Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Puisi

25 Januari 2011

28 Desember 2010   07:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:18 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

25 Januari 2011

Stasiun Tugu Yogyakarta, 15:35 WIB.

Sore ini langit mendung basah seperti biasanya. Hanya warna oranye keemasan tipis yang menggelayutrendah menyapu perlahan butiran-butiran air yang tersisa di atas aspal Jalan Pangeran Mangkubumi. Cahaya- cahaya remang juga nampak seperti lampu-lampu kecil dari butir air yang menggantung di ujung dedaunan taman pembatas jalan berjejer ke arah selatan mendekati taman parkir Malioboro. Keramaian akhir pekan menambah kemeriahan kota sejuta nilai budaya ini. Orang-orang dengan berbagai warna kulit dan postur tubuh lalu lalang memanjakan mata dan selera belanja mereka. Kota ini memang dianggap surga belanja bernuansa etnik oleh wisatawan. Dari arah Tugu Jogja hingga sepanjang Jalan Malioboro nuansa wisata nampak kental bercampur dengan kegiatan masyarakat lokal yang tidak jauh dari tabiat lembut Orang Jawa dan keraton. Menjadi pemotong dua jalan ramai, Mangkubumi dan Malioboro, dua lajur rel kereta yang sudah berumur puluhan tahun nampak terbaring dan dipelihara sehingga masih mengkilap. Palang-palang yang dulunya kayu jati kini berganti beton-beton kokoh yang menimbulkan suara bising ketika setiap armada baja itu lewat. Rangkaian jalur kereta api ini pulalah yang melengkapi suasana campuran modern dan klasik yang membaur dalam kegiatan bisnis, wisata, dan gaya hidup masyarakat di sekitarnya. Di sisi barat pintu palang rel inilah stasiun ternama itu berdiri. Mengalami beberapa kali renovasi, Stasiun Tugu Yogyakarta masih menjadi ikon fungsional infrastruktur transportasi darat provinsi berpenduduk lebih dari 25.000 jiwa ini. Inilah gaya hidup klasik dalam masa modern yang diakuinya. Menampung sejuta catatan pemahaman mendalam tentang sejarah hitam-putih pembentukan kehidupan, penyesuaian di masyarakat, penerimaan hal-hal baru, dan harapan tentang masa depan.

Seorang sopir taksi nampak bersaing adu strategi dengan seorang tukang becak di dekatnya untuk memperebutkan penumpang. Sang sopir taksi berteriak “Ya roda empat semua jurusan. Roda empat silakan diantar sampai tujuan. Kemana Bu? Beringharjo?” sambil menunjuk acak dan menyapa siapapun orang di situ yang dilihatnya menyerupai pelancong yang butuh tumpangan. Sang tukang becak tak mau kalah marketing. Ia pun berteriak menjajakan jasa, “Ya roda tiga… roda tiga semua jurusan murah meriah bebas emisi hanya pake keringat.” Sebagian pejalan kaki di gerbang masuk utama Stasiun Tugu itu nampak cekikian tertahan mendengar kedua pesaing bisnis transportasi itu mengeluarkan jurus ampuh mereka itu tepat di bawah tugu Kereta Tua di gerbang utama stasiun itu. Area jalan kaki penumpang kereta sudah hampir sesak mengalirkan arus pejalan kaki dalam dua arah, masuk dan keluar stasiun. Lebih jauh di dalam stasiun, barisan bangku-bangku ruang tunggu juga sudah penuh terisi. Masa liburan panjang akhir pekan ini memang menjadi alasan paling rasional setiap stasiun di kota penting menjadi ramai dan penuh sesak dengan orang-orang yang senang memanjakan dirinya dengan liburan atau kunjungan kerja tambahan. Semuanya berbaur di stasiun ini. Remaja berpasang-pasangan, satu keluarga hingga kakek dan nenek, atau orang-orang tunggal dengan kepentingan sendiri-sendiri. Belum lagi pedagang asongan yang beberapa bersemangat seperti halnya sopir taksi di pelataran parkir maupun sebagian lain yang hanya duduk terdiam merenungi nasib dan strategi bisnisnya jualan rokoknya besok-besok.

Jalur 2 nampak terisi. Kereta api Argo Mulyo baru saja tiba 10 menit yang lalu dari Pekalongan sebelum 15 menit yang akan datang meneruskan rangkaiannya ke Surabaya. Masinis dan petugas peron sibuk seperti biasanya membuat suasana begitu riuh khas berseling suara peluit dan bel pengumuman. Celetukan nada bergantian ini biasanya diikuti lirikan dan tengokan kepala ke kanan dan ke kiri yang tersandar di kursi peron. Ratusan orang berjejeran dalam duduk penantian mereka di sana. Ada yang akan segera berangkat dengan kereta yang baru saja tiba, ada yang bergelut dengan rasa sabarnya mendekap harapan bahwa kereta mereka nanti datang tepat waktu.

Seorang nenek berjalan perlahan di depan antrean tempat duduk terisi penuh di sisi gerbong jalur 2 yang sedang berhenti. Dengan setelan baju rajut dan rok mengembang disangga sepatu kulit ala Eropa nampak menarik bagi anjing kecilnya yang sedari tadi pasrah mengikuti tuntunan tali kulit terikat di lehernya. “RUDY”, begitu tertulis di bandul kalungnya. Ia mungkin tidak begitu bersemangat dengan nyonya pemiliknya ini, namun tampaknya ia sangat suka dengan mainan yang ia lihat sebagai kembang gula putih menancap di kepala majikannya itu. Anjing pudel berkaki pendek kecil itu sejak dulu senang dengan rambut keriting berwarna putih, bersusun tebal dan bergelombang melingkar. Dalam bayangan insting hewaninya, gumpalan itu adalah awan yang sempurna dan akan selalu ada untuknya. Ia kemudian berhenti dan nyaris lari, talinya tertarik kencang ke arah belakang. Majikannya kaget. Bel stasiun tiba-tiba berbunyi. Semua orang di ruang tunggu itu mengarah ke timur.

“Perhatian-perhatian. Kereta api Rajawali Inti dari arah timur tujuan Jakarta akan segera masuk di jalur 1. Harap amankan jalur 1. Diulangi. Kereta api Rajawali Inti dari arah timur tujuan Jakarta akan segera masuk di jalur 1. Harap amankan jalur dan bersiap bagi penumpang dengan tujuan Jakarta. Terima kasih.” Bel penutup berbunyi.

Kereta api berbadan kelabu mendekat di jalur 1 yang lajurnya membentang paling utara. Sekarang ada dua kereta api yang mengisi stasiun. Para penumpang berhamburan keluar dari kereta yang baru saja tiba. Orang-orang di peron pun mulai berdiri dan mempersiapkan barang-barang mereka. Suasana mulai gaduh. Dari dalam kerumunan terdengar suara-suara bercampur dan saling menyahut entah dari siapa untuk siapa. Tak terkecuali sang nenek kribo dengan anjing setianya. Ia sejenak berdiri diam di sisi kereta api di sisi utara. Dari kejauhan ia nampak seperti orangtua yang membisikkan kata-kata terakhir untuk anaknya. Anjing itu mendongak, patuh. Setelah bisikan rahasia itu, tangan keriput nenek itu melepaskan tali dari leher anjingnya dan mendesis halus. Anjing itu pun lari entah menuju kemana. Ia berlari menyusuri sisi rel dan menghilang di belokan sisi timur gedung stasiun. Ia dibiarkan pergi oleh majikannya sendiri. Tak lama kemudian, bel tanda kereta akan segera berangkat pun memecah suasana. “All aboard!” Mungkin begitu dalam istilah Maritim Inggris jika sedang memanggil semua penumpangnya naik ke kapal. Di sini, perkereta apian punya bahasanya sendiri. Satu kereta pun berangkat. Selang satu menit, kereta kedua berangkat. Dalam keadaan seperti ini peron dan stasiun harus menikmati kekosongannya untuk sementara. Para penumpang kembali mengisi kursi tunggunya masing-masing. Kebanyak dari mereka nampaknya adalah pelancong jarak jauh yang menempuh perjalanan seperti ini beberapa minggu sekali. Sebagian lainnya adalah penumpang jarak dekat, nampak dari pakaian mereka yang berhias blus dan jas kerja dilengkapi gulungan-gulungan koran dan tabloid serta sebotol kecil minuman bervitamin.

Saat suara kereta mulai samar terdengar menjauh di dua sisi berlawanan, kegaduhan justru datang dari arah luar stasiun. Jalan masuk utama! Suara sirene bersahutan dan semakin jelas terdengar, orang-orang di dalam stasiun mulai gaduh dan berdiri. Sebagian lagi tidak melakukan apa-apa selain berhenti membaca dan melirik ke arah pintu utama stasiun. Di pintu yang tergolong cukup lebar itu, masuk sambil berlari-lari kecil lima orang berseragam. Semua mengenali seragam itu berbalut rompi khas hijau terang. Lima polisi lapangan jajaran Polda DIY dalam sekejap saja sudah menjelajahi sekitar peron dengan pengamatan mata mereka yang tajam. Dua orang di atara mereka berlari-lari kecil lebih jauh ke dalam. Tangan mereka sibuk berayun di sekitar mulut menggenggam walkie talkie hitam. Seakan tidak peduli apapun selain benda atau hal lain yang dicarinya, mereka masuk ke barisan duduk para penumpang yang sedari tadi sudah riuh rendah bertanya-tanya, “Ada apa sebenarnya?”. Satu orang berseragam terakhir masuk ke dalam peron bagian tengah. Sikapnya lebih dingin, badannya tegap berbalut seragam cokelat dan jaket kulit hitam mengkilap, sama mengkilapnya dengan rambutnya yang bergelombang rapi terjepit di dalam kurungan topi ketat ber-­pad agak melengkung di bagian dahi. “YAHYA ZEN”. Tulisan sulam keemasan tercetak di dua sisi bagian bawah topinya. Cincin batu berwarna merah nampak menyatu dengan radio pemanggil yang sedari tadi setia di kepalannya, yang sesaat kemudian sudah langsung bertengger tepat di depan kumisnya yang tebal berisi.

“Negatif, Pak. Tidak ada tanda apapun.” Suara gemerisik namun terdengar jelas keluar dari lubang pelontar suara di genggaman sang Kapten.

“Diterima. Segera berkumpul di depan pos utama penjagaan. Ganti.”

Pak Yahya mengangkat sepatu kulitnya dan berjalan ke arah pos utama penjagaan stasiun di sisi timur. Belum beberapa langkah maju ia sudah dihadang oleh dua orang berseragam petugas Kereta Api. Mereka menyalami Sang Kapten.

“Kereta yang baru saja berangkat, ke arah mana tujuannya?” Tanya Kapten Yahya sambil terus berjalan ke arah pos jaga.

“Sekitar 5 menit yang lalu Pak. Ke Surabaya dan ke Jakarta.” Jawab salah satu petugas KA yang berjalan di sisinya. Mereka tidak tahu sama sekali perkara apa yang membawa Kepala Polisi Daerah DIY ke Stasiun Utama ini.

“Ulangi?” Kapten Yahya meminta kejelasan. Ia sama sekali tidak mengharapkan jawaban seperti itu.

“Dua Pak. Rajawali Inti berangkat ke Jakarta sekitar 7 menit yang lalu, Argo Mulyo melaju ke Surabaya 3 menit setelahnya. Mereka di jalur 1 dan 2 Pak.”

“Segera panggil kepala stasiun. Tolong kumpulkan semua staf di pos jaga ini 5 menit lagi. Katakan bahwa ini masalah keamanan nasional!”

“B’… baik Pak!” satu orang penjaga stasiun itu kemudian bergegas balik arah dan berlari ke arah kantor utama stasiun. Satu penjaga lainnya menemani Sang Kapten menyiapkan rapat mendadak di pos jaganya. Empat personil polisi masih terlihat berjaga-jaga di semua peron. Mereka menngendus setiap langkah, mengamati setiap bungkusan barang, serta berusaha menghapal satu per satu rupa dari ratusan penumpang di sana yang masih terheran-heran dengan kejadian ini.

Kapten Yahya mengeluarkan sebatang kretek dari sakunya kemudian menyulutnya. Ini adalah pertanda bahwa ia harus segera berpikir keras.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun