Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Paspampres

21 Oktober 2014   19:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:14 774
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

*

WAWANCARA EKSKLUSIF. Waktu yang tersedia lima menit. Ruang nonton di sayap timur istana dipinjam sementara. Tamu sudah lengang jadi cukup kerai dibuka. Pria berkemeja hijau tua dengan bawahan rapi nan mahal, sekitar tigapuluhan akhir. Dari warna itu terbersit wibawa seragamnya. Badan tegap dan kepalanya hanya sedikit lebih besar dari bisep-bisepnya. Matanya cekung dan hidungnya mancung. Duduknya tegap dua tangan bertopang di lutut.

“Mohon maaf saya menyita waktu berharga Anda sebentar. Saya yakin tugas ketat sedang menunggu.”

“Bapak Presiden tengah salat di ruangannya, jadi saya ada waktu.”

“Em… Kolonel…?

“Brigjen, yang betul. Brigadir jenderal. Andika Fernandus Kolo. Bintang satu, kalau adik perhatikan, di saku saya. Kolonel itu pangkat ajudan.”

“Oh ya, benar. Mohon maaf, Pak. Langsung saja. Em… Pak Andika, Anda baru saja ditunjuk oleh presiden untuk mengepalai Paspampres. Saya ucapkan selamat. Em… Bagaimana perasaan Anda?”

“Terima kasih. Mengomandani, yang tepat. Kepala itu untuk jabatan sipil atau kepolisian. Jabatan saya Danpaspampres. Komendan. Saya merasa terhormat, tentu saja. Bapak presiden adalah orang yang sangat selektif. Anda tentu memahami itu dari caranya memilih calon-calon menteri. Sejak wali kota dulu bapak presiden sudah tahu ia harus memilih yang terbaik, dibantu analisis, dan pemikiran yang panjang. Menjaga kerahasiaan, dan sebagainya. Pada akhirnya saya ditelepon jam 1 pagi… awalnya tidak sanggup berbicara. Tapi karena ternyata ini fakta ya… saya syukuri. Bisa jadi loncatan karir yang bagus.”

“Em… Banyak yang menyoroti penunjukan Anda sebagai Danpaspampres dengan hubungan kekerabatan Anda dengan tim kampanye Bapak Presiden. Bagaimana Anda melihatnya?”

“Itu rumor politik. Saya menerima tugas kenegaraan dan niatnya mengabdi untuk bangsa. Saya tidak mengomentari penilaian politis.”

“Tapi, ternyata Bapak Presiden yang menerima kritik karena ini….”

“Saya serahkan hipotesis soal itu kepada Anda. Anda kan akrab dengan isu, rumor, dan hipotesis. Tentunya bisa mengejar semuanya di sekeliling Bapak Presiden. Siapa saja pasti punya penjelasan soal kritik itu. Tapi tidak dari saya.”

“Em. Kalau boleh tahu, apa pendapat ayah Anda terkait penunjukan ini?”

“Saya belum tanya. Anda sudah tanya?”

“….”

“….”

“….”

“….”

“Em… pertanyaan  berikutnya. Sebelumnya Anda juga tergabung dalam Paspampres, selama dua periode presiden sebelum ini. Anda di Grup A, posisinya di ring 1, benar?”

“Ring 1 dan yang paling dekat. Ya benar.”

“Anda terbiasa dengan kekakuan protokoler sesuai SOP VVIP. Anda menjaga presiden dan keluarganya. Tapi… presiden sebelumnya sangat taat prosedur dan begitu saklek. Sementara Bapak Presiden yang ini, orangnya lincah dan tidak ingin dikekang. Bagaimana Anda menyesuaikan pasukan?”

“Mm... Bagaimana ya menjelaskannya. Kami punya prosedur bertingkat-tingkat. Pola pengamanan sudah baku dalam standar yang diatur, tapi teknisnya bisa diubah-ubah. Kami siapkan rubber rope--tali karet. Kami siapkan jammer, kami siapkan pasukan bersepeda motor. Kami siagakan helikopter penjemput dan komunikasi berkode langsung ke Puskom TNI AU jika sewaktu-waktu butuh bantuan pesawat tempur. Boeing RI 1 juga sudah kami kode ulang sesuai spesifikasi fisik Bapak Presiden dan Keluarga. Semuanya sudah kami diskusikan dengan Bapak Presiden, dan beliau sangat kooperatif. Kami juga berjanji akan mengikuti ke manapun beliau akan pergi.”

“Termasuk… blusukan ke pasar-pasar?”

“Kami sudah siapkan sepatu tahan lumpur, perahu karet, senter serbaguna, helm sampai rompi antipeluru. Kami siapkan tenda dan alat penerangan. Kapanpun Bapak Presiden butuh peralatan untuk medan khusus, kami ikuti.

"Menurut Anda ini akan lebih sulit, atau lebih mudah dari presiden sebelumnya?"

"O, tentu saja lebih mudah. Bapak Presiden yang ini kan kecil, badannya tipis. Dibidik sniper pun sulit. Kalau yang dulu kan... Hmmmp.... Ha-ha-ha...."

"Heheh.... Benar juga."

"Akan tetapi… kami menjaga tidak hanya secara fisik, tapi juga secara mental. Yang terpenting bagi Paspampres adalah menjamin rasa aman bagi Keluarga Kepresidenan. Peralatan hanya penunjang kerja.”

“Em… Anda menjaga presiden secara mental?”

“Ya. Itu jauh lebih penting. Kami mengakui Bapak Presiden yang ini mungkin agak menyulitkan kami mematuhi prosedur standar, tapi tidak masalah. Di lain sisi kami meyakini Bapak Presiden bisa mengerti kebutuhan kerja kami. Beliau Orang Jawa, sedikit banyak pasti mudah diatur, tidak akan bikin ribet.”

“Kecuali Wakil Presiden?”

“Ha-ha-ha…. Ya… ya. Kecuali Bapak Wakil Presiden. Untuk itupun kami sudah siapkan semuanya. Beliau karakternya sudah begitu dan sulit diubah, pembawaan Orang Sulawesi memang kepinginnya serbaringkas dan tidak bertele-tele. Tidak suka berlama-lama di pelabuhan. Kalau mau berangkat ya jalan jangan terlalu banyak berpikir. Beliau dulu bagian dari pekerjaan kami selama lima tahun, jadi untuk itupun kami tidak terkejut lagi. Bapak Wakil Presiden orangnya juga mengerti keadaan aparat, jadi kalaupun lepas tidak sampai menjadi liar. Kami banyak pengalaman dengan beliau.”

“Sekarang berpasangan dengan Presiden yang juga lepas, kesulitan ganda bagi Paspampres dong?”

“Sepertinya begitu. Tapi, mereka tetap punya karakter berbeda. Kami sudah melihat celahnya. Sudah jadi rumus.”

“Rumus? Boleh tahu?”

“Oh… Rahasia.”

“Baiklah. Em… Sekarang, pertanyaan berikut lebih personal.”

“….”

“Anda bertugas menjaga Keluarga Kepresidenan. Bagaimana dengan keluarga, ada pendapat, masukan atau… pemikiran? Karena yah… siapa yang menjaga keluarga Anda jika…”

“Oh kalau soal itu saya tidak perlu khawatir. Ada satu pleton yang siap menjaga istri dan anak-anak saya. Tidak resmi sebenarnya, jiwa korsa saja. Istri dan anak-anak Paspampres sebisa mungkin dijaga dari peliputan publik. Ini sudah jadi standar keamanan tahap awal. Coba saja lacak… sejauh mana Anda bisa mengulik soal keluarga saya ---kecuali lewat ayah saya lho ya, yang saya pikir… tidak akan semuda itu juga.”

“Godaan selama bekerja?”

“Godaan… maksudnya?”

“Em yah… Anda bisa pergi ke banyak tempat, bertemu dengan banyak orang…”

“Oh… tidak. Tidak. Tidak… tidak. Kami ini para robot. Dibayar untuk diam dan hanya mengawasi. Senjata utama kami adalah mata dan telinga. Keterampilan utama kami ada di tangan, kaki, dan saraf refleks. Anggota Paspampres yang jumlahnya 2.326 personel sudah dilatih mantap untuk tidak menyeleweng, berbuat curang, atau berkhianat. Kami bagian dari tradisi bangsa demokrasi baru, bukan secret service gaya lama seperti punya Amerika --mereka mengabdi sudah terlalu lama sampai-sampai keterlibatan skandal mungkin jadi hal yang manusiawi. Kami tidak. Ujung rambut sampai ujung kaki siap mati demi tugas.”

“Di luar tugas. Anda punya hari libur?”

“Paspampres tidak ada hari libur. Cuma ada pergantian giliran. Tapi penjagaan Keluarga Kepresidenan diembankan kepada orang-orang yang tetap. Adalah tanggung jawab saya memilih mereka sesuai persetujuan Bapak Presiden. Berganti-ganti personil bisa berisiko.”

“Anda merasa tetap ada risiko keamanan yang datang dari Paspampres sendiri?”

“Kami belajar dari sejarah, ya tentu saja ada. Peristiwa Cikini tahun 1957, kalau Anda tahu… lemparan granat nyaris menewaskan Bung Karno waktu berkunjung ke sebuah SD. Insiden Tarian Cakalele di Lapangan Merdeka Ambon, Juni 2007… atau Peristiwa Tukang Kebun di Nusa Dua Bali, tahun silam, juga pelajaran berarti. Waktu itu, tiba-tiba di radio ada laporan bahwa telah terjadi pemandangan yang tidak diinginkan. Empat pasukan langsung mendekat ke sisi selatan lapangan, mencari, dan menemukan bapak tua itu tengah menunduk-nunduk di dekat pagar tanaman. Menunduk-nunduk itu tindakan yang mencurigakan, jadi kami luncurkan kode bahaya strata-2, kemudian meringkusnya. Seorang dari kami terluka karena terkena roda sepeda, tapi kami berhasil tanpa sedetikpun presiden merasa terganggu. O... pengendara sepeda. Sering kali ancaman berbahaya datang dari wajah-wajah tak berdosa. Ya, kami pelajari banyak detil tentang kerja Paspampres di masa lalu. Kami memperbaiki celah dari sana.”

“Anda turut mengawasi pasukan Anda, kepribadian mereka… potensi sabotase?”

“Pasti. Ada yang dirotasi ada yang tidak. Bahkan kami bisa membebastugaskan mereka yang berpotensi berbahaya.”

“Anda belajar ini dari mana?”

Secret Service, Amerika.”

“Amerika?”

“Ya. Dan MI6… U.K., RAF Australia, kami bahkan bertukar pengetahuan dengan Saudi Arabia Royal Army.”

“Em. Baiklah. Em… negara menganggarkan… 34,4 miliar… untuk kerja Anda dan anggota Paspampres. Menurut Anda itu cukup?”

“Kami tidak pernah membahas anggaran. Itu urusan para pengambil kebijakan. Kami pelaksana teknis. Uang penting hanya bagi mereka yang takut kehilangan. Kebanyakan orang menganggap materi adalah subjek, jadi mereka dikendalikan dan diawasi oleh materinya. Kami bekerja sebaliknya. Bagi kami, objek jauh lebih penting. Pekerjaan ini sudah lebih dari cukup.”

“Em… baiklah.”

“Masih ada lagi? Kalau sudah tidak ada…”

Pintu dibuka. Cahaya masuk dan suara percakapan menyeruak, tawa bangga dan mencerca. Tiba-tiba pula tertodong pistol. Glock A7 buatan Amerika. Perwira tegap berbalut batik merangsek ke dalam, berteriak-teriak. Di belakangnya muncul tiga bawahan, menghambur sambil berteriak-teriak. Radio bersahut-sahut sayup dari penutup telinga mereka. Perwira tegap berbaju batik menerangkan sambil marah-marah. Narasumber palsu ditangkap dan dikawal pergi. Tamu masih asyik dengan puding dan buah.

“Saya Komendan Paspampres. Anda tadi wawancara siapa?”

Tidak terjawab pertanyaan barusan. Gagap tubuh kelu lidah. Malu takut bercampur aduk. Perwira berbaju batik menotot lama. Merah padam muka segaris rona kemejanya. Wartawan pergi lari terbirit, mendengar kokang begitu mendesit. Istana gempar. Celah keamanan terbongkar, hanya beberapa ruang dari tempat presiden salat.

--------------------------

Ilustrasi: bursa-airsoft.com.

*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun