Indonesia menganut konsep negara kesejahteraan sebagaimana termaktub dalam alinea keempat pembukaan UUD NRI 1945. Konsep tersebut sejalan dengan telos negara yang menyatakan bahwa tujuan akhir dari suatu negara adalah fadilat tertinggi bagi seluruh masyarakatnya (summum bonum). Aristoteles menggarisbawahi bahwa sumber daya dan perekonomian nasional merupakan fondasi yang harus dikelola demi mencapai summum bonum. Dengan demikian, dapat dimaknai bahwa negara memiliki tanggung jawab untuk memprakarsai dan memastikan bahwa iterasi yang sedemikian rupa dapat termanifestasi salah satunya melalui swasembada pangan.
Pada tahun 2020, pemerintah telah merencanakan program food estate di beberapa wilayah seperti Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Nusa Tenggara hingga Papua. Secara umum food estate adalah usaha budidaya tanaman dalam skala masif melalui pendekatan pertanian sebagai sistem industri berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi. Proyek ini bertujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan dengan memproduksi padi, singkong, jagung, dan komoditas strategis lainnya sesuai dengan kecocokan lahan, serta menyelaraskan dengan program pemberdayaan petani. Selain menjadi sarana penunjang ketahanan pangan, proyek food estate juga dapat dijadikan wadah kewirausahaan atau entrepreneurship yang hasil jual belinya dapat dibagi antara masyarakat maupun pemerintah. Tujuan utama dari entrepreneurship adalah untuk menggerakkan roda perekonomian dan memeroleh keuntungan melalui pemanfaatan sumber daya alam serta modal sebagai bahan produksi aktif.
Gagasan pengembangan food estate kembali mencuat pasca terselenggaranya pemilu 2024. Proyeksi tersebut dijanjikan oleh pasangan calon presiden Prabowo-Gibran yang sekarang telah terpilih secara resmi sebagai pemenang pemilu 2024. Gagasan tersebut termuat dalam misi kedua yang secara garis besar menghendaki adanya kedaulatan dan kemandirian pangan dalam berbagai sektor untuk mendukung Indonesia emas. Salah satu keunggulan dari food estate adalah adanya alih teknologi dan peralihan sistem yang lebih modern. Akan tetapi, secara implementatif proyek tersebut perlu ditinjau ulang mengingat dampaknya yang ditimbulkan, khususnya terkait aspek lingkungan, sosial, dan kesejahteraan.
Secara historis program ini bukanlah hal baru di Indonesia. Pengembangan serupa pernah dilaksanakan dalam Pengelolaan Lahan Gambut (“PLG”) 1 juta hektar di Kalimantan Tengah era Soeharto dan Merauke Integrated Food and Energy Estate (“MIFEE”), serta beberapa program food estate di Kalimantan era Susilo Bambang Yudhoyono (“SBY”). Akan tetapi, apabila mengacu pada program-program sebelumnya tampaknya belum memenuhi harapan, dikarenakan kesalahan terhadap proyeksi pengembangan, roadmap, dan analisis dampak lingkungan. Dalam merespons adanya proyek food estate nyatanya belum mampu direpresentasikan dengan baik oleh pemerintah, sehingga dampak yang ditimbulkan justru adalah kerusakan lingkungan bukan kesejahteraan. Adanya proyek food estate yang tak kunjung membuahkan hasil seperti gagalnya pertanian singkong seluas 600 hektar dan jagung seluas 17.000 hektar di Kalimantan Tengah. Alih-alih melakukan perbaikan, pemerintah justru berencana memperluasnya melalui gagasan Prabowo dan Gibran sebagai presiden dan wakil presiden terpilih. Kondisi yang demikian ini menunjukkan adanya kesenjangan antara pemerintah yang tergesa-gesa dalam pengambilan kebijakan dan masyarakat dan tidak mendapatkan akses manfaat atas proyek yang dilaksanakan.
Dalam mengeksekusi proyek food estate tentunya memerlukan kepastian hukum untuk mengharmonisasikan regulasi yang berkelindan. Formulasi hukum melalui UU food estate diperlukan untuk mewujudkan manfaat dari mega proyek tersebut agar senantiasa berkelanjutan. UU merupakan bentuk produk hukum yang tepat, karena dirumuskan bersama antara pemerintah dengan DPR sehingga memiliki kedudukan yang lebih kuat. kemudian, pemerintah juga dapat mengeluarkan PP sebagai aturan teknis mengenai pelaksanaan food estate.
Pertama, pemerintah harus memegang teguh paradigma Sustainable Forest Management (“SFM”) serta mengimplementasikan keadilan antar generasi dalam pengelolaan food estate.[4] Berdasarkan pandangan Forest Europe, SFM merupakan pengelolaan dan pemanfaatan hutan melalui cara khusus agar menjaga keanekaragaman hayati, produktivitas, regenerasi, vitalitas, serta potensi pemenuhan fungsi ekologis, ekonomis, dan sosial yang relevan tanpa merusak ekosistem lainnya. Definisi tersebut selaras dengan konsep keadilan antargenerasi Edith Brown Weiss yang terdiri dari 3 (tiga) mandat moral kepada bumi (planetary obligations), 1. Setiap generasi wajib memberikan perlindungan opsi yang mencakup perlindungan atas eksistensi keanekaragaman sumberdaya alam; 2. Perlindungan terhadap kualitas lingkungan guna menjamin kualitas lingkungan di masa depan; 3. Perlindungan terhadap akses generasi sekarang hingga mendatang terhadap sumber daya lingkungan berkelanjutan.
Kedua, pentingnya sinergitas antara pemerintah pusat hingga daerah, bahkan lokal di setiap wilayah food estate sehingga diperlukan penyelarasan visi hingga kebijakan agar manfaatnya dapat dirasakan masyarakat. Sinergitas tersebut merupakan perwujudan dari tata kelola birokrasi yang holistik dan berkesinambungan berdasarkan asas umum pemerintahan yang baik. Ketiga, diperlukan adanya optimalisasi kelembagaan untuk mengelola food estate hingga tataran teknis, maka diperlukan pembentukan Badan Otorita Pengelola Kawasan Food Estate yang membawahi setiap kawasan dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden melalui Kementerian Koordinator Bidang Pangan. Selain itu, perlu disegerakan harmonisasi pengaturan dan sinkronisasi kelembagaan terkait food estate pasca disahkannya Perpres Nomor 147 Tahun 2024 tentang Kementerian Koordinator Bidang Pangan. Kemenko Bidang Pangan memiliki peranan yang fundamental dalam penyelarasan kementerian dan badan terkait yang bertanggungjawab atas food estate.
Keempat, kolaborasi industri dengan pasar sehingga dapat mendorong kerjasama para pihak untuk memperoleh hasil food estate yang maksimal. Selain itu, segmentasi pasar yang tepat dan distribusi yang terorganisir juga diperlukan agar food estate dapat berjalan efektif dan dapat mengatasi permasalahan kebutuhan pasar dan hasil produksi dapat terserap dengan baik di pasar. Perihal manajemen aset food estate, dapat dikelola oleh koperasi tani lokal dibandingkan korporasi besar agar masyarakat dan petani lokal dapat terlibat langsung dan meningkatkan kesejahteraannya. Koperasi tani lokal merupakan salah satu implementasi konsep enterpreneurship bagi masyarakat. Dengan koperasi tani lokal masyarakat lebih mudah dan murah dalam mengakses modal dan sarana produksi guna menunjang produktivitas agar memeroleh hasil dan cuan yang maksimal. Selain itu, koperasi tani lokal juga dapat menjalin kemitraan dengan perusahaan produksi hasil tani sehingga dapat memberikan wadah kepada para petani untuk mempromosikan dan mendistribusikan hasil taninya dengan harga yang lebih tinggi guna mewujudkan kesejahteraan petani. Sebagai contoh di Swedia, kolaborasi antara koperasi tani dengan stakeholder lokal dapat memberikan dampak positif bagi koperasi tersebut. Selanjutnya, di Perancis koperasi tani masih memegang peranan penting terhadap peningkatan ekosistem pertanian dan akses teknologi pertanian yang lebih maju.
Kelima, mendorong kolaborasi antar elemen baik pemerintah, BUMN, perguruan tinggi, lembaga riset, hingga swasta, dan masyarakat. Kolaborasi tersebut merupakan opsi tepat yang dapat menutup kekurangan pelaksanaan food estate, seperti transfer teknologi, pengetesan kesuburan lahan, diversifikasi varietas tanaman, dan tenaga ahli yang memadai. Keenam, upaya reskilling terhadap masyarakat lokal untuk meningkatkan kemampuan agar memudahkan proses adaptasi ketika terlibat langsung di dalam food estate apabila terdapat alih teknologi, khususnya perihan pendidikan petani milenial. Selain itu, diperlukan juga pendidikan kewirausahaan bagi masyarakat agar lebih peka terhadap segala potensi bisnis akibat adanya proyek Food Estate. Dengan adanya pendidikan tersebut harapannya masyarakat dapat optimal dan maksimal dalam memanfaatkan proyek Food Estate dan koperasi tani lokal supaya hasil taninya dapat melimpah, lebih dikenal, dan memiliki nilai jual yang lebih tinggi. Ketujuh, penyelesaian konflik agraria dengan mengedepankan prinsip memanusiakan manusia agar menciptakan stabilitas sosial sehingga masyarakat lokal dan adat dapat terlibat aktif. Selain itu, diperlukan adanya mekanisme yang mendukung partisipasi masyarakat, khususnya mengenai hak-hak atas hutan adat maupun tanah ulayat yang terdampak food estate. Dengan demikian, konflik agraria dapat diminimalisir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H