Mohon tunggu...
Afriza Yohandi Putra
Afriza Yohandi Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

NIM : 43223110005 | Program Studi : Sarjana Akuntansi | Fakultas : Ekonomi dan Bisnis | Jurusan : Akuntansi | Universitas : Universitas Mercu Buana | Dosen : Prof. Dr. Apollo, M.Si., Ak.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Kemampuan memimpin diri dan upaya pencegahan korupsi, dan keteladanan mahatma gandhi

21 Desember 2024   18:33 Diperbarui: 21 Desember 2024   18:33 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input Keterangan & Sumber Gambar (Contoh: Foto Langit Malam (Sumber: Freepik/Kredit Foto))

Modul Prof apollo
Modul Prof apollo

Modul Prof apollo
Modul Prof apollo

Modul Prof apollo
Modul Prof apollo

Modul Prof apollo
Modul Prof apollo

Modul Prof apollo
Modul Prof apollo

Modul Prof apollo
Modul Prof apollo

Modul Prof apollo
Modul Prof apollo

Modul Prof apollo
Modul Prof apollo

Modul Prof apollo
Modul Prof apollo

Mahatma Gandhi, atau Mohandas Karamchand Gandhi, adalah salah satu tokoh paling inspiratif dalam sejarah dunia. Keteladanannya tercermin dari prinsip-prinsip yang ia pegang teguh sepanjang hidupnya, yang telah memberikan dampak besar pada perjuangan kemerdekaan India dan gerakan non-kekerasan di seluruh dunia. Gaya hidup Gandhi mencerminkan Kebenaran, Cinta, Puasa(laku prihatin), Anti kekerasan, Keteguhan hati dan prinsip.

Ahimsa berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti "tidak menyakiti" atau "tanpa kekerasan." Dalam konteks Gandhi, ahimsa berarti menolak segala bentuk kekerasan, baik secara fisik, verbal, maupun mental. Lebih jauh, ahimsa melibatkan komitmen untuk menghormati dan menjaga kehidupan serta martabat semua makhluk, termasuk manusia, hewan, dan alam.

Ada 5 macam pegendalian diri, yaitu :

  • Ahimsa (Non-Kekerasan)

Makna: Prinsip untuk tidak menyakiti atau melukai makhluk hidup, baik secara fisik, verbal, maupun mental.
Aplikasi:

  • Menghindari konflik melalui pendekatan damai.
  • Menjaga kehidupan makhluk hidup lain, termasuk dengan gaya hidup seperti vegetarianisme.
  • Membangun hubungan yang penuh kasih sayang dan pengertian.
  • Brahmacharya (Kendali Diri dan Kesucian Hidup)

Makna: Pengendalian diri, terutama dalam hal keinginan dan hawa nafsu, demi mencapai kesucian pikiran dan tubuh.
Aplikasi:

  • Mengendalikan keinginan duniawi untuk hidup sederhana dan bermakna.
  • Memusatkan energi pada pengembangan spiritual dan tujuan mulia.
  • Berkomitmen pada disiplin diri, termasuk dalam hubungan pribadi dan perilaku sehari-hari.
  • Satya (Kebenaran)

Makna: Menjalani kehidupan yang didasarkan pada kebenaran, kejujuran, dan integritas.
Aplikasi:

  • Berkata dan bertindak sesuai dengan fakta dan moralitas.
  • Menolak segala bentuk penipuan atau manipulasi.
  • Menggunakan kebenaran untuk membangun kepercayaan dan keadilan dalam hubungan sosial.
  • Awyawaharika (Non-Materialisme)

Makna: Penolakan terhadap materialisme atau keinginan berlebihan akan benda-benda duniawi.
Aplikasi:

  • Menghindari keserakahan dan pola hidup konsumtif.
  • Fokus pada hal-hal spiritual dan nilai-nilai moral daripada mengejar kekayaan materi.
  • Berbagi dengan sesama dan tidak terikat pada kepemilikan.
  • Asteya (Tidak Mencuri)

Makna: Tidak mengambil sesuatu yang bukan haknya, baik secara fisik maupun simbolis.
Aplikasi:

  • Menghindari segala bentuk pencurian, termasuk waktu, ide, atau hak orang lain.
  • Menumbuhkan rasa puas dengan apa yang dimiliki.
  • Menghormati hak milik orang lain dan menjaga kepercayaan.

Sad Ripu adalah enam musuh batin atau godaan yang dianggap sebagai akar dari konflik dan kekerasan, baik secara internal maupun eksternal. Keenam godaan ini meliputi:

  1. Kama (Keinginan/Nafsu):
    Dorongan untuk memuaskan hasrat yang tidak terkendali sering kali melahirkan perilaku yang merugikan orang lain.

    • Contoh konflik: Perebutan sumber daya karena dorongan untuk memiliki lebih dari yang diperlukan.
  2. Krodha (Amarah):
    Emosi yang tidak terkendali ini sering memicu kekerasan fisik maupun verbal.

    • Contoh konflik: Perselisihan yang berujung pada tindakan agresif karena emosi meluap.
  3. Lobha (Keserakahan):
    Keinginan untuk memiliki lebih dari yang dibutuhkan tanpa memedulikan dampaknya pada orang lain.

    • Contoh konflik: Penindasan atau eksploitasi demi keuntungan pribadi.
  4. Moha (Kebingungan atau Ilusi):
    Ketidakmampuan untuk membedakan antara yang benar dan yang salah menyebabkan keputusan yang salah.

    • Contoh konflik: Perpecahan keluarga karena salah persepsi atau informasi yang menyesatkan.
  5. Mada (Kemabukan/Kesombongan):
    Keangkuhan atau rasa superioritas yang memicu perilaku arogan dan tidak adil.

    • Contoh konflik: Dominasi kelompok atau individu tertentu yang memicu perlawanan.
  6. Matsarya (Iri Hati):
    Kecemburuan terhadap keberhasilan atau kepemilikan orang lain memicu persaingan tidak sehat.

    • Contoh konflik: Pertikaian dalam komunitas karena perasaan iri terhadap pencapaian seseorang.

Mengubah Diri Menjadi Agen Perubahan untuk Pencegahan Korupsi dan Pelanggaran Etik Berdasarkan Keteladanan Mahatma Gandhi

Berdasarkan pemahaman tentang keteladanan Mahatma Gandhi, kita bisa menerapkan berbagai nilai untuk menjadi agen perubahan dalam upaya mencegah korupsi dan pelanggaran etik dalam perjalanan hidup dan karir. Lima prinsip utama yang dipegang oleh Gandhi, yaitu Satya (Kebenaran), Ahimsa (Non-Kekerasan), Brahmacharya (Pengendalian Diri), Asteya (Tidak Mencuri), dan Swadeshi (Kesederhanaan), bisa dijadikan landasan dalam merubah diri kita untuk menjadi individu yang lebih berintegritas dan lebih bertanggung jawab.

1. Satya (Kebenaran): Pilar Utama Integritas dalam Pencegahan Korupsi

Satya, atau kebenaran, adalah salah satu nilai yang sangat dijunjung tinggi oleh Gandhi. Dalam konteks pencegahan korupsi dan pelanggaran etik, Satya menuntut setiap individu untuk bertindak dengan transparansi, kejujuran, dan keadilan. Tidak ada ruang untuk kebohongan, manipulasi, atau penyembunyian fakta dalam hidup seorang yang menjunjung Satya.

Praktik Satya dalam Pencegahan Korupsi dan Pelanggaran Etik:

  • Menjadi Teladan dalam Kebenaran: Sebagai agen perubahan, kita harus menjadi contoh yang baik bagi orang lain dengan selalu bertindak berdasarkan kebenaran. Ini bukan hanya soal mengatakan hal-hal yang benar, tetapi juga tentang memastikan bahwa keputusan yang kita buat dan tindakan yang kita ambil selalu berdasarkan fakta dan integritas.
  • Meningkatkan Transparansi: Dalam karir dan kehidupan profesional, transparansi adalah aspek penting untuk mencegah korupsi. Menyembunyikan informasi atau memberikan informasi yang menyesatkan untuk keuntungan pribadi adalah bentuk pelanggaran etik. Sebagai agen perubahan, kita harus berkomitmen untuk berbagi informasi dengan cara yang jelas dan jujur, tanpa ada kepentingan tersembunyi.
  • Menolak Suap dan Praktik Tidak Etis: Salah satu bentuk korupsi yang paling umum adalah suap atau gratifikasi. Satya mengajarkan kita untuk menolak segala bentuk suap dan tidak terlibat dalam praktik-praktik yang tidak etis. Kita harus berani mengatakan "tidak" terhadap hal-hal yang bisa merusak integritas kita, meskipun itu mungkin akan memengaruhi posisi atau hubungan kita dengan orang lain.
  • Keterbukaan terhadap Umpan Balik: Seseorang yang berkomitmen pada kebenaran harus siap untuk menerima umpan balik dari orang lain, bahkan jika itu menyakitkan. Dalam dunia profesional, ini berarti terbuka terhadap kritik dan siap untuk memperbaiki kesalahan yang ada. Kebenaran bukan hanya sesuatu yang kita sampaikan, tetapi juga sesuatu yang kita terima dengan rendah hati.

Satya sebagai fondasi dalam pencegahan korupsi mengharuskan kita untuk tidak hanya menghindari kebohongan tetapi juga menjaga agar segala tindakan kita selalu mendukung nilai-nilai kebenaran. Dengan demikian, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih terbuka, adil, dan bebas dari praktik korupsi yang merugikan.

2. Ahimsa (Non-Kekerasan): Menghindari Kerugian dalam Bentuk Apa Pun

Ahimsa, atau non-kekerasan, adalah prinsip yang mengajarkan kita untuk tidak menyakiti makhluk hidup dalam bentuk apa pun, baik melalui tindakan fisik, kata-kata, maupun pikiran. Ahimsa mencakup lebih dari sekadar menghindari kekerasan secara fisik. Dalam konteks pencegahan korupsi dan pelanggaran etik, Ahimsa melibatkan menghormati hak dan martabat orang lain, serta menghindari tindakan atau keputusan yang dapat merugikan orang lain.

Praktik Ahimsa dalam Pencegahan Korupsi dan Pelanggaran Etik:

  • Menghindari Kekerasan dalam Bentuk Apapun: Dalam dunia yang sering kali penuh dengan persaingan dan konflik, penting untuk menjaga agar tindakan kita tidak merugikan orang lain. Ahimsa mengajarkan kita untuk tidak membalas kemarahan dengan kemarahan atau penindasan dengan penindasan. Dalam hal korupsi, Ahimsa berarti menghindari penggunaan taktik kekerasan atau manipulasi untuk mendapatkan keuntungan.
  • Menghormati Hak dan Martabat Orang Lain: Dalam dunia bisnis, ini berarti kita harus berkomitmen untuk tidak mengeksploitasi orang lain demi keuntungan pribadi. Praktik eksploitasi dan diskriminasi adalah bentuk kekerasan yang dapat merusak integritas individu dan organisasi. Ahimsa mengajarkan kita untuk selalu bertindak dengan kasih sayang dan empati terhadap sesama.
  • Menjaga Tindakan Positif: Ahimsa juga mengajarkan kita untuk berbuat baik. Mengambil tindakan yang dapat memajukan kesejahteraan orang lain adalah cara yang efektif untuk mencegah pelanggaran etik. Dengan menumbuhkan budaya saling mendukung dan bekerja sama, kita dapat menciptakan lingkungan yang bebas dari konflik dan ketidakadilan.

Dengan berkomitmen pada Ahimsa, kita memastikan bahwa setiap keputusan yang kita ambil, baik di tingkat individu maupun organisasi, tidak akan merugikan orang lain. Praktik ini membantu menciptakan masyarakat yang lebih damai dan adil, di mana setiap individu diperlakukan dengan hormat dan kasih sayang.

3. Brahmacharya (Pengendalian Diri): Menjaga Integritas di Tengah Godaan Duniawi

Brahmacharya, yang sering diterjemahkan sebagai pengendalian diri, mengajarkan kita untuk mengelola nafsu dan keinginan duniawi demi mencapai kesucian batin. Dalam konteks pencegahan korupsi, Brahmacharya berarti mengendalikan godaan untuk mengejar keuntungan pribadi melalui cara-cara yang tidak etis.

Praktik Brahmacharya dalam Pencegahan Korupsi dan Pelanggaran Etik:

  • Menghindari Penyalahgunaan Kekuasaan: Salah satu godaan terbesar dalam dunia profesional adalah penyalahgunaan kekuasaan. Brahmacharya mengajarkan kita untuk mengendalikan ambisi dan mengejar kesuksesan dengan cara yang jujur dan bermoral. Praktik korupsi sering kali muncul dari keinginan untuk memiliki lebih banyak kekuasaan atau sumber daya. Oleh karena itu, kita harus mampu menahan diri dari godaan tersebut.
  • Menjaga Fokus pada Tujuan Mulia: Sebagai agen perubahan, kita harus fokus pada tujuan yang lebih tinggi, yaitu menciptakan perubahan yang positif bagi masyarakat. Menghindari kehidupan yang penuh dengan kemewahan dan kesenangan pribadi adalah bagian dari pengendalian diri yang perlu diterapkan dalam pencegahan korupsi. Dengan mempertahankan fokus pada nilai-nilai kemanusiaan, kita dapat menghindari tindakan yang merugikan diri sendiri dan orang lain.
  • Disiplin dalam Semua Aspek Kehidupan: Pengendalian diri bukan hanya tentang menghindari godaan materi, tetapi juga tentang menjalani hidup dengan disiplin dan tanggung jawab. Ini termasuk cara kita mengelola waktu, sumber daya, dan energi. Menggunakan segala sesuatu dengan bijak dan tidak berlebihan membantu kita menjaga keseimbangan dalam hidup dan menghindari perilaku yang merusak.

Dengan mempraktikkan Brahmacharya, kita dapat mengurangi risiko terjadinya pelanggaran etik dan korupsi dalam kehidupan pribadi maupun profesional kita. Pengendalian diri adalah kunci untuk menjaga integritas dalam menghadapi godaan dan tantangan hidup.

4. Asteya (Tidak Mencuri): Menjaga Keadilan dan Menghormati Hak Orang Lain

Asteya, atau tidak mencuri, adalah prinsip yang mengajarkan kita untuk tidak mengambil sesuatu yang bukan hak kita, baik secara fisik maupun simbolis. Dalam konteks pencegahan korupsi, Asteya mengajarkan kita untuk tidak terlibat dalam praktik pencurian, penipuan, atau penyalahgunaan sumber daya.

Praktik Asteya dalam Pencegahan Korupsi dan Pelanggaran Etik:

  • Menghargai Hak Orang Lain: Dalam dunia profesional, Asteya mengajarkan kita untuk menghormati hak orang lain, baik itu hak milik, hak intelektual, atau hak moral. Mengambil ide orang lain tanpa izin atau penghargaan adalah bentuk pencurian yang harus dihindari. Sebagai agen perubahan, kita harus berkomitmen untuk selalu memberikan kredit kepada orang yang berhak menerima penghargaan atas kerja keras mereka.
  • Menghindari Penyalahgunaan Sumber Daya: Tidak hanya menghargai hak milik pribadi, Asteya juga berarti tidak mengambil lebih dari yang kita butuhkan. Dalam dunia korporasi atau bisnis, ini bisa diterjemahkan sebagai menghindari pemborosan atau penyalahgunaan sumber daya organisasi. Menggunakan sumber daya secara efisien dan bertanggung jawab adalah cara untuk menjaga keseimbangan dan menghindari praktik yang tidak etis.
  • Keadilan dalam Berbagi: Asteya juga mengajarkan kita untuk berbagi dengan adil. Dalam banyak kasus, korupsi muncul karena ketidakadilan dalam distribusi sumber daya atau kesempatan. Dengan mengutamakan keadilan dan kesetaraan, kita bisa mengurangi ketimpangan dan menciptakan lingkungan yang lebih etis.

5. Swadeshi (Kesederhanaan): Hidup Dengan Sederhana untuk Menghindari Keserakahan

Swadeshi adalah prinsip yang mengajarkan hidup sederhana dan menghindari ketergantungan pada barang-barang luar yang tidak perlu. Dalam konteks pencegahan korupsi, Swadeshi berarti menghindari keinginan berlebihan dan hidup dengan kesederhanaan, serta mengutamakan kesejahteraan masyarakat di atas keuntungan pribadi.

Praktik Swadeshi dalam Pencegahan Korupsi dan Pelanggaran Etik:

  • Menjaga Sikap Bersyukur: Dengan menjalani kehidupan yang sederhana, kita belajar untuk bersyukur atas apa yang kita miliki dan menghindari keserakahan. Keserakahan adalah salah satu akar utama dari korupsi, dan dengan menumbuhkan rasa cukup, kita bisa menghindari perilaku yang merugikan orang lain.
  • Menghargai Nilai Lokal dan Masyarakat: Swadeshi juga berarti mengutamakan kepentingan masyarakat dan lingkungan sekitar. Ini berarti tidak mengejar keuntungan pribadi dengan mengorbankan kepentingan orang banyak. Dalam dunia bisnis atau organisasi, kita perlu mengedepankan keberlanjutan dan kontribusi positif bagi masyarakat.

Kesimpulan

Dalam perjalanan hidup dan karir kita, prinsip-prinsip yang diajarkan oleh Mahatma Gandhi dapat menjadi pedoman yang sangat berharga dalam mencegah korupsi dan pelanggaran etik. Melalui Satya (Kebenaran), Ahimsa (Non-Kekerasan), Brahmacharya (Pengendalian Diri), Asteya (Tidak Mencuri), dan Swadeshi (Kesederhanaan), kita tidak hanya dapat meningkatkan kualitas pribadi kita, tetapi juga menciptakan perubahan positif dalam masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun