Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Latihan Terbang

2 Desember 2014   22:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:13 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

*

Horizon.

Nama lain dari attitude indicator. Monitor keseimbangan kemudi pada pesawat terbang yang merupa cakrawala magnetik bumi. Setelah teknologi autopilot ditemukan dunia pada 1920, tampilan horizon jadi meriah dengan aksen biru langit dan merah tanah yang dibatasi garis cakrawala. Perputaran setiap hidrolik sayap bekerja dan pesawat mengayun menghasilkan pengukuran yang nampak seperti bandul jam. Akan tetapi berdekade sebelum masa itu, horizon hanya berupa antarmuka gelap, dengan jarum-jarum kecil penunjuk derajat kemiringan sayap. Garis cakrawala putih dari bilah plastik disebut the hair adalah satu-satunya andalan pilot untuk mengetahui apakah moncong kemudi mengarah atau berada di ketinggian yang benar.

Ketinggian 9.000 kaki. Waktunya kemudi distabilkan pada konfigurasi lebih santai. Pesawat Cessna 172 itu memasuki masa cruise, yang berarti lesatannya berada pada kecepatan normal-sedang, dan torsi mesin sudah menurun jauh ketimbang yang dibutuhkan saat lepas landas atau mendaki. Dalam fase meluncur tenang ini,  deru mesin baling-baling dua bilah Mustang XG100 buatan GE Amerika terdengar lebih mirip mesin penggiling padi dari bawah kanopi. Hamparan awan hanya tipis-tipis menghiasi langit yang melengkung, sementara Lautan Hindia tetap saja kelihatan ganas dan kesepian.

“Wow! Ini kelihatan lebih mudah dari yang kubayangkan, Tuan Marlo.”

Anak itu, seumuran SMP dengan lengannya yang kecil-kecil. Rambutnya yang hitam jadi basah karena keringat dan lepak ditindih pengait radio. Sudah hampir satu jam tapi ia tidak mau melepaskan batang kemudi dari kedua tangannya. “Aku bisa menerbangkannya, Tuan Marlo! Aku bisa!”

“Ha-ha-ha. Ya, tentu saja kau bisa, Nak. Lihat, kita meluncur begitu mulus dan langit begitu tenang. Kurasa hari ini akan jadi hari keberuntungan kita.”

Orang tua itu sebetulnya hanya menghibur sang bocah, karena pada kenyataannya kaki dan tangannyalah yang masih menguasai kokpit itu sepenuhnya. Ia tidak keberatan sama sekali saat bocah itu mengeluh bosan di kursi belakang, kemudian dengan sedikit gerakan agak alot, ia dudukkan bocah itu di kursi kopilot di sampingnya. Seperti mendapatkan mainan yang tidak pernah terbayangkan, anak itu melompat-lompat kegirangan. Beberapa kali kemudi bergoyang menyebabkan ketinggian berubah-ubah, akan tetapi orang tua itu tidak marah. Ia malah terus mengawasi setiap indikator di panel kendali sembari terus tersenyum mengikuti mimpi-mimpi bocah itu.

“Sebentar lagi kita akan mendarat. Baiknya kita bekerjasama depan-belakang lagi, Nak,” ujar orang tua itu.

“Ah, sebentar lagi. Tolonglah, Tuan. Sebentar lagi…?” Kerjasama depan-belakang artinya ia sudah harus kembali ke kursi penumpang, dan tidak lagi memegang tuas kemudi. Ketika tekanan adrenalin dan deburan angin di sisi sayap terasa lebih nyata dari otot-otot telapak tangan yang mengendali, batin menolak rasa nyaman yang tidak berarti apa-apa di belakang sana. “Aku kan ingin jadi pilot suatu saat nanti….”

“Ha-ha. Kau begitu menikmatinya ya. Baiklah. Kita berbelok sedikit ke utara, dan mungkin akan mendapati pemandangan Telaga Muara di ujung sana.”

Bak capung yang puas mengitari taman, pesawat itu meliuk gemulai di tengah deburan angin. Udara menghangat di atas 27 derajat celcius yang berarti angin laut bertiup pada arahnya yang sempurna, menyisir permukaan laut kemudian menanjak menabrak tebing. Dari sisi kiri kokpit, sarisan nyiur kelapa mulai terlihat di bawah sana, berselang seling dengan perkebunan kopi dan ketela yang digarapi sejumlah petani. Orang-orang ini sudah terbiasa dengan latihan penerbangan, jadi mereka melambai begitu saja ketika bocah di kokpit itu melambai-lambaikan tangannya saat melintas seratus meter dari ujung tebing.

“Ini dia… kita mungkin akan menikmati makan siang yang enak, Nak.” Sang pelatih agak berlagak memiringkan bahunya saat membelok, membuat bocah itu senang bukan kepalang. Nyaris lengkap cerita kekaguman yang akan ia kisahkan kepada kawan-kawannya begitu mendarat. Ia akan bercerita halusnya kursi, luasnya langit, sempitnya kokpit, dan besarnya tekanan saat melihat diri meninggalkan daratan semakin tinggi, berputar di udara, kemudian melihat orang-orang bagaikan semut yang beriringan. Anak itu tak kuasa lagi berbicara, jantungnya berdetak lebih cepat seiring mulutnya membulat.

Sampai tiba-tiba…

Aerodinamika tidak selalu berhasil. Meski ilmu pengetahuan melandasinya dari kontur bulu pada sayap burung camar, alam bisa mengirimkan panggilannya yang lain. Sekawanan camar yang terganggu walet terbang merendah mengikuti aliran angin, kemudian menanjak ke atas di ujung tebing. Sebagaimana lazimnya kawanan, selalu ada yang berjalan di luar atau tertinggal. Penerbang tidak menyadari apapun, sampai akhirnya sayap-sayap berbulu itu terhisap ke dalam putaran baling-baling, dan kabin berguncang hebat.

Nada darurat berbunyi secara otomatis, saat asap mulai menyembur dari moncong pesawat. “Mayday, Mayday…! Di sini Cessna 172 flight Zero Six Fanta India, Posisi terakhir di selatan…”

“Tuan Marlo. Tuan Marlo…!” Anak itu berpengangan pada kursi di depannya, menundukkan kepalanya seperti diperintahkan. Kandung kemihnya tertekan hebat karena gravitasi.

“Tenang saja, Nak. Kita akan baik-baik saja.”

Indikator di panel kemudi berputar kacau. Indikator di horizon bergerak cepat ke arah atas seiring panel ketinggian berputar berlawanan arah dengan jarum jam. Pesawat itu menukik. Pilot berusaha menunda tabrakan dengan menarik tuas, tapi terlalu berat. Darah burung terciprat sampai ke bawah bodi dan beberapa bagian bangkai burung menyumbat kisi-kisi penyeimbang vertikal di bagian ekor. Angin yang membawa butiran air garam memperparah gerak sayap. Bunyi derit berulang-ulang terdengar entah dari bagian mana. Saat asap makin menebal dan percikan api terlihat memecah di kaca kokpit, panggilan darurat kembali diteriakkan lewat radio.

“Tuan Marlo!”

“Kita akan selamat, Nak. Percayalah. Kau akan baik-baik saja. Aaaaahhh…!” Pilot melepaskan pantat dari kursinya kemudian menginjak pedal pengendali sekuat-kuatnya.

“Tuan Marlo!”

1.200,… 900…, 700 kaki. Altimeter terus berputar mundur dan angin semakin kencang. Di darat, para petani paruh baya yang sebagiannya perempuan itu mulai berteriak-teriak dan melambaikan tangan. Satu-dua dari mereka nampak langsung berlari mengantisipasi posisi jatuhnya burung besi.

Tuas kemudi berusaha dikendalikan dengan daya terakhir. Pilot itu keringatan sampai otot-otot diwajahnya menonjol merah padam. Matanya berair. Bocah di sampingngnya sudah menunduk sambil berdoa. Bocah itu baru ingat, selama beberapa kali menaiki kokpit pesawat latih ini, belum sekalipun ia mengamati ada apa di lantai kokpit. Baru ia sadari ada berbagai motif burung di karpet karet mengalas kakinya. Kemudian, menggelinding juga sebuah botol kosong yang entah pernah berisi apa. Saat ia angkat kembali kepalanya dengan kepasrahan, ia memandangi dengan nanar altimeter dan horizon berganti-ganti. Entah mengapa, jarum-jarum yang bergerak cepat tidak terkendali itu seperti menenangkannya. Hipnotis dari sisa-sisa hormon yang tidak ia mengerti. Saat daratan pepohonan hanya berjarak beberapa meter, bocah itu memegang pundak sang pilot di sampingya, sebelum akhirnya semua berubah gelap.

..

Kamar itu sunyi. Tidak banyak suara selain aliran air mancur dari dinding taman di luar sana, gemerisik halus kemudian melebur ke dasar kolam. Di balik jendela-jendela besar dengan kerai putih gading yang menggantung, di atas kasur pegas yang hangat menopang lekuk punggungnya, Arya Listanto  terkesiap. Begitu membuka mata dan menyadari waktu telah melewati singsingan matahari, gambar-gambar dari mimpi mencekam itu kembali ke kepalanya.

Tidur yang terasa sangat panjang. Dari aroma kemeja yang masih dikenakannya ia teringat pesta makan malam kecil dengan burberry dingin dan pasta pedas. Dari gesekan kakinya yang masih terbalut kaus kaki ia teringat bagaimana ia terkantuk berat setelah basa-basi yang menjemukan. Gala makan malam tadi malam pastilah meriah bagi para tamunya, meski pagi ini ia yang merasakan ketakutan sangat karena mimpi-mimpi. Bagian paling menakutkan dari mimpi buruk adalah ketika kau menyadari gambar-gambaran di dalamnya bukanlah buah imajinasi sebelum tidur, tetapi lebih jaug dari itu: ingatan. Lengan kirinya masih terasa nyeri dan ia coba bangkit dari pembaringan, saat tiba-tiba alarm pukul tujuh berbunyi. Arya menatap jam dinding yang sengaja ia lekatkan di langit-langit ranjangnya. Gambar latar Horizon di bawah jarum-jarum waktu itu menyedotnya sekali lagi. Gemetar, keringat, dan hening. Kekuatan ingatan membawa letakutan masa kanak-kanak pada keabadian. Lamunan pertama pagi itu baru buyar saat terdengar gedoran keras di pintu.

“Aduuuh…. Darling. Kamu tu ya… kalau pestaaaa… aja lepas bebas. Nikmatin kayak orang gila, mabuk! Tapi giliran mau kerjaa… malasnyaaaa.”

Menikmati bagaimana. Arya menggerutu di dalam batin. Satu-satunya yang ia nikmati dari gala pesta adalah betapa lihainya orang-orang menyembunyikan kepalsuan lewat pakaian dan riasan mereka. Atau senyuman sok akrab yang menyelipkan pesan, ‘tolong bantu danai bisnis katering saya’ atau ‘anak saya siap dinikahkan denganmu.’

“Sudah kuminta bi Sum siapkan air mandi, lima belas menitan lah kayaknya. Sembari nunggu ituuuu…, Ei mau tunjukkan sesuatu buat yeeei.”

“Vincent…” Arya berusaha meminta izin untuk sekadar mencuci muka terlebih dahulu ataukah ‘pertunjukan’ ini bisa ditunda sampai sepulang kerja.

“Hus, sudah! Cuma sebentar. Ini breaking news.” Vincent, lelaki berperawakan berat, pendek, meriah dan melambai itu begitu lihai mengutak-atik kabel hdmi, colokan listrik, sampai kabel multimedia yang menghubungkan iPhone putihnya dengan layar monitor LED duapuluh dua inci di dinding dekat rak sepatu. Begitu sinkronisasi digital ini terjalin, layar berpendar dari kedalamannya yang gelap, lalu menunjukkan sebuah folder yang langsung bisa dipilih. Arya kembali bersandar malas ke kepala ranjang saat temannya itu mengendalikan perangkat lewat remote. Layar kini menampilkan puluhan data berekstensi .jpeg.

Gambar-gambar yang mengalahkan kontestasi kecantikan. Puluhan foto itu punya keseragaman: close up dengan mulut sedikit terbuka, menunjukkan senyuman sintal yang nyaris nampak alami tanpa sentuhan rekayasa adegan. Konfigurasi 6 x 8 (enam kolom ke samping dan delapan baris ke bawah) membuat tampilan wajah-wajah dedewi itu sangat jelas bahkan dari jarak beberapa meter. Perbedaan yang paling mencolok dari mereka mungkin hanya pada tingkat putihnya kulit atau gelap-cerahnya baju, karena bahkan gaya rambut dan rias mereka sudah mengikuti ‘standar kecantikan’ profilis kebanyakan perempuan abad keduapuluh satu yang akrab dengan ponsel pintar, Facebook, dan jejaring pencarian jodoh.

“Cuma ini?” Arya mengangkat telapaknya menghadap ke atas.

“Hus! Yeei ini ya!” Vincent menghentakan tangannya di tengah udara sementara tangan satunya berkacak pinggang. “Eike sudah pilih lewat konsultan terpercaya, lima puluh empat --sebetulnya ada enam puluh sih-- kontestan pendaftar. Mereka-mereka inilah cewek-cewek yang bersedia mengikuti tantangan yeei. Yang bersedia jadi pendamping yeei. Mereka ini para srikandi, drupadi, mahadewi. here’s your respect, boy? Aku menghubungi tiga ahli komputer, profil wajah, sampai grafologi cuma untuk memilih wajah-wajah ini. Bukannya tujuan program yeei adalah… mendapatkan yang terbaik dari yang terbaik?

Mendapatkan yang terbaik dari yang terbaik. Tentu saja. Sejak awal itulah yang melelahkanku berminggu-minggu ini, mencari pendamping. Atau ahli waris, atau istri, atau pacar, atau apalah. Walau kontestasi dan filter wajah merupakan metode kuno untuk mencari pendamping, setidaknya cara ini sedikit lebih baik ketimbang mendaftarkan profil di biro jodoh atau meminta bantuan orang pintar. Peradaban teknokrasi tidak menyimpan ruang untuk superstisi persoalan hati. Lebih-lebih, seorang pilot profesional dengan jam terbang lebih dari 4.000 tidak begitu koheren dengan atmosfer pergaulan orang biasa yang biasanya melibatkan lebih banyak candaan ketimbang esensi. Maka inilah yang ia lihat di depan matanya, potret diri 54 perempuan muda yang “disodorkan” untuk ia pilih sebagai pemenang.

“Aku memintamu membawa lima saja, kan?” tanya Arya. “Kenapa… ini…”

“Ih gimana sih. Kan kita sepakat. Aku yang cari formasinya, kamu yang pilih limanya. Aku yang usahakan kontesnya, kau yang tentukan pemenangnya. Lupa ya? Jangan-jangan alkohol sudah menguasai kepala yeei. Sini, biar kupijat, biar kuoles balsem, biar kucukurin tu kumis.”

Arya menggeliat, menghindar. Walau ‘laki-laki’ superaktif ini sudah seperti separuh dari dirinya, logika masih berdiri tegak menghalangi terjadinya hal-hal yang di luar batas. “Lima…lima, Vincent.”

“Baiklah. Kau pilih lima. Tunjuk, sebut, biar aku sisihkan, hapus yang lain.”

..

Selain gambar wajah, terdapat nama, tanggal lahir (yang sekaligus berarti usia), pekerjaan, dan hobi dari tiap-tiap profil itu. Pembesaran satu kali membuat tampilannya berubah konfigurasi menjadi 6x3. Arya mengibas-ngibaskan tangan ke kiri dan ke kanan, yang lalu diikuti gerakan kendali jarak jauh di layar monitor. Vincent duduk di tepi kasur dan melenguh malas. “Ini sudah yang terbaik lho, Itu yang nomor 17 juga oke, anak tukang jahit, S-2 ITB, calon arsitek, sudah dikontrak perusahaan Korea.”

“Terlalu teknis, ambisius, orang seperti itu biasanya tidak bisa menikmati hidup.”

Vincent melenguh lagi. Memang jarang masukannya diterima. Pun begitu, ia tidak bisa terus-terusan diam dan hanya menyimak. “Nomor 21, Ririn. Duapuluh dua, baru lulus FH-UGM, calon legal drafter. Eh, tapi belum ada pekerjaan.”

Arya menggeleng. “Prospek… prospek…, Vincent. Mencari profil sama seperti membaca komik. Kau tidak perlu membaca semua tulisannya tapi cukup memahami gambarnya. Inti ceritanya ada di situ.”

“Bagaimana… yeei pilih dari wajah.. bukannya kriteria pencapaiannya? Bukannya kebanyakan orang…”

“Sssh…” Arya mengangkat telunjuk ke arah bibir Vincent --yang langsung dikibas dengan kasar tatkala lelaki itu tak ingin lip-balm-nya terganggu.

Gambar-gambar itu berpindah-pindah begitu saja sampai akhirnya Arya merebut remote dari tangan Vincent. Kini kendali grafis sepenuhnya ada di tangannya. Ia sudah tidak tertarik mandi atau buang air. Fokusnya telah pindah dari garing basa-basi pesta malam ke gambaran masa depan yang ditunjukkan oleh mata-mata gadis itu. Gambar bergeser sekali lagi. Brightness --tingkat kecerahan monitor dikurangi. Kemudian dengan beberapa klik, kini di layar tersisa tujuh gambar perempuan. Empat dari mereka berambut sebahu dengan gelombang gaya layers, pose miring ke kiri dan pipi melengkung sempurna menghadap arah cahaya blits kamera. Rona kemerahan mendominasi bibir-bibir mereka, sementara karakter dari-angkuh-hingga-memelas bisa dibaca dari posisi bola mata mereka.

Tombol ditekan lagi, dan grafis semakin besar.

Kini tinggal tersisa enam gambar. Keenam nama di situ tiap-tiapnya Arini Suksma (Guru tari/Bali), Listia (Karyawan EO/Semarang), Desi Putria (Pengajar Muda/Pare-pare), Cut Ayu (SPG Otomotif/Aceh), Erie Sarjono (Akuntan Bank/Yogyakarta), dan Mesty (Penyanyi Kafe/Jakarta).

Arya menatap lama keenam foto itu. Ia menikmati dirinya dipeluk oleh bayangan pengharapan dari wajah-wajah yang meyakini diri mereka yang terbaik. Simpul kekuatan batin perempuan sering ditentukan oleh keberanian mereka menawarkan kecantikannya pada ketulusan laki-laki. Meskipun, kadang rongrongan dari berbagai arah menyitir kemampuan naluriah perempuan untuk membedakan, mana pencarian yang hakiki, dan mana yang beralasan materi. Setidaknya pertanyaan inilah yang tersisa di benak Arya, menebak profil mana yang mengirimkan pengharapan yang sama dengan dirinya. Yang mengerti benar tujuan dari pencariannya, dan yang menantang perdebatan sehat ke depannya. Sejak awal ia tidak menantikan perempuan yang sempurna untuk hatinya, melainkan hanya kemauan yang ikhlas disertai pemahaman bahwa pertautan hati akan memilih jalannya sendiri. Dan meskipun metodenya diramu sedemikian rupa mengalahkan drama sinetron, cinta yang benar akan datang dengan cara yang sebebas-bebasnya, mengikuti arah pikir dan gerak naluri alamiah manusia sebagai homo socialis, makhluk yang memercayai kecocokan.

Setelah menutup mata Arya akhirnya memilih. Satu nama, Dwi Putria, ia hapus, sehingga purna-sudah, kini terpampang lima nama di layar monitor. Kelima profil itu sudah langsung bisa ia baca meskipun pengertian awal ini justru memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin mengejutkan nantinya.

Sang pemilih menatap sahabatnya. Di ujung kasur, Vincent hanya mengangguk. “Tidak satupun pramugari. How suprising you are, darl.” komentarnya. Wajahnya tampak puas meski lipatan bibirnya mengguratkan pertanyaan tertahan.

Arya hanya mengangkat pundak. Sekonyong-konyong ia melompat dan meminta koran.

Ikuti episodenya:

[1] [2] ...

-------------------

Sumber gambar Ilustrasi: collectair.com.

*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun