Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Lauret

27 Februari 2015   02:57 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:27 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1424955325374265776

*

Brenda Luc melihat dunia di luar jendelanya tak banyak berubah sejak ia meninggalkan Merauke tiga setengah tahun yang lalu. Di sini di Pangandaran,semuanya masih abu-abu. Angin timur yang bertiup lebih banyak membelok ke laut, dan perahu-perahu fiber glass bermuatan dua orang menjauh dari pantai satu-satu. Di sekelilingnya, nelayan penanggung jawabnya saling berteriak, mungkin saling mendoakan rezeki. Suara mereka tak terdengar, namun terbayang semangat yang membaur bersama udara panas dan aroma garam laut. Udara hangat sama yang masuk lewat kisi-kisi di atas jendela, isyarat ringan bahwa awan yang menggantung di kejauhan mungkin membawa hujan. Di tengah kamar, di atas meja kayu jati yang bentuknya bundar, di dekat gelas es perasan jeruk, tergeletak sebuah buku. Judulnya Ekspedia. Brenda berkata, dengan kasar, pada dirinya sendiri, “Berhentilah pada saatnya”.

Media di Jakarta, khususnya yang bersusah-payah mengejar berita sastra dengan pendapatan iklan yang kecil, sudah lama heboh tentang buku terakhir Brenda Luc, novelis eksperimentalis yang mengawali masa “Cerita misteri yang saintifik”, sebuah genre sastra yang tak begitu disukai penulis lantaran kerumitannya, tapi begitu dicintai penerbit karena popularitasnya. Kolom-kolom berita disiapkan; seratusan reporter diberi tanda khusus; jadwal konferensi pers dibagi rata dan rapi; Para editor meminta waktu lebih dan menjanjikan bonus. Tagar #Expedia dan #DontStopBrenda disiapkan untuk kampanye viral, melibatkan puluhan “tenaga ahli.”

Buku-buku misteri selalu diminati para remaja, menghabiskan waktu mereka di saat santai atau berbagi cerita narsistis di Twitter. Uniknya, buku-bukunya yang beralur sederhana juga diminati orang dewasa--tampaknya yang rindu dengan kisah-kisah semacam karangan Ben Kiosaki, Tumpak Harahap, dan Hillaria Sonata. Dari empatbelas judul bukunya, Brenda lebih dikenal dari buku keduanya Sirion: Pentagram Di Atas Air (2003), buku ketiga Amuba yang Mendua (2004), buku kelima Pengalaman Nurjaman (2006), buku ketujuh Koloni Semut (2007), dan buku kesembilan Eksentrika Lima Dimensi (2011). Buku-buku berikutnya tetap laris tapi tidak begitu bombastis. Sampai pada buku keempatbelas, Brenda memikat publik dengan pengumumannya bahwa “Ini mungkin buku terakhir.”

Selama duabelas tahun karya-karyanya beredar, media tak pernah kesulitan menembus Brenda untuk wawancara atau tur singkat bersama di beberapa kota. Kelompok pemikir sastra menyanjung keramahannya ini, meski beberapa penulis senior kerap berpendapat, dan diabaikan, bahwa ada sesuatu yang keliru dalam karya-karyanya. Satu penghargaan Cakradirawan Veritas Huis sudah cukup menyandingkan namanya dengan Gus Mus, Hilman, Sastro Adinegoro, dan banyak penulis angkatan 90-an lain di balai konservasi H.B. Jasmin. Bersisian dengan serbuan naskah-naskah baru yang jauh lebih dangkal, tetapi lebih disemarakkan. Tulisan komedi percintaan yang alurnya begitu ringan bagi banyak kelompok umur, sastra instan. Brenda ada di tengah transisi generasi media cepat, di mana kritik-kritik atas karya sastra dapat berlalu dalam hitungan menit, kemudian dilupakan jauh sebelum ia menggarap naskah baru yang akan lebih laris. Lagipula, media menyukai drama, dan Brenda tahu pasti bagaimana menyuapi para pewarta dengan remah-remah yang pahit tapi nampak manis. Dua hari mendatang, Brenda akan tiba di pusat kota Jakarta, di mana ia akan meluncurkan Ekspedia. Buku terakhir ini, terlama penggarapannya dari semua manuskripnya, akan menjadi pamungkas yang brilian. Ia juga menantikan Forum Kesusastraan, di mana ia diberi sepuluh menit di atas podium sebagai seorang lauret, pembukti talenta sekaligus penanggungjawab nasihat, mungkin mengilhami banyak orang. Aku akan beritahu apa yang mereka ingin tahu. Brenda mengira hari itu akan spesial, hari di mana ia bisa mengakhiri“karirnya” dengan tenang.

**

Laki-laki tua itu mengelap kacamatanya. Pembengkakan bagian belakang retina, dikenal dengan istilah Ablasio, selama dua tahun menyiksanya dengan air mata yang terus keluar di pagi dan sore hari, dan ketidakmampuan pupil menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk. Karenanya ia merasa begitu terbantu dengan pengertian yang menempatkannya di bagian terdalam rumah pantai itu, yang gelap, tersembunyi di balik dinding kamar yang menghadap langsung ruang galeri tua. Di sini sinar matahari hanya mengintip sedikit, cukup untuk melihat wajah namun bukan membaca. Tidak banyak penerangan listrik untuk perabotan klasik-vintage di situ, kecuali sebuah bohlam kabut lima watt yang bersembunyi di balik lemari rendah tempat televisi klasik dipajang di atasnya. Lelaki tua itu duduk menyilangkan kakinya di atas sofa rendah berbalut beludru warna coklat, menyesap perasan jeruk segar Malang yang dihangati air cengkeh Banda.

“Aku tidak punya pilihan lain, Raz.” Perempuan itu, menghela napas berat, kemudian duduk di kursi satunya. Matanya menatap ke arah sinar matahari datang. “Aku tidak bisa melakukan ini tanpa kau.”

Amras Sakuloi tersenyum. Tangannya yang tremor meletakkan gelas. “Kau sudah terlalu lama melakukan ini. Orang-orang memujamu.”

Brenda merespon dengan senyum getir. “Ya, itu jelas. Orang-orang selalu punya idolanya. Dan seperti banyak idola, di mata mereka aku ini flawless. Tanpa cela. Mereka tidak tahu…”

“Setiap orang punya cerita. Kau berulang-ulang mengulang ungkapan itu di buku-bukumu.”

Mendengar itu Brenda menyorotkan matanya tepat ke mata lelaki tua di depannya, menyelidik dan mengira orang ini sedang mengolok-ngoloknya.

“Ya benar,” lelaki tua itu seakan meminta maaf. “Aku tidak banyak tahu seperti dirimu. Lihat, kesuksesan ini, penggemar, penghargaan, foto-fotomu di H.B. Jassin. Ini anugrah, Brenda.”

“Andai aku bisa melakukannya lebih baik, Raz. Pada akhirnya aku sadar. Seseorang harus mengakhiri ceritanya. Seperti buku-buku.” Brenda tersenyum saat mengatakan itu, badannya condong ke depan. “Lihat matamu, Raz….”

Amras kikuk, gugup. Ia mengenal perempuan ini selama belasan tahun hidupnya, tapi tak pernah berada di jarak sedekat ini. Brenda seperti putri yang liar, dan dia ayah yang pendiam. Walau begitu, di tengah nyeri yang menjalari batang otaknya, orang tua ini melihat kegetiran yang bergetar-getar di dalam mata Brenda. Seakan-akan perempuan ini ingin menangis, tapi matanya terlalu kuat untuk menyerah pada perasaan.

“Andai matamu bertahan lebih lama lagi.”

“Ah… Brenda.” Amras menyandarkan dirinya. “Organ seperti mesin mobil. Ada saatnya aus dan tak bisa dipakai lagi. Bedanya, organ tak bisa diganti begitu saja, dan sebaiknya menyerahkan diri pada waktu. Kau tahu, Brenda…. Sewaktu aku pertama kalimelihatmu, aku langsung tahu kalau penjaraku lebih luas dari sekadar tembok empat meter persegi. Di dalam matamu aku bisa melihat laut, hamparan pasir, barisan tebing. Bahkan aku bisa meresapi aroma angin timur di sela-sela suaramu. Dari makananmu aku bisa menggapai Padang, dan dari tulisan suratmu aku bisa merasai Jakarta. Kau tahu aku kadang berlebihan dalam berkata-kata, tapi kau harus tahu bahwa aku menyayangimu. Berapa usiamu waktu itu…limapuluh, enampuluh? Usia tidak menghalangimu. Sekarang, lihat dirimu…. Ini. Ini, anggap saja penuntasan rasa terima kasihku karena kau telah memberiku anugrah yang begitu berharga. Kebebasan.”

“Tentara Nasional membebaskanmu atas perintah presiden.”

“Ya. Itu benar. Tapi dengan kerjasamamu aku merasakan kebebasan yang lain.” Amras memutar-mutarkan tangannya di tengah udara. Bibirnya sangat tenang dan tampak lebih segar. “Seperti ini. Kebebasan seperti ini, seperti udara yang kita hidup, tidak berbatas. Dan kau, kau, memberiku kebebasan hakiki kepadaku untuk menunjukkan bagian dari diriku kepada dunia. Kau tahu maksudku?”

Brenda kembali memalingkan mukanya ke kisi-kis di dinding, menghela napas agak pendek. “Duabelas tahun, Raz. Aku tak pernah berpikir akan melakukan ini selama itu.”

“Waktu, Brendaku. Itu relatif.” Amras menyesap jeruk-cengkehnya kemudian berdiri, menopang keseimbangannya dengan tongkat kayu yang ujungnya menimbulkan bunyi berderit-derit di lantai parket. Dengan bersusah payah ia bergerak ke arah jendela kemudian membuka kerainya.

“Raz, apa yang kau lakukan?!” Brenda berusaha menangkis cahaya tapi tangannya dicegah.

Cahaya matahari masuk penuh, menyirami tubuh renta itu dari kaki hingga ujung topi pelukis yang bertengger di kepalanya. Amras Kaluloi mengenakan kacamatanya dan membiarkan kemilau cahaya surya yang menyakitkan itu masuk ke rongga retinanya. Batang otaknya berkedut-kedut, dan tidak butuh waktu lama air matanya mengalir deras. Tapi begitu ia tidak menyekanya, malah membiarkannya mengalir jatuh. “Mungkin ini adalah akhir mungkin juga ini baru awal. Bagaimanapun ini adalah cerita dari diriku, Brenda. Jika bab terakhir itu benar telah kau rampungkan, maka aku bisa berangkat ke surga yang sebenarnya tanpa kekhawatiran lagi. Tugasku sudah purna, gadis kecil. Sekarang, tuntaskan tugasmu. Kalau tubuh rentaku cukup sanggup, aku akan datang, dan kau tdak perlu menangis.” Satu sesapan jeruk terakhir di bibirnya, dan Amras merasakan matanya benar-benar terbakar, sebelum jatuh berdebum. Brenda ketakutan.

**

TUJUH RATUSAN orang memadati Gedung Sasono Langen Budoyo, berurutan di kursi tamu yang dibayangi spanduk rentang raksasa. Di luar, berjajar puluhan buket bunga ucapan selamat, dan meja resepsionis tempat para tamu antre mendaftarkan dirinya. Brenda menghabiskan tiga botol air mineral untuk melayani pembubuhan tandatangan khusus untuk 100 pembeli eksklusif pertama dengan harga diskon. Ekspedia disusun setinggi botol minuman itu di kedua sisi mejanya, dan dua staf honorer muda mengatur ketertibannya. Beberapa pembaca yang sudah akrab berkesempitan meminta foto bersama, dan banyak lainnya langsung masuk ke aula tempat sang idola akan menyampaikan pidatonya beberapa menit lagi. Di selebih ruangan banyak staf perlengkapan lalu-lalang mengurusi audio dan makanan penyambut.Mereka benar-benar bersiapuntuk segala hal.

Brenda terlambat lima menit saat konferensi sudah melepas dengan tepuk tangan sambutan Ketua Dewan Kesenian Jakarta. Tak biasanya, ia merasa gugup. Meski tak terhitung berapa kali ia menghadiri temu sastra di dalam dan di luar negeri, ia selalu bisa mengendalikan diri. Tapi begitu ia mempersiapkan dirinya untuk hari ini, hari istimewa di mana ia akan sangat penting. Sebagai lauret, setiap kata dan gesturnya adalah pesan nasihat. Orang-orang akan mencatat setiap pesan yang terselip di antara pidatonya. Basa-basi berjalan lambat, dan setelah melewati sesi istirahat, forum kembali dimulai. Kali ini, tidak seperti pagi hari, media mulai apdat di balkon khusus di kedua sayap lantai dua gedung. Mereka bahkan menduduki kursi VIP yang memang tidak dipesan secara khusus. Pukul 13.45, Brenda Luc naik ke panggung. Layar raksasa di belakang menampilkan namanya dan titelnya besar-besar,Veritas Huis laureate. beserta sampul empat belas bukunya, dengan satu di antaranya dipasang dalam ukuran sedikit lebih besar. Ekspedia. Brendamerapikan rok coklatnya dan ia luruskan kacamata di hidungnya. Senyumnya terkembang saat seantero ruangan berdiri dan bertepuk tangan padanya. Inilah saatnya. Ia mengecek mikrofon, berdeham.Momen kebenaran.

Cognito ergo sum.” Brenda memulai dengan mengutip ungkapan latin. “Pemikiran manusia telah membentuk zamannya, mengukur peradabannya, meninggalkan penanda penting bagi kehidupan manusia. Roman: Vesuvius; Ottoman: Sulaiman; Yunani; Descartes, Hercules, Veritas; Viking, Islandia di masa kini, tanah para penulis. Semenanjung Arab, tempat lahir Ibn Khaldun dan Al Khawarizm. Indonesia: Sotardji Kalzum bachri, Buya Hamka, Pram, Jassin. Sastra telah menjembatani perlintasan peradaban awal, pertengahan, pencerahan, sampai zaman beton kita. Sastra memperlihatkan sisi-sisi gelap dari kecemerlangan manusia, mengungkapkan kecerobohan-kecerobohan dari kecepatan berpikir kita. Sastra membangun peradaban kita dengan senyap namun kuat, membawa industri dunia, dan terutama media, pada siklus aliran pesan berantai yang melandasi cara kita berpikir sebagai pemimpin, penasihat, sebagai pekerja. Sastra mengangkat cerita-cerita kasar dari negeri yang tak dikenal menjadi kelembutan kisah yang dikenang di meja-meja mahoni halus di kota tingkat atas. Buku-buku membuka kesempatan kita meluluhkan gengsi dan mulai berbagi. Tulisan menajamkan pikiran kita untuk mengoreksi juga memperkenalkan kita pada otokritik, self-talking serta kontemplasi. Para penulis membangun cita-cita dunia sejak berabad-abad lalu, memenuhi jutaan perpustakaan di seluruh dunia, sejak zaman Alexandria sampai bentara budaya Yogya. Para penulis…bertanggung jawab untuk merangkak dari kedangkalan kognitif manusia dan membawa banyak jiwa mendaki sembilan puncak yang didiami kunci surga. Dengan besaran tanggungjawab yang sama adilnya, kita semua yang hadir di sini, berjalan beriringan di atas tebing yang sama. Kita, sebagai kesatuan hamba, bertanggung jawab pada peradaban dan Tujuan Penciptaan.”

Seteguk air meluluhkan kerongkongannya.

**

Amras Sakuloi melompat ke dalam taksi dan langsung meminta sopir bergegas. Sedan itu berlalu meninggalkan dua perawat muda yang keluar dari lobi, berusaha mengejar. Lelaki tua di dalam taksi menarik serangkaian selang yang meliliti lengan dan kepalanya, mencabut dua jarum yang tertancap di lengannya, sebelum mengeluarkan dompet dan menyerahkan uang limaratus ribu rupiah langsung kepada sopir yang terkejut. “Saya perlu bantuanmu membawaku ke suatu tempat. Saya Benar-benar butuh, bantuanmu.”

Saat sopir yang dirangsang insentif lima kali lipat itu mulai bekerja, taksinya secara ajaib meliuki jalan-jalan alternatif, menjauh dari kemacetan. Dengan keyakinan yang diiringi celoteh, perkiraan waktu tiba ia pangkas dari setengah jam sampai sepuluh menit. Bagus. Amras senang, tetapi berharap cemas. Di tengah perjalanan saat mereka baru saja melewati dua mal besar yang nyaris bertetangga, ponsel bergetar-getar. Sopir taksi dengan lancangnya menyinggung bahwa panggilan itu harus diangkat, mungkin penting, Pak. Akan tetapi Amras Sakuloi tahu betul untuk apa semua panggilan itu merongrong ponsel pribadinya. Di layar tertulis berganti-ganti di setiap dering: Bisma, Aya, Haruna. Dua anak dan satu keponakan yang mungkin terkejut (kalau tidak terguncang) mendapati ranjang pasien di ruang kelas satu lantai tiga itu sudah kosong sebelum mereka tiba, dengan sebuah surat pesan singkat bertindih pulpen di atas kasur.

“Cepat lagi!” Amras menyeru kepada sopir bayaran khususnya. Kacamata hitam gelapnya tak begitu membantu di terik siang yang membakar. Pepohonan kota terdiam saja.

**

“Sebagaimana pahamnya kita semua atas berharganya keajaiban, saya ingin berbagi cerita kepada kalian.”

Para wartawan menyimak sambil mengetik. Jurnalisme hibrida memungkinkan kabar ditangkap dan dikirim dalam rentang menit yang sama, terlepas dari kebutuhan akurasi dan simpati yang kadang berstandar ganda. Tak satupun suara terdengar di aula, kecuali dentang magis suara mesosopran Brenda Luc yang mulai mengatur napasnya di atas podium.

Ekspedia, adalah buku penting yang tidak hanya bagi kalian, dan para pecinta yang tidak dapat hadir di sini. Naskah terakhir memang melankolis, tapi saya ingin menyimpan kesannya bagi kalian yang akan merindukan cerita-cerita saya di kemudian hari. Tapi lebih-lebih, buku ini, naskah ini, mewarisi diri saya sendiri kebenaran penting. Satu kebenaran, yang semoga bisa kuceritakan secara gamblang kepada kalian di sini. Karena seperti kebanyakan penulis yang menyelesaikan tugasnya dalam gelembung spiritualitas yang unik, kini saatnya saya, Brenda Luc, di hadapan kalian, akan memberitahu seperti apa gelembung spiritual saya, penjagaan kepercayaan saya. Seperti kebanyakan orang beriman, ini adalah momen pengakuan dosa saya.”

Para tamu bergemuruh dengan decak tawa, menangkap kesan humor. Tapi Brenda langsung membungkam mereka henyak dengan penuturan berikutnya, yang ia katakan dalam nada suara yang lebih rendah, tapi lebih berat.

“Ada seseorang. Seseorang yang saya sayangi, saat ini sedang terbaring di rumah sakit.”

**

Amras Sakuloi melompat keluar dari taksi yang hanya dibolehkan masuk hingga lapangan parkir, dekat dari observatorium mini dan musala kecil tempat para wisatawan desa duduk berlas koran dan saling tertawa, anak-anak memegang balon ikat dan pedagang asongan menjaga-jaga jikalau ada petugas Pol PP. Jalan setapak yang begitu jauh ke arah timur, membentang di hadapannya. Jalan itu beraspal dan dibatasi bulevar tempat lampu-lampu tiang klasik tertanam. Ia menyeret langkahnya dengan menahan perih di mata. Langkahnya tertahan di tengah kerumunan rombongan anak sekolah bercampur ibu-ibu arisan yang menyemut di tengah plasa. Pertunjukan wayang.

**

“Dia adalah seorang pujangga yang telah lama hilang. Rekan-rekannya yang masih hidup memilih bungkam atas namanya. Mantan wartawan untuk Preambule dan penasihat sastrawi ini, dihilangkan namanya justru oleh orang-orang yang dekat dikenalnya.

“Dia berlari meninggalkan kenyamanannya dan menulis banyak kolom untuk Balai Pustaka. Tapi kemudian, karena alasan yang berseberangan dan malpaham atas berita-berita soal Kelompok Marxism, pemerintah mengasingkannya ke Digul.

“Orang ini, tidak secara predikat namun secara naluriah, di mata saya, adalah lauret yang sebenarnya.”

**

Petugas resepsionis di meja depan tidak mau mengambil risiko. “Maaf, Pak, tapi semua tamu harus yang sudah terdaftar.”

“Ah persetan dengan daftarmu!” Amras Sakuloi membentak, mengejutkan resepsionis muda itu, juga orang-orang yang mendadak meliriknya. Ia yang tidak peduli kemudian menghela napas sendu. “Tolonglah, Dik. Izinkan saya masuk. Brenda Luc, dia teman saya. Dia sedang pidato di dalam sana dan kehadiranku mungkin akan mengubah sesuatu.” Atau hanya menyaksikan sesuatu.

“Saya mengerti, Pak. Tapi…”

“Ini… Lihat ini.” Amras menunggu reaksi resepsionis itu saat mencermati kartu anggota Balai Pustaka lusuh yang diserahkannya sebagai tanda bukti. Tertulis di situ tahun 1971. Kertas yang meragukan. Maka tanpa pikir panjang lagi, menyadari upayanya sia-sia saja, Amras Sakuloi menarik kembali kartunya dan bergegas mengangkat tongkatnya.

Orang tua itu berlari dengan pincang memasuki lobi, meninggalkan resepsionis yang berdiri kebingungan, lalu menyambar walkie talkie di mejanya. Amras melewati tiga partisi, beberapa tamu VIP sebelum akhirnya bersandar di dinding bagian dalam aula Langen Budoyo. Matanya pegal parah, melihat layar besar yang berpendar-pendar, dan bayangan kecil di tepi bawahnya, berbicara di tengah panggung.

“Amras Sakuloi, Bapak dan Ibu sekalian, ada di belakang sana.” Brenda membuka tangannya ke udara, menunjuk jauh ke belakang forum, tempat laki-laki tua itu bersandar terengah-engah. Lampu sorot yang cahayanya bergerak melintasi lorong kursi-kursi kemudian kembali ke panggung atas permintaan Brenda. “Tolong jangan sorot dia dengan cahaya.”

Para hadirin berusaha menoleh ke belakang, mencaritahu sosok yang muncul tiba-tiba itu. Dengan gesit Brenda lalu turun dari podium, kemudian meninggalkan panggung.

Brenda lalu pindah ke tengah panggung, berbicara dengan nada agak teriak menyiasati mikrofon yang tak bisa ia pakai. “Bapak dan Ibu, hari ini saya menyatakan kebenaran yang sesungguhnya, tentang empat belas judul buku atas nama saya. Brenda Luc.”

Para hadirin saling pandang. Momen yang tak biasa. Tapi kecanggungan seperti ini adalah maanan empuk bagi wartawan, yang dengan riuh menyiapkan kamera-kamera jarak jauh dan juga perekam digital mereka. Beberapa dari mereka bahkan menuruni tangga untuk lebih dekat kepada sang tamu misterius. Headline besar akan terpampang besok.

“Dengan simbologis keseimbangan hidup manusia.” Brenda mengumumkan. “Dengan ini saya mengakui bahwa keempat belas judul buku saya, dari Ambigu Lubang Jarum sampai Expedia, pada kenyataannya ditulis oleh beliau, Amras Sakuloi.”

“Haaaah?” Riuh penonton menggema di dalam aula, menggaung melewati corong-corong mikrofon. Beberapa menunjukkan keterkejutan sampai melompat dari kursinya. Di barisan belakang, para penggemar sama bingungnya. Satu dua membuka buku di tangan mereka yang baru saja dibubuhi tanda tangan.

“Orang ini, selama duabelas tahun, telah menjadi bayangan, hantu di belakang saya. Dia seorang pembisik, penuntun, pemikir, pengetik Sebagaimana Anda baru saja dengar. Saya hanya seorang pembicara.”

Para kini sudah berdiri dari kursi-kursi mereka, melihat ke arah panggung dan ke belakang aula secara bergantian. Pantulan cahaya proyektor di layar besar tengah panggung sontak dimatikan. Melambat dan menjaga tempo, dalam kehati-hatian yang gamang, dalam kesenangan yang mengkhawatirkan, Amras Sakuloi menuruni tribun, lalu mendekat ke panggung. Tak ada waktu untuk kejutan berlama-lama. Kebenaran akan segera berbicara. Panjang dan lebar, seorang penulis harus mempertanggungjawabkan naskah-naskahnya. Mengantarkan kebenaran dari serangkaian fiksi yang menggemparkan. Lelaki tua itu memandang “pembicaranya” yang tersedu di tengah panggung. Brenda. Brendaku.

*


*Lauret adalah penyederhanaan dari kata laureate (Lat.) = gelar intelektual yang diakui (biasanya dengan penghargaan). Dalam seni literasi, bisa juga dikenal sebagai poet (puitis).

----------------------------

Sumber ilustrasi: Bloodly Concuer Your Fear  of Speak, motivatedonline.com.

*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun