[caption id="" align="aligncenter" width="580" caption="Ilustrasi (Kompas.com/Shutterstock)"][/caption]
Agak aneh sebenarnya ketika Ketua Harian DPP Demokrat Sjarief Hasan mengatakan, “SBY (saja) 10 tahun dihina tapi tidak melaporkan,” sebagai perbandingan dengan kasus pelaporan penghina Joko Widodo, kemarin. Sudah barang tentu maksud Sjarief Hasan adalah “10 tahun” rentang masa pemerintahan SBY sebagai presiden. Mungkin ia belum baca, ditangkapnya Muhammad Arsyad, pemuda 24 tahun tukang tusuk sate asal Ciracas tersebut, bermula dari tindakannya menyunting foto Jokowi dan Megawati menjadi pornografi pada Juli lalu, di masa pilpres, saat Jokowi belum dilantik.
MA ditangkap jajaran Bareskrim Mabes Polri kemarin setelah Divisi Kejahatan Siber berhasil menelusuri foto suntingan di Facebook bergambar Joko Widodo dan mantan presiden Megawati dalam pose tidak senonoh. MA dilaporkan terkejut, karena tidak mengira keisengannya pada masa pilpres lalu ternyata ditanggapi serius oleh polisi.
Ibunda tersangka terguncang, dan mengaku rela bersimpuh di kaki presiden untuk memintakan maaf perbuatan anaknya. Sang pelapor sendiri, pengacara Henry Yosodiningrat yang juga adalah politisi PDIP, meyakinkan tersangka bahwa tanpa begitupun, Presiden Jokowi pasti akan memaafkannya. Tetapi toh proses hukum masih berjalan. Polisi lanjur menjerat pemuda malang dengan pasal berlapis Undang-Undang ITE, Pornografi, dan Pencemaran Nama Baik dengan ancaman hukuman di atas 10 tahun penjara.
Kekeliruan Sjarief Hasan melihat rentang waktu masalah ini mungkin akibat kemalasan membaca, sampai-sampai merasa klausul perbuatan si pemuda Ciracas masuk kategori ‘Penghinaan terhadap Kepala negara’ sebagaimana banyak menimpa SBY. Padahal, andaipun AM melakukan perbuatannya setelah Presiden Jokowi dilantik 20 Oktober lalu, pasal ‘Penghinaan terhadap Kepala Negara’ sudah hilang dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dan otomatis tidak bisa dipakai untuk membui seseorang.
Mahkamah Konstitusi lewat putusan pada 7 Desember 2006 silam menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan Uji Materi terhadap beberapa pasal yang tergolong “penghinaan terhadap presiden/kepala negara”. Pasca-keputusan MK dengan No. 013-022-/PUU-IV/2006 itu, klausul “penghinaan presiden” seperti pada pasal 134, 136bis, dan 137 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dianggap tidak berlaku lagi.
Dalam pandangan majelis yang diwarnai dissenting opinion waktu itu, Hakim Ketua Jimly Asshidiqie menyatakan bahwa pasal-pasal “Penyebaran Kebencian” (hatzaai artikelen) yang merupakan warisan zaman kolonial tidak cocok diterapkan di zaman demokrasi dan, sejatinya merupakan delik aduan. Pihak pemohon waktu itu termasuk Eggie Sujana, pengusaha yang disangka menyerang pribadi presiden SBY dengan mengatakan di depan wartawan “Presiden telah menerima pemberian mobil mewah Jaguar dari pengusaha berinisial HT”. Eggi sendiri tetap dipidana 3 bulan masa percobaan atas pasal-pasal yang sama karena keputusan MK waktu itu tidak berlaku surut.
Di masa-masa sebelum putusan Uji Materi MK, puluhan pengunjuk rasa dan aktivis politik ditangkapi dan dipenjara lantaran dinilai “menghina kepala negara”. Raihana di Aceh, Sri Bintang Pamungkas, Herman Saksono di Yogyakarta, Supratman, dan Eggi Sujana termasuk nama-nama yang pernah terjerat. Lembaga advokasi Human Rights Watch mencatat, era presiden Megawati Sukarnoputri mengukir rekor penangkapan terbanyak untuk pasal-pasal penghinaan kepala negara. Dari 46kasus pasca-Kemerdekaan, 39 kasus di antaranya terjadi di era pemerintahan putri Bung Karno ini.
Muncul lagi di RUU KUHP
Tidak banyak yang tahu, setelah dicabut oleh MK, ternyata pasal-pasal penghinaan terhadap presiden/kepala negara kembali muncul dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana yang saat ini masih macet di pembahasan DPR. Warisan pekerjaan rumah untuk Menteri Hukum dan HAM yang baru, Saleh Husin Yasonna Laoly. Tidak cuma isu “pelemahan KPK”, ternyata RUU KPK yang berlarut-larut ini juga meliputi pasal-pasal penghinaan presiden yang kembali dimasukkan sebagai embrio Undang-Undang pidana.
Pasal 256 RUU KUHP berbunyi:
“Setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau dipidana denda paling banyak Kategori IV.” (rancangan Kategori IV maksudnya denda maksimal yakni Rp300 juta)
Pasal 266 RUU KUHP berbunyi:
“Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wapres dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau dipidana denda paling banyak Kategori IV.”
Politisi dan akademisi pun bersilang pendapat soal rencana pemasukan kembali pasal penghinaan presiden ke dalam Undang-Undang. Peneliti bidang hukum pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI Dian Cahyaningrum mencatat, akademisi yang menentang pasal 256 RUU KUHP antara lain koordinator Indonesia Police Watch Neta S. Pane, yang menyebut dimasukkannya kembali pasal penghinaan presiden akan menimbulkan inkonstitusionalitas karena sebelumnya telah dicabut oleh MK. Sementara dari kalangan politisi, nama-nama seperti Eva Sundari (PDIP), Hidayat Nurwahid (PKS), Aziz Syamsudin (Golkar), dan Budiman Sujatmiko (PDIP) termasuk yang getol menentang rencana ini.
Sementara dari sekian yang mendukung, nampaknya pendapat Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia Indriyanto Seno Aji paling bisa diterima. Indriyanto mengemukakan, pasal 256 tetap bisa disahkan karena ada banyak potensi kasus di masa depan di mana penghinaan terhadap kepala negara mungkin terjadi. Guna mengatasi kekhawatiran legal, delik formil yang sebelumnya melekat pada pasal-pasal penghinaan serupa (134,136bis, 137) diganti dengan delik delik materiil guna tetap menjamin kebebasan berpendapat. Dengan cara ini, MK tidak dengan mudah mencabut kembali pasal baru tersebut lantaran kategori deliknya berbeda.
Sebagaimana Sjarief Hasan, keliru lah siapapun yang mengira kasus MA akan atau dapat dikenakan Pasal Penghinaan terhadap Presiden, sebelum UU KUHP yang baru sah kembali mencakup pasal yang dimaksud.
Belajar dari kasus MA terhadap presiden Jokowi, nampaknya di masa-masa mendatang payung hukum untuk menyeret “para penghina” ke meja keadilan tetap terbuka. Jikapun misalnya KUHP yang baru batal mencakup “penghinaan presiden” di pasal 256 ini, masih ada klausul-klausul lain yang masih aktif tanpa cela, semisal dalam pasal 131 (penyerangan terhadap diri presiden), dan pasal 316 (penyerangan terhadap nama baik dan harkat-martabat pejabat yang bertugas).
*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H