Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Akrofobia

7 Desember 2014   23:04 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:50 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[Cerita sebelumnya di sini]

*

DINDING bagian luar Hotel Grand Tjokro berpendar-pendar. Berkat inovasi teknologi Jepang, luminensi lampu LED kini bisa bercahaya seperti siraman air, bergelombang dengan kecerahan yang seimbang. Biru, ungu, dan hijau berganti-ganti memantul dari bidang kaca yang mendominasi seantero dinding depan hotel. Transisi pergantian warnanya begitu halus hingga memanjakan mata siapapun. Air mancur di halaman bawah sampai tidak begitu kelihatan. Terlebih lagi ruko-ruko kecil pedagang sepatu merek kelas tiga yang menghimpitnya di sisi kanan dan kiri. Dari kejauhan, pendar lampu warna-warni ini menarik perhatian bahkan dari kabin pesawat jet yang hendak mendarat. Wujud periklanan yang aman dari pajak mencekik ketimbang papan reklame yang menyampahi kota.

Arya Listanto menarik wajahnya dari pemandangan jendela. Kota ini begitu cepat berubah. Lebih meriah tapi hambar seperti kota besar lainnya. Yogyakarta sudah terlalu lama dianggap cantik sampai setiap perubahannya luput dikritik. Di atas Boeing 737 seri 800 Garuda Indonesia yang sebentar lagi mendarat, laki-laki itu kembali memastikan rencananya malam ini. Belasan kertas ditambah lima formulir berlampiran foto ia lihat lagi dengan seksama. Pukul tujuh lebih lima belas menit. Agak meleset dari jadwal. Di barisan kursi belakang, sahabat yang sekaligus asistennya masih tertidur bahkan saat pramugari beberapa kali menyenggolnya dengan sengaja.

..

Ada sembilan kursi VIP yang diatur di pelataran atap Grand Tjokro, dibagi ke sisi dua meja bundar berkerudung kain korvet putih gading. Enam kursi mengelilingi meja yang paling dekat dengan kolam dan paling jauh dari bar. Menghadap langsung ke formasi radial ini, tiga kursi lainnya membelakangi meja yang seharusnya dikelilingi juga. Ketiga kursi berderet bersisian dan berposisi sebagai “pemantau”, karena memang disediakan untuk tiga pembantu acara: penulis naskah, pemantau gelagat (istilah resminya: profile reader), dan seorang penata busana. Belasan kursi kelas tiga lainnya disebar ke setiap meja yang tersedia, dan paling dekat dengan meja katering. Itulah keuntungannya memesan satu lantai dan bukannya sebatas dua-tiga meja. Tidak ada distraksi, dan eksklusif, meski di sisi lain pihak hotel meraup keuntungan dari selisih margin tiap tamu yang biasanya “irit” memanfaatkan hak layanan. Manajer hotel tidak peduli harus menolak tamu lain ketika bahkan nilai down payment sudah lebih besar dari biaya listrik mereka dalam sepekan.

Langit malam begitu tenang. Ketenangannya bahkan sanggup menyedot semua riuh di jalanan dan membawa perasaan setiap yang menatapnya pada keheningan yang nikmat. Inilah keajaiban kosmosis yang dicitrakan dari ketinggian yang tak terukur. Di sisi meja bundar, perempuan itu tersadar dari lamunannya, dan menarik pandangannya dari langit saat seorang pelayan menghampirinya dengan membawa daftar tamu.

“Em… Erie. Erie Sarjono,” jawabnya setelah pelayan itu menanyakan nama sesuai kartu identitasnya. “Perlukah saya…” Ia bermaksud mengeluarkan dompet dan menunjukkan KTP-nya tapi pelayan itu dengan sungkan menolak.

“Oh, tidak perlu, mbak. Sudah pas kok. Silakan dinikmati welcome drink-nya.”

“Terima kasih. Oh iya, kira-kira, acaranya dimulai berapa menit lagi ya? Kok sepertinya terlambat?”

“Oh… kalau itu saya kurang tahu, Mbak. Tapi saya yakin kalau Pak Aryanya sudah tiba, acaranya sebentar lagi dimulai. Kabar terakhir, beliau sudah di bandara.”

“Ooou….” Perempuan bernama Erie mulai tidak sabar. Bukan karena jadwal ngaret sebagaimana dianggap lazim, melainkan karena posisi duduknya tidak nyaman. Ia masih sendirian di meja VIP itu sementara kursi-kursi kelas tiga lainnya mulai dijejali tamu yang entah dari mana (sebagian mereka membawa kamera dan peralatan audio).

“Kalau boleh saya kasih saran…,” pelayan ramah itu menawarkan masukan. “Mbak bisa menunggu sambil menikmati makanan pembuka kami di meja sana, tidak apa-apa. Atau bisa sambil lihat-lihat kota Yogya dari pinggir atap sana. Bagus kok pemandangannya, gazebo kami baru dipasang. Saya yakin Mbak suka.”

Erie lalu melirik sejenak ke arah enam gazebo bertudung parasut yang posisinya berhimpitan dengan dinding transparan di tepian gedung. “Oh, hee….” Erie tersenyum. “Terima kasih. Nanti saja.” Ia mengangkat gelasnya memberi kode bahwa pelayan itu boleh pergi.

Melihat pemandangan kota dari pinggir atap lantai lima. Bukan ide yang bagus. Jadi guna menghilangkan rasa gugupnya yang mulai membuat tidak nyaman di kaki, ia berdiri dan pergi ke toilet. Tak lupa ia memanfaatkan waktu untuk membasuh muka, menarik napas dalam-dalam, kemudian melapisi kembali bedak. Penting memastikan tidak ada lapisan yang lebih tebal ataupun lipstik yang keluar dari garis bibir. Pengalaman menghadiri acara kelas atas bukan hal baru baginya, akan tetapi apa yang akan dibahas (dan mungkin ditentukan) malam ini membuatnya semakin gugup. Kontestasi senyap semacam ini tidak selalu membuka pintu untuk banyak orang. Apalagi, sebagai perempuan ia tidak bisa menyembunyikan kelemahannya di depan laki-laki yang memintanya datang secara terhormat. Hanya saja, kenapa acaranya harus di atap? Lift yang menanjak saja sudah cukup menyiksa.

Saat kembali ke meja, langkah itu sempat tertahan karena ternyata tiga kursi lainnya sudah terisi dan ketiga orang di situ baru saja menyambut orang keempat yang baru bergabung. Erie mendekat dan langsung sadar bahwa keempat orang inilah bagian dari “lima pemenang” yang akan bersaing di depan seorang laki-laki tampan yang akan memilih pendamping. Erie mengangguk menyapa, dan langsung disambut oleh perempuan di ujung yang sontak berdiri menyodorkan tangan.

“Listia. Hai,” sapa perempuan yang lebih pendek namun lincah itu. Rambutnya kasual dan sedikit bergelombang, dan senyumannya akrab seperti sahabat.

“Erie. Hai, Listia.”

Mereka bertukar basa basi seperti “sudah lama datangnya” dan “agaknya eksklusif ya…”, sebelum Listia kembali duduk dan menyesip jus alpukat yang masih berbuih. Sebelum sempat berbincang lebih lama, pandangan Erie diculik oleh pesona feminitas yang agak tertutup oleh perempuan lain di kursi tengah. Ia mengenalkan dirinya sebagai Cut Ayu, dan tak mau terlibat perbincangan lebih lama kecuali mengakui bahwa ia berasal dari Aceh tapi lama menetap di “Ibukota”, melewatkan jadwal berenangnya karena acara malam ini dan sengaja tidak mau mengangkat rangkaian telepon yang berdering di Blackberry Jakarta-nya. Dua perempuan lain tiap-tiapnya merupakan yang paling tua dan yang paling muda di antara mereka. Satu bernama Arini, seorang guru tari dari Bali (27 tahun, pernah menikah, dan mengagumi Yogyakarta), dan satunya bernama Mesty, 20, seorang lulusan Ilmu Hukum Islam  yang lebih senang berdandanan Hipster di kafe-kafe retro --yang sekaligus jadi alasan mengapa ia nampak tidak begitu nyambung dengan obrolan ketiga lainnya yang ia anggap “berat”. Lenovo A890 berbalut karet ungu dengan permainan Subway Surfer cukup menghiburnya di saat-saat kosong begitu.

“Yuhuu…. Tampaknya persaingan jadi agak aneh ya.” Tiba-tiba Cut Ayu, yang barusan menukar posisi kakinya yang saling-silang, menyeletuk. “Mudah bagi laki-laki kalau mau memilih perempuan seperti ini. Saya di antara guru tari, penyanyi kafe, pegawai EO, dan em… maaf… Anda pekerjaannya apa?” Model itu memajukan telunjuknya ke arah Erie. “Em… apapun deh…. Yang jelas. Kalian mending mundur saja. Sudah pasti Mas Arya akan memilihku. Tidak perlu waktu lama… acara seperti ini ‘tu. Sehabis ini hasilnya keluar, dan saya bisa pulang ke rumah Mas Arya.”

“Ish… apa-apaan.” Mesty langsung membuang muka. Bibirnya mencibir sedemikian rupa meski tak rela wajahnya menatap model sombong di ujung sana.

Sementara Arini dan Listia memilih bungkam dan menahan diri --mereka tahu perangai model kebanyakan seperti apa, setidaknya yang sering mereka dengar. Dan lagi, begitu mudah menebak kalau Cut Ayu berada di bawah pengaruh minuman keras. Aroma dari mulutnya sudah aneh bahkan sebelum ia menghabiskan segelas anggur dari mejanya. Sementara itu, berusaha mengembalikan keseimbangan percakapan yang tetiba masam, Erie memukul angin. “Iya… iya. Nanti Mbak Cut Ayu yang menang. Lagipula saya sendiri sebetulnya hanya cari pengalaman. Kepingin tahu saja kontak-kontak jodoh itu seperti apa. Ini kan agak lain, jadi ya… Semoga saja yang terbaik yang menang.”

“Bagooos…!” Mesty menyeru, entah pada perkataan Erie barusan atau kemenangan level 11 di ponselnya.

Mendapat balasan seperti itu, Cut Ayu sang model semakin masam. “Sebetulnya pekerjaanku juga masih lebih penting dari ini. Cuma kepingin membuktikan sih, aku bisa dapat lelaki sejauh mana, setinggi apa. Lumayan buat portofolio. Ha-ha-ha.” Tawanya lepas seakan bola matanya hendak melompat keluar. Baru saja ia merogoh tasnya untuk menarik batang rokok dari sana, suara berdeham terdengar.

Limabelas menit obrolan basa-basi dan unjuk gengsi, para pelayan akhirnya mulai menepi. Dari pintu lift kemudian keluar tiga laki-laki yang mengantarkan semerbak wangi ke seluruh bagian. Vincent Mohesa muncul lebih dahulu disusul dua laki-laki tegap dengan setelah hitam-keunguan. Kelima kontestan dibisiki sesuatu oleh Vincent yang sontak membuat mereka memperbaiki posisi duduk dan memastikan tidak ada sisa makanan atau minuman di sudut bibir mereka. “Duduk santunlah, kalian. Arjuna kalian telah tiba.”

Kelima kontestan mengeluarkan peseona dengan cara mereka yang berbeda-beda. Erie, Mesty dan Arini mewakili gaya perempuan kebanyakan yang sedikit-banyak menonjolkan egalitas, sementara Cut Ayu dan Listia berusaha tampil profesional bak menyambut wawancara kerja yang sudah jelas menerima mereka --satu lesapan minuman warna dari bibir gelas berkaki adalah cara baik untuk menarik perhatian. Tuan Arya Listanto langsung menarik kursi dan duduk. Sedikit manner yang ditampilkan oleh ‘sang pemilih’ ternyata mengejutkan perempuan-perempuan yang menunggunya, tidak terkecuali Cut Ayu yang tiba-tiba merasa kikuk karena diberi anggukan hormat yang singkat dan bukannya tatapan mata haus sebagaimana lazim dijumpainya dari banyak laki-laki.

Arya seorang yang berbeda. Ia berkelas, setidaknya tinggi nada suaranya yang diatur sedemikian rupa dan senyumnya yang merata berhasil menutupi kecenderungannya tertarik pada satu atau dua di antara mereka. Profilnya sungguh tinggi. Barisan giginya bersih dan kedua matanya bening. Kedua tangannya cukup tenang mengangkat gelas dan menyambut garpu tanpa harus gelisah mengatur kerah jasnya atau gatal ingin merogoh telepon genggam. Ia mengedarkan pandangannya secara adil dan tanpa tendensi berlebihan. Di mata perempuan manapun mungkin, seorang laki-laki menunjukkan pendirian matang dan mentalitas yang kuat tentunya dengan sikap dan penghomatan, bukan sesumbar soal jabatan atau kendaraannya. Dan seperti kebanyakan kesan pertama, yang menentukan pungkasan penilaian terhadap seseorang adalah bagaimana ia memulai pembicaraan.

“Terima kasih kalian sudah bersedia datang ke acara saya yang sederhana.” Kalimat pertama yang santun. Kelima perempuan itu terbawa sihir kelaziman saat hormon mereka mulai bereaksi. Kalimat positif dalam kerendahan hati selalu memikat, dan tampaknya tuan ini mengatakannya tanpa pikir panjang. Mereka membalas dengan senyuman yang sama hormatnya, sedikit celetukan malu-malu, “Sama-sama” dan ada pula, “Justru saya yang berterima kasih.”

Saat pernyataan pertama meloloskan keakraban dan melepas belenggu kekakuan, pernyataan kedua akan menentukan apakah konteks yang mereka bicarakan akan serius atau santai, dekat atau berjarak, ataukah tanpapola sama sekali. Tamu perlu mengetahui seperti apa mereka harus berkomunikasi dengan tuan rumah, dan “kode”-nya selalu dimulai dengan cara tuan rumah memancing pembicaraan ke hal yang lebih serius.

“Saya tahu bahwa kalian harus mempersiapkan banyak hal untuk malam ini. Ada yang datang dari luar kota, ada yang saya yakin masih harus mengerjakan sesuatu, dan ada juga yang begitu bersemangat dan mungkin memang kepingin menginap gratis di hotel ini malam ini.”

Tawa pecah. Candaan kalimat terakhir itu jelas menunjukkan bahwa tuan rumah ingin suasana obrolan mereka tidak kaku --meskipun juga belum tentu dalam kesantaian yang tanpa aturan. Perempuan yang cerdas selalu sadar begitu laki-laki di hadapannya mencoba menunjukkan selera humor, dan menebak apakah itu bersambut atau tidak. Dari kelima perempuan itu, mengejutkannya, hanya Cut Ayu yang tidak tertawa. Ia kelihatan malas meladeni basa-basi, atau lebih jauh, ia kelihatannya tidak mengerti apa yang lucu.

“Sebelumnya, saya harus meminta maaf,” ujar Arya Listanto lagi setelah tegukan minuman sodanya. Pelayan baru saja mendaratkan sajian utama bebek betutu dan lobster isi acar ketika pembicaraan sambutan harus diselesaikan. “Seharusnya kita mendapatkan tempat yang lebih bagus dari ini. Mungkin taman terbuka dekat kolam renang atau ballroom yang tidak diganggu suara kendaraan. Meskipun ya… di sini cukup bagus. Pemandangan langit Yogya cerah, anginnya tidak terlalu kencang, dan hawanya tidak begitu panas --biasanya di bulan-bulan ini udara kota agak lengket dan menggerahkan. Tujuh hari yang lalu Vincent--asisten saya--coba mengontak beberapa hotel dan plasa untuk kita pakai acara malam ini, tapi ternyata semuanya full-booked, dan satu-satunya yang ada adalah… lantai lima yang dulunya atap ini. Sebagaimana kalian sudah diinformasikan, bahwa gala malam ini dan… semua rangkaian acara ini dijauhkan dari publisitas media, liputan televisi, koran, tidak ada. Teman-teman yang bawa kamera di kursi belakang saya ini hanya bertugas mendokumentasikan momen dan file-nya nanti untuk koleksi acara, bukan publikasi. Niat saya di awal adalah menjalin komunikasi dekat dengan siapapun yang menerima tantangan kontak yang saya tawarkan lewat email dan blog, dan saya pikir esensinya akan lebih mengena ketimbang formalitas yang diliput publik. Makanya saya pikir…, tempat ini mudah-mudahan mewakili niat kita yang baik untuk saling mengetahui, memahami, dan bagi kalian, saling bersaing.

“Mulai malam ini saya berposisi bukan sebagai tuan bagi kalian, tetapi rekan. Rundown program akan dijelaskan produser dan asisten saya nanti, setelah makan. Untuk sekarang, saya tidak ingin diganggu bersama lima perempuan anggun yang saya hormati di sini. Arini, terima kasih sudah jauh-jauh terbang dari Denpasar. Mesty, nice phone--sudah berapa juta skor Subway Surfer? Listia, kelihatannya enerjik sekali. Cut Ayu, kurasa kita pernah bertemu di suatu tempat ya? Dan… Erie, satu-satunya dari Yogya. Maaf, kalau ternyata kamu akrofobia. Seharusnya saya mengetahuinya sebelum menentukan tempat. Andai bisa, saya meminta kita pindah ke ballroom tapi kelihatannya tidak mungkin. Jadi, saya usahakan Erie bisa menikmati setiap momen dan tidak merasa sedikitpun takut di atas sini.

Cut Ayu, Mesty, Arini dan Listia melirik ke arah Erie. Fakta yang baru mereka tahu ini menunjukkan bahwa meskipun telah berkenalan beberapa saat sebelumnya, mereka tidak memerhatikan bagian detil dari masing-masing. Apalagi gerak-gerik atau ketakutan yang biasanya mudah dibaca dari gerak bibir atau bola mata. Sementara Erie, yang harus menggenggam tangannya sendiri setelah “diingatkan” seperti itu, hanya bisa tersenyum mengangguk kemudian berterima kasih. Ia harus mengakui hal itu, ketika bahkan deburan angin di kulitnya begitu menakutkan dan lantai di bawah kakinya seperti terus bergerak. Sungguhpun demikian, ia lebih banyak penasaran hal apa yang membuat laki-laki di depannya mengetahui sampai sejauh itu. Mungkin para pelayan yang menyadari lebih dahulu kemudian memberitahunya sebagaimana direncanakan --di banyak gala, orang-orang penting bisa memanfaatkan siapapun untuk memantau informasi yang bisa mereka gunakan dalam forum, seperti politikus. Ataukah, memang benar seorang Arya Listanto memang punya kelebihan dari kebanyakan laki-laki royal. Kepekaan yang hanya bisa ditunjukkan dengan kelihaian tutur kata dan kecerdasan menggunakan mata. Dan entah karena apa pula, Erie merasa lebih tenang setelah mendengar pernyataan yang membaca dirinya seperti itu. Laki-laki ini, siapa sebenarnya?

Perbincangan enam manusia di meja bundar itu berlangsung dengan sempurna. Arya meladeni mereka semua dengan candaan bak teman sejawat. Cut Ayu merasa senang karena disanjung berkali-kali soal caranya berdandan, sama seperti senangnya Listia karena beberapa kali Arya memuji pentingnya profesi event organizer dalam perkembangan industri wisata di masa depan. Arini, Mesty dan Erie menikmati keakraban obrolan ringan seputar latar keluarga, pendidikan dan pekerjaan. Arya bisa mengimbangi siapapun, dan setiap kalimat yang meluncur dari mulutnya begitu runut, menggembirakan, dan tanpa cela. Sosoknya bak katarsis yang membuat kelima perempuan ini menemukan ekstasi positif dalam diri mereka masing-masing. Mereka bahkan lupa niatan untuk melirik iri atau menyibir sewot satu sama lain. Obrolan terasa tidak cukup bahkan setelah satu jam habisnya hidangan utama. Arya laki-laki rapi yang membenarkan gaya makan apapun, dan bagi siapapun itu menyenangkan. Table manner utamanya soal kecocokan bersikap, bukan aturan kaku terkait sendok dan garpu. Mereka menikmati makan malam seperti di rumah sendiri.

Lagu-lagu Dave Koz dalam volume kecil diputar sebagai latar. Setelah momen pengakraban, Vincent selaku penyelia acara mengambil alih pengeras suara. Ia menjelaskan tahapan yang kelima peserta akan lalui dalam program ini. Jadwal itu terdiri dari total satu bulan pengakraban, “Jadwalnya akan dikirim via email ke kalian setelah pertemuan malam ini. Bisa saja kalian yang dapat ‘giliran’ kencan di awal-awal. Sampai akhirnya Tuan Arya sendiri yang memilih siapa yang akan jadi pasangannya dalam tahapan informal yang berlanjut.” Selama program, kelima perempuan ini diwajibkan untuk hidup secara normal, tapi tidak menjalin hubungan asmara dengan laki-laki manapun selain Arya Listanto. Kalian juga sangat diharapkan bertahan pada pekerjaan sekarang dan tidak pindah tempat kerja. Dan jika mereka keberatan dengan itu, mereka bisa mundur malam ini. Penyelia program akan menilai, bersama tim khusus, kepribadian tiap-tiap peserta dan merujuk kecocokan serta penerimaan Arya Listanto kepada mereka. “Ini bukan kontak jodoh biasa. Ini alami, semua berjalan tanpa rekayasa, dan hasilnya bisa di luar dugaan. Jadi saya harap, kalian silakan jadi diri sendiri dan berlaku normal. Tidak ada liputan, tidak ada sensasi selebriti. Tuan Arya akan memilih jadwalnya sendiri pada siapa dan kapan ia akan berinteraksi, dan mungkin ada di antara kalian yang mengalami sering sekali interaksi dan ada yang jarang sekali, tergantung penilaian personal dari Tuan Arya. Pemenang program ini akan ditentukan oleh Tuan Arya sendiri dan kami umumkan di awal bulan Desember.

“Oh iya, satu lagi yang penting. Kalian berhak mengajak Tuan Arya bertemu untuk membicarakan sesuatu. Kami beri kesempatan 2 (dua) kali untuk tiap-tiap dari kalian melakukan panggilan pertemuan, dan Tuan Arya akan datang. Tapi ingat, pertemuan harus di tempat terbuka, durasinya tak lebih dari tiga puluh menit. Dan  yang lebih penting, kalian harus ingat bahwa Tuan Arya adalah seorang pilot bagi perusahaan komersil dengan jadwal dua puluh jam setiap minggunya. Jadi jika panggilan pertemuan ditolak, itu artinya Tuan Arya punya prioritas pekerjaan dan kalian harus menghormati itu, dan menjadwalkannya ulang di waktu yang lebih longgar. Kalau ada pertanyaan, silakan diajukan sekarang. Kalau tidak ada, saya anggap kalian mengerti dan siap memasuki tahap selanjutnya dari program ini. Ya?”

Erie Sarjono mengangkat tangan.  “Em…, maaf. Apakah ada kemungkinan… hadiahnya berubah?”

Perempuan itu tidak tahu pertanyaannya akan memancing keheningan yang kembali kaku. Siraman cahaya kebiruan datang menyela. Ia tak mengerti apa yang salah. Tapi Arya mengambil alih jawaban. Laki-laki itu terdengar cekikikan untuk pertam kalinya.

“Hadiah program ini tidak akan berubah, Erie. Pemenang tetap akan mendapatkan rumah dan tiga ratus juta uang seperti yang saya janjikan.”

(bersambung...)

---------------------

Ilustrasi: shiberty.com.

*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun