahkan tubuhnya sampai-sampai kepalanya tak lagi bergerak. Jimnya kembali ke mobil karena tak tahan melihat darah yang mengucur dari telinga hewan malang itu. Saat orang-orang mulai menghampiriku, beberapa dari mereka menyarankan aku menguburnya karena adat dan karma, akan tetapi aku memilih cara yang ditawarkan warga lainnya: mereka yang menyingkirkannya dari jalan, menguburkannya, dan aku membelikan mereka dua bungkus rokok. Bukan hal yang sulit, pikirku. Tubuh kucing itu masih utuh saat mereka sekop dari aspal. Meski urusan bisa selesai, aku merasa tidak tenang seharian.

“Aku sempat melupakan kejadian itu selama bertahun-tahun. Tapi pengalaman pahit mudah membangkitkan kesedihan dan ketakutan manusia. Bulan-bulan setelah perceraian kami, aku banyak bermimpi. Kemudian muncullah bayangan kucing yang mati itu. Setelah bermimpi, aku bisa tiba-tiba membayangkan apa yang dilakukan kucing itu sebelum akhirnya terlindas lantai sedan kami. Di suatu siang aku kembali ke jalan itu, dan bertanya ke beberapa orang. Tidak banyak yang kutemui mengingat kejadian itu, tetapi peruntungan mengizinkanku bertemu orang ini, seorang penjual daging ayam. Ia, katanya, melihat persis bagaimana kucing malang itu mati, dan ia sempat menandai mobil kami. ‘Sepertinya kebingungan mau menyeberang, Pak. Kucing kecil, tapi jalannya terlalu lebar,’ kata pedagang itu. Aku bisa memahami itu. Di dalam mimpi-mimpiku, kucing hitam putih itu punya kaki-kaki pendek dan telinga yang lebar. Ia mungkin baru saja berpisah dari orang tuanya. Sering ia seperti kebingungan tapi kadang hanya menatapku seperti bertanya 'Kenapa?'.

Dalam perbincangan kami berikutnya, muncul seorang saksi lagi --kali ini seorang anak SMP yang waktu itu berada di sisi lain jalan. ‘Kucing itu sempat berhenti, Pak, saat melihat mobil bapak mendekat. Kayaknya ia tahu mobil bakal menyingkir, karena ia kucing kecil. Tapi nyatanya tidak. Kucingnya tetap di sana, melihat mobil mendekat, ia tertabrak.’ Perkataan anak itulah, yang menghantuiku sampai sekarang. Aku membayangkan kucing itu benar-benar takut, mungkin Tuhan tengah memberinya jalan, antara berlari ke seberang atau menunggu mobil menghindarinya. Tapi yang terjadi adalah… pertengkaran kami di mobillah yang mengubah hasil. Kucing itu boleh jadi sadar akan terlindas dan punya waktu berdoa saat kolong mobil mulai menutupi langitnya. Aku tidak tahu… boleh jadi ia masih bernapas saat dikubur.”

Aku memerhatikan dada serta perut Harli kembang-kempis saat mengingat-ingat bagian ini, membuktikan inilah hal terberat yang melekat dalam memorinya. Tetapi kemudian, ia tersenyum, menatapku penuh pertanyaan seakan-akan minta ditolong dalam doa permohonan ampun. Air mata Harli berkaca-kaca, tetapi jelas ia kelihatan lega.

“Aku tidak pernah membunuh bahkan seekor lalat, kau tahu? Tapi bayang-bayang kecelakaan itu seperti hukuman berat. Hal-hal yang nampak sepele terbukti mengubah jalan hidup seseorang. Saat Jimny lulus kuliah dan akhirnya menikah, aku mulai merasa tidak punya apa-apa. Terlebih, saat Hopwell diambilalih rekanku. Sampai akhirnya, di usia enam puluh tiga, aku memutuskan berhenti dari semuanya. Kehidupan penuh gairah telah kucecap tapi kesedihan merenggut semuanya tiba-tiba. Sekarang ini, aku hanya seorang tua yang berusaha mengingat-ingat kebaikan dalam hidupnya, sembari berharap makanan pembagian hari-hari tidak lebih buruk dari minuman pahit di masa-masa sendirian. Kucing itu mungkin membayangiku dengan banyak hal, tapi pada akhirnya aku merasakan kelegaan yang lapang. Manusia perlu merasakan hal pahit untuk memercayai semua yang manis. Seperti orang lain, aku telah melalui dua hal itu dalam puluhan tahun terakhir. Aku terus berdoa, agar di mimpi-mimpiku besok, aku dikerumuni banyak hal indah --atau jika tidak, kucing-kucing penghuni surga.”

Tidak diragukan lagi, batinku. Kisah Harli Gideon seperti pernah kudengar, tapi dalam versi dan alur yang agak berbeda. Ada banyak kitab menuliskan hubungan erat kucing dengan kehidupan manusia. Penganut superstisi menganggap, kucing adalah penghubung dua alam --fisis dan meta-. Mungkin itulah jua mengapa setelah perbincangan kami sore itu, aku ikut-ikutan sering bermimpi tentang kucing, dalam warna dan keadaan lain.

Harli Gideon meninggal di bulan Februari yang basah, dan dimakamkan di sebuah Taman Makam Eksklusif hanya belasan meter dari kediamannya. Di saat pemakaman, seorang eksekutif muda menghampiriku. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Jimny, dan istrinya bernama Wulan. Kudengar kabar mereka sempat mengira ayahnya tinggal di rumah hangat dan bukannya di panti jompo, sampai akhirnya pulang dari Surabaya dan mereka mulai memecati puluhan orang dari banyak kantor termasuk menyeret pemilik yayasan ke penjara. Tapi sungguhpun dengan fakta itu, aku mengetahui Jimny dan Wulan adalah pasangan manusia yang baik. Oleh mereka, aku lantas diundang dalam  jamuan makan siang yang hangat, di rumah lama yang mereka rombak menjadi galeri seni dan studio musik.

“Maaf,” katanya membuka obrolan setelah kami menyesip teh. Alunan lembut musik blues menjadi latar. “Andai kami tahu Papa tinggal di panti itu, dan Anda jadi teman mengobrolnya sekian lama, sungguh kami akan memperbaiki semuanya dan menjamin upah dan gaji Anda di sana.” Aku sempat tidak mengerti kalimat itu, sampai ia mengatakan bahwa pemilik yayasan pernah menjadi janitor di Hopwell. “Papa banyak sedih tahun-tahun belakangan, terlebih saat mereka bercerai. Sejak itu Papa mewantiku, untuk menjaga keluarga.” Jimny mengusap-usap lengan Wulan yang ia rangkul mesra di sampingnya. Meski kesedihan tergurat dari bola matanya, nampak ketegaran seorang pejuang seni di sosok Jimny. Anak ini berhasil membangun hidup sesuai keinginannya.

“Papa mendidik kami mandiri dan tidak perlu mengkhawatirkan dirinya. Penyesalan terberatku adalah karena aku meyakini dirinya baik-baik saja, dan karena itu hanya menjenguknya dua-tiga tahun sekali. Wulan sering menghubunginya lewat telepon, tapi lebih sering dibalas lewat SMS dan kartu Natal. Papa seorang pejuang, Anda tahu, mungkin sering dengar cerita darinya.”

Aku mengangguk mengiyakan. “Ayah Anda sangat akrab. Saya selalu bersemangat mendengar cerita-ceritanya -- sangat detil, memotivasi, tapi sama sekali tidak menggurui. Aku yakin banyak orang di yayasan juga berpendapat sama.”

Jimny tersenyum bangga. “Itulah Papa. Di masa kami pacaran, papa hanya pernah marah sekali. Itupun, karena kami bertengkar dan aku membiarkan Wulan pulang sendirian naik motor di bawah hujan deras. ‘Mau jadi apa kamu kalau yang terkasih tidak bisa kamu jaga? Kejar! Jangan pulang sebelum dapat maaf dari dia.’ Begitu Papa marah, aku sudah ketakutan. Aku mengejar Wulan tapi…”

Sang istri, yang tampaknya tak kuasa menahan hasratnya mengenang masa indah mereka, akhirnya tertawa menyambung cerita. “Aku sudah masuk ke kamar kos waktu itu dan… tidak kubukakan pintu. Biar saja giliran dia ketuk-ketuk gerbang, aku tidur. Besoknya baru aku lihat dia tidur di dalam mobilnya, bajunya basah. Ha-ha-ha…. Kayak sinetron.”

“Papa jadi aneh di tahun-tahun sebelum kami berpisah,” Jimny kembali mengambilalih pembicaraan. Bak mengikuti alur, Wulan pun berhenti tertawa dan memasang wajah empati yang dalam, mengangguk membenarkan.

“Aneh bagaimana?” tanyaku.

“Kucing.” Wulan menyela. “Papa tiba-tiba jadi gila mencari-cari kucing, anakan. Yang anehnya, bukan kucing-kucing persia, siam, atau ras lain yang Papa cari di pasar. Tapi kucing jenis biasa. Kucing kampung, seingatku… yang warna hitam putih.”

Cerita kucing ini setidaknya membenarkan dugaanku bahwa kenangan tidak menyenangkan Harli setelah kecelakaan itu terus menghantuinya, dan ceritanya akurat.

“Selama dua bulan Papa mencari-cari kucing itu, sampai ke Semeru, Magelang, bahkan Cirebon. Kadang ia dapat kucing hitam-putih, tapi ukurannya terlalu besar, ia tolak. Ada juga pedagang yang sengaja datang ke rumah membawa anakan, tapi Papa tidak cocok. Berbulan-bulan itu juga, Papa mengabaikan dirinya sendiri. Ia jarang makan, kurang tidur. Bahkan…, beberapa orang perusahaan mulai datang ke rumah karena Papa menelantarkan banyak surat dan memo.”

“Lalu, bagaimana kalian membantunya?”

Jimny dan Wulan saling pandang, tak langsung menjawab pertanyaanku. Mereka nampaknya ragu, tetapi kemudian menjawab juga. “Kami bawa Papa ke psikiater.”

Kami nikmati hari itu dalam keakraban yang janggal. Jimny dan Wulan telah merelakan sosok teladan bagi mereka, tapi masih bertanya-tanya tetang apa yang sebenarnya terjadi dalam kehidupan Harli di tahun-tahun terakhir. Mereka sangat terharu ketika kuserahkan buku-buku curahan hati yang ditinggalkan ayah mereka di panti.

Kisah-kisah tentang kucing dan mimpi-mimpi orang tua itu telanjur hinggap di kepalaku beberapa hari belakangan. Semoga saja bukan kutukan, karena sempat kukhawatirkan aku menemui kejadian serupa atau melihat mimpi-mimpi buruk menjadi nyata. Aku percaya mimpi adalah buah dari repetisi pemikiran, sementara kenyataan adalah delegasi dari kekuasaan Firman.

Di saat aku berjalan kaki menuruni jalan sepulang kerja, aku melewati makam Harli. Dari sana baru saja pulang rombongan anak sekolah yayasan dan beberapa jompo lainnya, sampai akhirnya aku tinggal aku seorang. Aku berdiri begitu saja dengan payung di bawah hujan, mengamati bulir-bulir air pecah di atas nisan marmer hitam. Tulisan namanya berukir emas dan sudah tumbuh dua kamboja kuning kecil tak jauh dari situ. Pikiran janggalku sempat meminta Harli tidur tenang dan membawa semua mimpi-mimpi aneh ini bersamanya, tapi tentu itu tidak adil. Aku berdoa sebentar, sekadar berterimakasih untuk pekerjaan lebih bagus di perusahaan yang kini dijalankan putranya. Aku meninggalkan pemakaman itu saat hujan akhirnya berhenti. Di gerbang keluar, setelah melemparkan koin ke dalam kaleng seorang pengemis, aku mendapati kucing kecil ini melompat dan berlari ke dalam pemakaman. Hitam-putih, warna kucing itu, tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil. Tanpa menghiraukanku yang bersiul padanya, anak kucing itu terus berlari. Ia melewati makam demi makam, sampai akhirnya duduk manis di atas nisan marmer hitam. Aku tidak percaya adanya reinkarnasi, tapi aku menikmati apa yang kulihat. Kucing itu menjilati tubuhnya saat sebelah kakinya terangkat di udara.

Malam harinya aku terbaring di kasurku yang sempit, mematikan lampu kemudian tertidur. Entah bagaimana, aku merasa bisa nyenyak setelah berbulan-bulan.

--------------------------------

Ilustrasi: Kiko-The-little-Cow-Cat/lovemeow.com.

*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun