[caption id="" align="aligncenter" width="338" caption="www.google.com"][/caption]
PEMILU KAMPUS semakin dekat, beramai-ramai para elit politik kampus berkampanye, berbagai trik kampanye dilakukan, mulai dari pamflet yang dipasang di mading jurusan, sampai baliho besar di halaman kampus. Tujuan mereka sama, yaitu berkuasa di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Ada beberapa partai yang mencalonkan calonnya untuk menduduki BEM Jurusan, BEM Fakultas, dan BEM Universitas sekaligus, namun ada pula beberapa partai politik yang cukup mencalonkan calonnya untuk mencoba menduduki satu sistem saja.
Jauh sebelum pemilu, para mahasiswa pendukung (kader partai) atau para kandidat partai mungkin biasanya bersikap biasa saat bertemu dengan mahasiswa lain. Namun saat pemilu kampus telah di ambang pintu, mendadak mereka sangat  ramah dan perhatian (karena saya mengalami sendiri, hhehe). Untuk sebagian mahasiswa yang tidak paham atas sikap tersebut mungkin akan merasakan kenyamanan dan menimbang-nimbang untuk memilih kandidat tersebut, namun untuk mahasiswa lain yang mungkin pernah dikecewakan (seperti saya juga) atau mengetahui seperti apa sistem perpolitikan tersebut, akan tidak mudah terpengaruh oleh bujuk rayu serta kegombalan mereka.
Apabila masa pemilu itu datang, berbondong-bondong para mahasiswa pendukung (kader partai) mengadakan kampanye besar-besaran demi meraih simpati mahasiswa lain. Kampanye tidak hanya dilakukan dengan berorasi, namun juga dengan tindakan-tindakan yang kurang dapat disebut sebagai tindakan mahasiswa. Seperti bergoyang-goyang di atas panggung sembari menyanyikan beberapa lagu, dan yang sangat menyakitkan, tidak sedikit mahasiswi yang ikut berpartisipasi dalam kampanye. Lingkungan kampus bernuansa islami tersebut mendadak layaknya konser dangdut dimana yang sangat menyakitkan, penyanyinya bukanlah wanita menor berpakaian seksi, namun mahasiswi berkerudung gaul. Sungguh ironi apabila kita telisik lebih jauh.
Belum lagi dampak psikologis yang diderita para kader. Mereka yang setia sampai setengah mati pada partai yang dianutnya mengalami disfungsi nilai sosial. Mereka menghindar untuk bergaul dengan mahasiswa yang menganut partai lain, dan kasus bentrok antar mahasiswa hanya karena berbedanya partai tidak jarang terjadi. Contohnya pada beberapa kelas yang saya amati, terdapat para mahasiswa menganut beberapa partai berbeda, mereka yang pada awalnya bersikap biasa satu sama lain, atau bahkan mungkin berteman baik, menjadi saling hujat, saling menjelekkan di belakang dan saling menyindir.
Mungkin ada beberapa partai politik yang lahir dari organisasi islami yang inyaAllah mengusung syariat dan nilai agama dalam partainya. Mereka berorasi tidak dengan menjual para mahasiswinya untuk sekedar menjadi bahan pajangan atau berteriak lantang di tengah kampus. Namun, tetap saja sistem mereka tidak jauh berbeda dengan partai lain serta masih saja terdapat keterpura-puraan yang menyelubungi partai politik tersebut.
Di mana keintelektualitasan mahasiswa yang selama ini diyakini masyarakat sebagai bagian terpenting pada tubuh universitas?? Sungguh pahit melihat kenyataan dimana mahasiswa kader partai berteriak-teriak dengan lantang demi nama partainya, mengusung kesejahteraan dan kemajuan kampus apabila mereka terpilih sebagai penguasa. Tak ada bedanya dengan pemilu di Indonesia, mereka selalu mengagendakan prinsip "atas nama rakyat," atau "kita bersama rakyat". Namun bisa kita lihat, adakah perubahan pada Indonesia? Di manakah pemimpin saat mereka telah berada di puncak kepemimpinan?? Masihkah mereka menyempatkan diri sejenak untuk menjadi sebelum yang mereka alami sekarang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H