Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

#KoinUntukAustralia Butuh Kehati-hatian

22 Februari 2015   16:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:43 1010
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perdana Menteri Australia Tony Abbott. (Foto: ABC/AFP/Getty Images/Kompas.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="570" caption="Perdana Menteri Australia Tony Abbott. (Foto: ABC/AFP/Getty Images/Kompas.com)"][/caption]

Terlepas dari pernyataan kontroversial yang dilontarkan Perdana Menteri Australi Tony Abbott di media dua hari yang lalu, munculnya gerakan masif #KoinUntukAustralia yang trending sejak Sabtu ini perlu dimaknai (dan disikapi) secara hati-hati.

Media internasional mulai memberitakan respon kelompok aktivis di Aceh yang menggalang #KoinUntukAustralia guna “mengembalikan” bantuan kemanusiaan 1 miliar dolar Australia yang dikucurkan Australia untuk evakuasi dan rehabilitasi korban tsunami 2004-2005 lalu.

Setidaknya Guardian dan The Daily Telegraph dalam berita Jumat mereka (Sabtu 21/2) mengangkat berita yang sama soal “marahnya warga Aceh”, mengutip pernyataan baik dari pihak Aceh maupun pendapat otoritas Australia dengan tajuk “backlash over tsunami aid”.

Gerakan koin itu sendiri, diinisiasi oleh kelompok mahasiswa di Banda Aceh (beberapa menyebut KAMMI) popular pertama kali lewat jejaring sosial Twitter dan Facebook sejak Jumat, dengan beberapa foto koin dan tagar khusus #KoinUntukAustralia.

Tagar tersebut merespon pernyataan kontroversial PM Abbott yang mengungkit sumbangan 1 miliar dolar (nominal riil-nya sekitar 827 juta AUSD) untuk tsunami Aceh, dan mengorbankan nyawa dua tentaranya dalam operasi yang sama di Nias, dengan “kerasnya” niat pemerintah Indonesia untuk tetap mengeksekusi mati dua warga negara Australia terpidana narkotika Andrew Chan dan Myuran Sukumaran.

Saat tulisan ini ditayangkan, aksi lebih besar #KoinUntukAustralia sedang dikampanyekan dengan turun ke jalan di hari bebas kendaraan Bundaran Hotel Indonesia Jakarta. Akan tetapi agar adil, mengapa publik perlu hati-hati menilai hubungan kausalitas dalam kampanye ini? Bukankah menunjukkan “pembelaan terhadap Tanah Air” merupakan sesuatu yang bagus?

Untuk ini, setidaknya kita bisa mulai dari dua sudut pandang atau asumsi.

Pertama, gerakan #KoinUntukAustralia adalah wujud kebanggaan. Ini bagus, karena warga Aceh mencintai Tanah Airnya sebagaimana masa lalu pahit pasca-tsunami 2004 dan berbagai konflik yang terjadi dua dekade terakhir. Warga Aceh belum berhenti membangun kehidupan dan dalam kenyataannya “perjuangan masih jauh dari selesai”.

Saat Tony Abbott mengungkit bantuan rekonstruksi Aceh sebagai alasan bagi Indonesia untuk berbalas budi, budaya luhur ketimuran saya pun akan tersinggung dengan perasaan yang sama.

Tapi bahkan dengan gerakan kebanggaan sekalipun muaranya harus terlihat secara logis. Berpikir teknis, gerakan #KoinUntukAustralia tidak punya kotak masuk alias alamat tujuan. Berbeda dengan gerakan humanitarian penggalangan koin untuk R.S. Omni untuk kasus Prita Mulya Sari, Koin untuk mantan TKI Darsem, atau gerakan koin untuk korban konflik Gaza di Palestina, koin untuk Australia sulit diwujudkan pengirimannya.

Mengirim berkilo-kilo koin ke tanah Australia akan menghadapi masalah bea cukai yang serius. Mengonversi dan mengirimnya dalam bentuk dolar, katakanlah, lewat lembaga-lembaga advokasi di Australia berpotensi menimbulkan gesekan baru di negeri orang. Menyampaikan koin-koinnya lewat Kedutaan Besar Australia di Jakarta juga akan dianggap penghinaan diplomatis dan berpotensi ditertibkan oleh kepolisian atas rekomendasi Kemenlu.

Meskipun gerakan koin ini hanya pernyataan moral seolah-olah mewakili sanubari warga Aceh, tetap saja gerakan ini harus dipertanggungjawabkan. Dan jika ternyata gerakan ini simbolis belaka, maka uangnya lantas akan dikemanakan? Disalurkan untuk keperluan lainkah? Transparansi dan rencana penyaluran dananya harus jelas agar penyumbang tidak perlu bertanya-tanya lagi.

[caption id="" align="aligncenter" width="534" caption="Ini termasuk gambar mula-mula yang dimuat ke internet mengampanyekan pengembalian uang ke Australia. Sumber: Twitter @T_Samsul_Alii/DailyMailUK"]

Ini termasuk gambar mula-mula yang dimuat ke internet mengampanyekan pengembalian uang ke Australia. Sumber: Twitter #T_Samsul_Alii/DailyMailUK
Ini termasuk gambar mula-mula yang dimuat ke internet mengampanyekan pengembalian uang ke Australia. Sumber: Twitter #T_Samsul_Alii/DailyMailUK
[/caption]

Asumsi kedua, #KoinUntukAustralia adalah wujud kemarahan. Kemarahan penuh dengan persepsi, dan begitu mudah dinilai sebagai penghinaan. Saya cenderung setuju dengan pendapat blogger Banda Aceh, Srabah Yudi Mn yang mengemukakan argumen berimbang bahwa warga Aceh sebaiknya tidak menghakimi warga Australia atas perkataan perdana menteri mereka.

Dalam tulisannya yang diangkat trending article di Kompasiana, Yudi yang juga pengurus sebuah organisasi nirlaba Rumah Kreasi Indonesia Hebat menyayangkan warga Aceh yang membalas Abbott dengan kemarahan, dan menyebutkan bahwa gerakan itu merupakan “tindakan yang kekanak-kanakan”.

Yudi juga mengutip tanggapan mantan pekerja humanitarian di Aceh asal Australia yang juga profesor di Deakin University, Damien Kingsbury yang menunjukkan penyesalannya atas pernyataan Abbott, namun tidak begitu senang dengan cara warga Aceh menyampaikan kemarahan mereka atas “bantuan kemanusiaan yang telah lalu”.

Kritik dari warga Australia

Baik atas pendapat Yudi ataupun endorsement atas tanggapan Profesor Kingsbury, saya setuju bahwa tagar #KoinUntukAustralia punya kelemahan ketika dihadapkan dengan konteks yang lebih luas, terutama saat menyantumkan kata “for Australia” seolah-olah ditujukan bagi suatu bangsa dan bukannya orang. Alasannya jelas: pernyataan “1 miliar dolar Tony Abbott” itu pada kenyataannya telah menuai kritik pedas dari warganya sendiri.

Satu komentar baik saya kutip dari pengguna bernama Smellydigit yang menuliskan (teks asli dalam bahasa Inggris): “Saya lebih suka berpikir bahwa (hanya) minoritas warga Aceh yang akan bereaksi seperti ini (mengumpulkan koin), begitu pun hanya minoritas warga Australia (dan PM kami Abbott) yang mengaitkan eksekusi dengan donasi.”

Di komentar lain, pengguna Crille Nielson yang menuliskan, “Itu perkataan yang bodoh, tidak diragukan lagi. Tapi kebanggaan (atas tanah air seperti Aceh) bisa jadi hal yang berbahaya. Nielson bahkan menyarankan bahwa koin-koin itu baiknya disumbangkan ke negara yang nyaris bangkrut seperti Yunani.

Komentar lebih kritis, bahkan menyinggung warga Indonesia yang di sisi lain, belum banyak bersuara atas hukuman mati itu sendiri. Struthers menulis: “Ya Tony Abbott adalah politikus yang buruk dan sering kali tidak becus dengan pekerjaannya (sebagai perdana menteri), tapi akan lebih relevan jika orang-orang  Aceh yang peduli dengan Tanah Airnya juga bersuara mengkritik pemerintah Indonesia yang mengambil nyawa orang lain dengan mengatasnamakan “rakyat” mereka.” (Baca seluruh komentar di atas lewat berita aslinya di sini.)

Sebagaimana diketahui, Tony Abbott memang tengah mengalami masa sulit dalam konstelasi politik Australia beberapa pekan terakhir, di tengah-tengah kritik atas dirinya yang dilayangkan oleh partainya sendiri di parlemen. Tony Abbott bahkan nyaris terpental dari kursi perdana menteri andai tidak memenangkan suara hak jajak pendapat pekan lalu. Nampak dari banyak komentar warga Australia atas berita “koin Aceh”, banyak warga Abbott yang menunjukkan rasa muak mereka dan berharap terjadi transisi kepemimpinan baru.

Hal inilah yang juga akan membiaskan sasaran utama gerakan #KoinUntukAustralia. Pernyataan Abbott mewakili suara pemerintah yang, menurut pendapat Yudi, sarat muatan politik. Tidak mengherankan jika respon pemerintah Indonesia yang paling lantang, secara formal, telah disampaikan oleh Kementerian Luar Negeri yang menyebut pernyataan Abbott akan “menunjukkan warna sebenarnya” dari komunikasi politik Abbott, pendapat yang juga diamini oleh warga Australia sendiri.

Bagaimanapun akhirnya, gerakan #KoinUntukAustralia berhasil menarik simpati sebagian publik Indonesia yang akhirnya paham bagaimana solidaritas kemanusiaan telah menyatuan banyak suara, dan dukungan atas kebanggaan bangsa begitu masif dan gesit. Sebagaimana kasus-kasus dan isu-isu sebelumnya, pembelaan kita terhadap bentuk penindasan dan penghinaan dapat terpicu hanya dalam hitungan jam, meski sekadar ikut klik dan ikut meramaikan trending.

Kritik atas gerakan ini diperlukan sebagai pembagi dan bahan kalkulasi, agar penyuaraan pendapat di kemudian hari dapat terjalin secara lebih kontekstual, tepat sasaran, dan lebih rapi. Bukan sekadar letupan emosi yang tergabung-gabung, tetapi kemudian memunculkan kebingungan baru tentang cara kita, sebagai bangsa, berkomunikasi dan menanggapi opini.

Perlu diingat, saat menyinggung negara lain, kata dan kalimat kita diterima bukan lagi sebagai pernyataan lokal, tetapi wujud komunikasi global, yang nilai dan normanya berlaku universal, dan melibatkan pemikiran lebih banyak orang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun