Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Puisi

{Dear PPA} Dinar dan Beritanya

1 Maret 2015   19:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:19 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

oleh Fandi Sido (no. peserta 6)

*

Ada sebuah berita.

Bukan, banyak berita.

Mikrofon, kabel, dan kilatan lensa

Pembicara bercakap bangga,

Meng-Iya cerita menyanggah berita.

Pembicara tak pernah bertanya,

tapi di belakangnya berbaris bala.

*

Barisan bala ini,

bertumpu tangan di depan perut,

menyungging senyum berdiam kata.

Barisan bala ini,

bersaf dua bermimik sama.

Berkabar bangga karena berdiri serta.

Merasa penting sebagai remah berita

*

Pemirsa dibuat bertanya,

tak paham maksud kenampakan mereka

Bermuka datar serupa latar,

menyokong suara di dalam gambar.

*

Cih!

Di dalam kamar Dinar berdecak,

suara jijik bukannya bangga.

Untuk apa mereka di sana?

Nampang penting di dalam lensa.

*

Pembicara adalah menara,

suaranya adalah titah.

Tapi pembicara tidak perlu juru,

karena mulutnya sendiri yang bersuara.

*

Cih!

Dinar menyibir.

Wajah-wajah tak penting itu,

mengocok perutnya sampai mual,

menggelitik pikirannya sampai gatal.

*

*

“Saya bisa melakukannya sendiri.

Tidak, terima kasih.”

Dinar seorang mandiri,

Pengagum Jahanara dan Indira Gandhi.

Berjalan dan menari di atas kakinya sendiri,

menjajal dunia dengan caranya sendiri.

Ia membantah lelaki adalah pemimpin,

pesan dari masa lalu yang getir,

cerita-cerita pendahulu yang masih sumir.

*

Bukan feminis murni,

hanya penggugat ketimpangan dominasi.

Dinar dengan paham mengetahui,

celah-celah norma dan cacatnya persepsi.

Pekerjaannya jauh mendominasi.

Pendapatannya kerap membikin iri.

Dinar menolak harapan palsu,

berserapah atas kekuasaan atas sembilu.

Dunia tak lagi sama, pikirnya

di mana orang-orang berebutan norma,

berdesakan jatuh keluar logika.

*

Seperti luhurnya seorang wanita,

Dinar bisa menangis.

Sebagaimana manjanya seorang ibu,

Dinar kerap memanja.

*

Tetapi dunia yang berubah tak lagi pada porosnya,

kebodohan dan sikap naif menjerit seirama.

Maka di situlah Dinar duduk bersila,

mengumpat berita yang tiap hari sama.

*

Hai cantik, hai cantik.

Dinar menganggapnya pancingan,

Jeritan palsu dari bawah perut.

Hai pintar, hai rajin.

Dinar mencibirnya palsu,

Mengharap pamrih dengan lapar.

*

Tetapi dunia yang dirindukannya masih ada,

Banyak berubah sedikit menyisa.

Salah satunya karena kamera,

atau telepon genggam beraneka lensa.

*

Atas kecantikan Dinar meraja,

berpoles muka dengan murahnya.

Aku cantik, tentu saja.

Ucap lirih yang disembunyikannya.

Ia yakin wibawa berlutut,

di bawah kecantikan merajalela.

*

Klik. Klik. Bret. Bret.

Satu, dua, tiga foto dirinya.

Menyelip getir di balik warna,

Menyisip pilu di balik gincu.

Dengan sutra membalut rambutnya,

dengan selop mengabur tumitnya.

Pada dunia aku kentara.

Berwujud lebih daripada suara.

*

Klik. Klik. Bret. Bret.

Aku berdiri dengan makna,

tak seperti mereka di balik berita.

Aku di sini karena suara,

tak ragu jelas akan ke mana.

Aku seperti perempuan lensa,

tak pelak banyak yang mudah percaya.

*

Lalu gambar-gambar dipamerkannya,

dan komentar-komentar diraihnya.

Kebodohan dalam suara.

Kearifan dalam senyap.

Dinar tahu betul bagaimana dunia memujanya,

dan orang-orang yang kelewat polosnya.

Seperti inilah dunia sekarang.

Dikendalikan banyak perempuan lensa.

Dinar tak kuasa menghitung berapa lama,

dan berapa banyak,

dan berapa sering.

Para pembicara dibuat diam,

para pemikir dibikin karam.

Kearifan banyak tenggelam,

karena gambar-gambar dalam temaram,

pesolek-pesolek dalam diam.

*

Dinar kembali pada televisinya,

dan yang tak penting itu masih di sana.

Tersenyum dalam berita,

mengangguk  dalam dusta.

---------------

Sumber ilustrasi: chillertv.com

----------------

Baca juga puisi-puisi DEAR PPA Desa Rangkat yang lainnya (klik gambar di bawah).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun