Mohon tunggu...
Afroh Fauziah
Afroh Fauziah Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa

Pemahaman

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pendidikan Dianggap Hanya Formalitas

1 Maret 2021   10:38 Diperbarui: 1 Maret 2021   10:59 2372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut wikipedia, pendidikan adalah pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui pengajaran, pelatihan, atau penelitian. Pendidikan adalah hal yang dianggap sangat penting di dunia ini guna melahirkan orang-orang berpendidikan yang dapat membangun negara maju. Lantas mengapa pendidikan bisa sampai dianggap hanya formalitas belaka? Tentu bukan kalimat bualan yang dapat disepelekan dan tak dapat dipertanggungjawabkan.

Banyak dari kalangan orang menganggap pendidikan itu adalah kebutuhan hidupnya. Tapi, apakah hal tersebut berlaku pada semua orang? Pada realitanya, tak sedikit pula orang yang acuh tak acuh mengenai pendidikan. Ada yang karena faktor dalam diri pribadi, ataupun karena faktor yang menghambat proses seseorang dalam meraih pendidikan.

Setiap orang punya alasannya masing-masing mengapa sampai tak memperoleh pendidikan. Salah satu kasus yang sudah merajalela yaitu faktor ekonomi. Banyak orang terhambat karena permasalahan tersebut. Antara pihak yang dimaksud dan pemerintah sendiri juga mempunyai jawaban masing-masing. Orang menyebut biaya sekolah mahal, peralatan dan cara menempuh pendidikan pun sulit, tapi pemerintah menjawab, sekarang sekolah digratiskan, tapi tetap saja buktinya masih banyak yang sulit mendapatkan pendidikan.

Nalurinya, semua kembali kepada niat dan dorongan kita pribadi. Rezeki bisa mengikuti, tapi niat itu tidak diberi ataupun dibeli. Banyak ditemukan pendapat orang menengah bawah yang mengatakan 'untuk makan saja susah, apalagi untuk sekolah' lalu memutuskan untuk mencari uang ketimbang mengurus pendidikan yang dianggap hanya menghabiskan uang saja, tanpa berpikir akan jadi apa kelak seseorang yang berpendidikan. Bisa saja mengubah tatanan ekonominya, bisa saja mengangkat derajat seluruh keluarganya, bisa juga memiliki ide-ide brilian demi kelangsungan hidupnya. Namanya rintangan selalu ada di setiap masalah, namanya keberanian harus diambil di setiap langkah.

Bagaimana dengan yang mampu mengayomi pendidikan tapi masih leha-leha? Kita beri contoh, semisal artis cilik atau remaja yang karirnya sedang melejit, apa orang-orang seperti itu sudah tak memerlukan pendidikan? Mari berpikir, uang tersedia, penggemar banyak, kepedulian didapatkan, kebanggaan dijunjungkan, mungkin ini terlalu frontal tapi semisal tatakrama tak dijaga atau otak tak memadai, terjari karena apa?

Kita bisa menghindari hal-hal seperti itu dengan berpendidikan bukan? Lagi pun, karir itu tak selalu diatas, roda kehidupan terus berputar, berpendidikan takkan membuat kita menyesal setelah mendapatkannya, tapi karir? Setelah dapat, antara melejit atau sirna, disanjung atau dilupakan.

Orang-orang berkarir yang berpikir sekolah dan pendidikan itu hanya formalitas kelulusan dan gelar juga karir yang lebih penting karena langsung terjun lapangan itu salah. Mengapa? Memangnya seseorang bisa meraih karir tanpa perlu 'bekal'? Tanpa attitude baik? Tanpa pemahaman yang baik? 

Tanpa mengetahui mana yang patut dilakukan atau tidak? Tentu semua itu didapat hanya oleh orang-orang berpendidikan, tak peduli lah pendidikan itu di dapat dirumah atau disekolah, pendidikan tetap pendidikan. Jikalau alasan sibuk dan waktu padat hingga tak sempat memperoleh pendidikan di sekolah jadi kendala, masih bisa memanggil guru atau les privat, masih bisa juga mengikuti aplikasi belajar lainnya dan belajar otodidak, atau bisa pula memperoleh pendidikan dari orang-orang sekitar.

Pendidikan itu tak melulu tentang sekolah dan belajar, etika dan karakter yang baik juga bentuk mengaplikasian dari pendidikan. Yang berpendapat pendidikan hanya formalitas dalam menjalani hidup dan malas memperolehnya terkadang secara tak sadar dirinya telah mendapatkannya selama ini. Tapi dengan pendapatannya itu, kemungkinan akan hancurnya pribadi berpendidikan dari orang tersebut.

Tapi, bagaimana kalau argumen itu didapat setelah seseorang merasakan proses dari pendidikan? Inilah yang justru lebih memahami keadaan dan dapat menilainya langsung.

Dilihat dari keadaan pandemi yang menyerang belahan dunia, sudah tak jarang orang-orang mengeluh hidup kesulitan yang salah satunya berdampak pada proses pendidikan. Sudah hal yang lazim banyak sekolah menerapkan sistem daring untuk pembelajaran sekolah jarak jauh. Tentu prosesnya tak lepas dari hal positif dan negatif. Disamping siswa tak perlu repot datang ke sekolah dan menjegah pandemi terus merebak, banyak siswa yang justru lebih santai karena kegiatan pendidikan yang tak terlalu terpantau. Banyak yang melakukan daring sembari makan, nonton, main, bahkan tidur, baik disengaja ataupun tidak, karena kebiasaan baru terbentuk menyesuaikan keadaan baru pula. Belum lagi alasan sinyal dan sebagiannya menjadi penghambat pembelajaran. Tugas-tugas yang diberikan juga ada yang respect ada yang tidak. Yang peduli pun belum tentu sungguh-sungguh mengerjakan, 'tanya' dan 'cari' sana sini mudah dilakukan, karena pada akhirnya berkata 'yang penting beres, mau masuk otak atau tidak urusan belakangan, yang penting lulus'. Padahal tujuan penugasan itu sendiri untuk lebih melatih kelihaian otak, bukan hanya syarat dalam pemberian nilai.

Itulah faktor-faktor yang menyebabkan dapat dianggapnya pendidikan hanya sebagai formalitas. Bukan menanam ilmu, tapi hanya melewatinya. Tapi mengapa juga siswa bisa sampai seabai itu? Kalau menguntungkan dan menganggap bermanfaat pasti dikerjakan dan memperdalam ilmu. Masih ada kah faktor lainnya? Pendidikan yang dikaitkan dengan sekolah pasti tak lepas dari sosok guru. Perhatikan juga faktor tersebut.

Proses pendidikan di sekolah masih banyak yang mementingkan aspek kognitifnya ketimbang psikomotoriknya, masih banyak guru-guru di setiap sekolah yang hanya asal mengajar saja agar terlihat formalitasnya, tanpa mengajarkan bagaimana etika-etika yang baik yang harus dilakukan, tanpa mendidik, hanya sebuah ceramah materi dan tugas atau ulangan. Bukankah para pelajar akan merasa malas, bosan, kesal sampai tak peduli. Mungkin memang tak ada yang salah dengan sikap dan etika guru tersebut, tapi kebanyakan siswa tak menyukai proses dan tugas-tugas yang diberikan, entah karena sulit, atau karena terlalu banyak. Pada akhirnya, guru atau sekolah yang menjadi tersangka bagi para murid.

Oleh sebabnya, dari pihak pendidik pun harus menumbuhkan situasi menyenangkan untuk para muridnya agar tak semakin banyaknya orang mengganggap pendidikan hanya formalitas belaka. Sebagai contoh pencegahan guru bisa melakukan :


* Proses mengajar yang beragam
Seperti tak diam menjelaskan di satu tempat, atau memakai teknis yang unik agar yang mendengarkan dan melihat tak bosan.

* Memberikan apresiasi pada murid
Tentu akan menyenangkan kalau usaha kita dihargai dan menjadi bernilai dimata orang lain, hal tersebut bisa dilakukan guru ketika murid menjawab pertanyaan atau hal positif lainnya dengan memberi hadiah atau sekadar memuji dan tepuk tangan.

* Menghidupkan suasana belajar dengan senda gurau
Sekola itu tak harus melulu belajar materi dan praktek, karena siswa lebih nyaman dengan guru yang bisa menyesuaikan diri dengan keadaan sekitar atau gampang diajak curhat dan bercanda pada situasi tertentu.

* Mengajarkan sikap yang baik sebagai orang berpendidikan
Poin ini penting karena disamping mengajar, guru juga mesti mendidik. Tapi tidak menghamiki dan mengancam murid. Tidak asal bicara 'masa depanmu akan buruk kalau kau seperti ini'.

Pada hakikatnya, murid menghormati guru, guru menghargai murid. Kalau murid telah menghormati dan patuh pada tugas-tugas guru, guru pun perlu memahami kondisi muridnya kesulitan atau tidak dan menghargai jika terjadi bentuk protesan. Memprotes bukan berarti tak mau mengerjakan, tapi saling meneliti mana yang disanggupi dan tidak, ketimbang murid hanya iya-iya saja dan keresahan dipendam karena tak mampu akhirnya stres tak terhindari dan merugikan diri sendiri. Jika semua kesalahan dijatuhkan pada murid, mestinya dicari tahu terlebih dahulu mengapa bisa sampai memberontak dan sudah malas mengurusi persoalan pendidikan hingga opini pendidikan hanya formalitas kelulusan, formalitas gelar, formalitas untuk kerja nanti dapat dihindari.

Maka dari itu, pendidikan karakter perlu dikembangkan agar bentuk-bentuk negatif dari pendidikan dapat dicegah. Sekolah alangkah baiknya mengajarkan pendidikan karakter menjadi mata pelajaran khusus di sekolah tersebut. Murid butuh arahan, mereka bisa diajarkan bagaimana cara bersifat terhadap orang tua, guru-guru ataupun lingkungan sekitar agar tak sembarang mengadu dan asal membangkang. Mesti adanya pilar karakter tentang keadilan, karena seperti yang dapat kita lihat banyak sekali ketidakadilan yang terjadi dalam sekolah. Keadilan terbentuk, sekolah tak suntuk.

Hal-hal yang menjadi penghalang pendidikan itu semua berakar dari diri sendiri. Semua tergantung niat, tergantung usaha dan doa. Dimana ada kemauan, pasti diberi kemudahan. Stop menganggap pendidikan itu hanya formalitas dan syarat menjalani kehidupan, karena kalau hanya untuk menjalani kehidupan saja, masih banyak yang bisa dilakukan. Tanamkan karakter yang membawa pada kecerdasan yang diharapkan sebagai penerus bangsa. Negara hebat itu negara yang didalamnya terdapat orang-orang berpendidikan yang hebat pula. Dan jangan lupakan bahwa pendidikan itu bukan hanya sekolah. Semoga tak semakin banyak oknum yang mengabaikan pentingnya pendidikan dan berusaha meraih bahkan sampai bisa jadi sarjana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun