Mohon tunggu...
Afrizal Ramadhan
Afrizal Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Bekerjalah pada keabadian

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kunang-kunang di Kegelapan

21 Oktober 2024   07:24 Diperbarui: 21 Oktober 2024   07:30 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Pengecut sejati adalah yang meninggalkan masalah hidupnya sebelum tuntas dalam perjalanannya".

Kalimat itu terbesit dalam kepala Bono setelah susah payah mencoba bernafas di tali yang melingkar erat pada lehernya. Sementara ia bergantung di atas, kakinya mencoba sekali lagi menapaki bangku yang ada di bawahnya kembali. Dan kemudian mencoba meraih pisau dapur yang memang sudah disiapkan di saku celananya kalau-kalau hal seperti ini akan terjadi. lalu memotong jeratan tali itu.

Bono berbaring di lantai dan menghadap ke arah sepotong kayu yang menyisakan bekas tali, ia tertawa lalu menangis kemudian berteriak keras. Menurut ia betapa lelahnya menjadi manusia itu dan betapa beratnya beban-beban yang terpanggul di bahunya ini. Apakah ini tingkat untuk menyelesaikan upacara pendewasaan? Kalau ia, bobrok sekali sistem yang ada ini.

Sekali lagi, Bono terlihat kusut, lesu, dan tentu kosong. Ia tak berani bergerak dari tempatnya berbaring karena semua hal yang dapat memicunya ada di sekitarnya. Beberapa botol, beberapa strip, semua seakan memanggil-manggil namanya. Menggodanya. Menawarkannya solusi. Tetapi ia sungguh terlalu lelah dan tak bertenaga setelah semuanya. Ia hanya termenung meratapi langit-langit kamarnya.

Setelah beberapa saat Bono berpikir, apakah ada kenangan berharga selama hidupnya ini? Ia berpikir keras mengenai hal itu. Apa tidak ada? Ada? Tidak ada? Ada? Bukannya pasti ada hal yang meski sekali membahagiakan dalam perjalanan hidupnya? Dan ia pun mencoba kembali ke masa-masa itu.

Di umur yang masih belia saat pertama kali menduduki bangku sekolah dasar itu adalah ingatan terakhir dengan waktu terindah yang ia ingat sebab betapa lembut kasih sayang orang tua terhadapnya. Mulai dari memperhatikan setiap detail kebutuhannya, ketegasan di sela-sela keteledoran atau kemalasannya, dan kehati-hatian mereka dalam mengajarinya.

Bono masih ingat wajah mereka yang bercahaya saat itu seperti benar-benar dua orang malaikat terbaik untuk menjaganya. Sebelum pertengkaran kecil mereka yang mulai terdengar setiap hari meskipun Bono belum memahami yang sebenarnya terjadi. Ia lebih banyak mencoba merengek agar diperhatikan seperti biasanya namun itu akhirnya. Dua malaikat itu saling marah dan perpisahannya membuat Bono kehilangan keduanya. Semenjak itu ia dirawat oleh kakeknya di kampung.

Kakek Bono hanyalah seorang petani di desa. Rumah kecil dengan alas lantai tanah. Tidak ada apa pun kemewahan, semua serba kesederhanaan bahkan sering kekurangan. Ia merawat Bono dengan baik sehingga masa-masa bersamanya adalah salah satu yang terbaik juga. Meskipun diselangi oleh penderitaan tetapi kakeknya itu sangat peduli terhadapnya. Bahkan sekali waktu saat yang lain bermain sepeda, kakeknya menjual kambing kesayangannya untuk membelikan Bono sepeda. Namun setelah itu kakek jatuh sakit dan harus pergi jauh.

Masa-masa indah yang dirasakan Bono tidak lebih singkat daripada prolog dalam sebuah novel. Semua itu begitu cepat berlalu.

Akhirnya setelah berpikir keras mengenai hal yang paling membahagiakan dalam hidup Bono, ia yang tadinya terbaring mulai bangkit perlahan. Bono keluar dari kamarnya yang gelap. Ia pun pergi ke luar sebentar untuk mencari udara segar sembari melihat bagaimana keadaan dunia setelah tadi berada di ambang keputusasaan. Di perjalanan itu ia melihat orang-orang lalu lalang dengan banyak sekali ekspresi. Ada yang tersenyum, ada yang datar, dan ada juga yang wajahnya terlihat dipenuhi amarah. Semakin jauh melangkah, Bono menyadari bahwa bagaimana pun keadaannya, dunia tak berubah sama sekali. Sungguh ironi kehidupan baginya.

Bono memutuskan kembali ke rumah sembari menenteng sebotol minuman beralkohol. Ia berharap mungkin setelah kehilangan kesadarannya nanti akan menjadi lebih baik. Karena dulu juga ia teringat sering meminum ini ketika pikirannya terlalu mumet atau saat mulai lelah dengan pekerjaannya. Entah ini hanya sekadar pendapat konyolnya bahwa menurutnya ketidaksadaran adalah solusi terbaik untuk menghilangkan beban-beban. Ajaibnya itu kadang terasa mujarab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun