Mohon tunggu...
Afriza Dwi
Afriza Dwi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiwa

Mahasiswa Universitas Negeri Malang

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Haus Kepercayaan Masyarakat: Begini Proses Kampanye dalam Era Post Truth

16 Oktober 2024   14:56 Diperbarui: 16 Oktober 2024   18:16 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi membaca berita di media online melalui telepon seluler pintar (Shutterstock).

Masyarakat Indonesia tahun ini sedang menjalani pesta demokrasi yang penuh antusias. Pada bulan Februari 2024, pemilihan calon presiden dan wakil presiden telah dilaksanakan, dan Indonesia akan kembali menggelar serangkaian pemilihan kepala daerah baik gubenur maupun bupati/wali kota pada bulan November 2024 mendatang. Kontestasi pemilu tahun ini menjadi sorotan banyak pihak karena Indonesia akan dipimpin oleh wajah - wajah baru yang diharapkan mampu meningkatkan kualitas kehidupan di Indonesia. Namun, di balik semangat demokrasi, terdapat tantangan besar terkait kepercayaan masyarakat terhadap proses politik yang saat ini sedang berlangsung.

Tim sukses dari masing- masing bakal pemimpin pun berlomba - lomba membangun citra positif dan kepercayaan masyarakat. Mereka melakukan berbagai cara untuk mendekati masyarakat, mulai dari blusukan ke tempat umum, menghadiri acara- acara masyarakat, hingga membagikan sembako dan uang, yang sudah menjadi rahasia umum dalam dunia politik Indonesia. Sayangnya, di tengah usaha keras tersebut, tidak sedikit tim sukses yang menempuh jalan yang kurang etis, terutama dalam era post truth seperti sekarang.

Apa Itu Post Truth?

Post truth sendiri adalah era di mana fakta objektif sering kali kalah dengan emosi dan keyakinan personal. Dalam konteks politik, kampanye post truth sering kali membesar-besarkan informasi yang belum tentu benar demi memperkuat narasi yang diyakini oleh kelompok tertentu. Ini menjadi sangat berbahaya, karena efek dari kampanye seperti ini sangat besar dalam mempengaruhi opini masyarakat.

Kampanye yang memanfaatkan post truth berfokus pada manipulasi emosi dan kepercayaan, alih alih mengedepankan fakta. Dalam situasi ini, hoaks (berita bohong) menjadi alat yang kerap digunakan untuk menyudutkan lawan atau memperkuat posisi calon yang didukung. Hoaks sering kali dirancang agar selaras dengan kepercayaan yang sudah dimiliki oleh masyarakat tertentu, sehingga meskipun tidak faktual, pesan tersebut diterima dengan mudah. Hoaks kemudian menyebar luas melalui media sosial dan platform online lainnya, yang sayangnya memperkuat bias dan keyakinan yang salah.

Developing Critical Media Literacy Skills - St. Peters School (stpeters.es)
Developing Critical Media Literacy Skills - St. Peters School (stpeters.es)

Dampak Buruk Kampanye Post Truth

Mulai maraknya kampanye yang berbasis post truth, masyarakat menghadapi tantangan besar guna membedakan antara informasi yang sesuai fakta dan informasi palsu. Di media sosial sendiri khusunya platform tiktok dan facebook banyak oknum yang terus-menerus memperkuat narasi tidak sesuai, sehingga mengakibatkan masyarakat semakin gampang dalam mempercayai berita yang tidak benar. Dampak dari situasi semacam ini bisa sangat merugikan, baik secara ranah sosial maupun ranah politik.

Perpecahan merupakan salah satu bahaya terbesar yang timbul akibat penyebaran informasi yang salah. Hal ini menciptakan ketegangan di antara kelompok-kelompok yang berbeda pandangan politik. Narasi yang dibangun oleh masing-masing kelompok sering kali tidak mencerdaskan, bahkan justru memicu konflik, di mana masyarakat saling mencurigai satu sama lain. Ketika masyarakat terpecah, sangat sulit untuk memulihkan kepercayaan dan membangun kembali rasa kebersamaan.

Contoh nyata yang bisa kita temui sehari hari dari dampak negatif ini adalah berbagai konflik yang terjadi selama dan pasca pemilu. Perpecahan yang tajam bisa memicu kekerasan dan permusuhan antar kelompok masyarakat, yang pada akhirnya juga akan mempengaruhi kehidupan bermasyarakat. Hal ini membutuhkan waktu yang sangat lama untuk dapat diselesaikan, dan sering kali meninggalkan luka sosial yang mendalam di tengah lingkungan masyarakat.

Bagaimana Menghadapi Era Post Truth dalam Kontesasi Pemilu yang Sedang Ramai Seperti Sekarang  ?

Lalu, kita sebagai masyarakat bagaimana bisa menghadapi era post truth ini? Salah satu solusi yang saya sering sarankan adalah dengan menerapkan prinsip "saring sebelum sharing". Masyarakat harus mempunyai pemikiran yang lebih kritis dalam menerima dan menyebarkansegala bentuk  informasi khusunya dalam bidang politik. Verifikasi fakta dengan sumber berita juga menjadi hal yang sangat penting di tengah maraknya berita palsu yang semakin meresahkan. Jangan mudah terpancing emosi dengan judul atau informasi yang bombastis tanpa memeriksa kebenarannya terlebih dahulu.

Ilustrasi membaca berita di media online melalui telepon seluler pintar (Shutterstock).
Ilustrasi membaca berita di media online melalui telepon seluler pintar (Shutterstock).

Peran media massa dan pemerintah dalam memberikan dan menyediakan informasi yang akurat juga transparan sangat penting dalam menjaga kepercayaan publi k. Media harus selalu menempatkan keakuratan dan integritas sebagai prioritas utama dalam setiap pemberitaan yang ada, sehingga masyarakat dapat mengandalkan informasi yang mereka terima. Di sisi lain, pemerintah memiliki tanggung jawab besar dalam melawan penyebaran hoaks atau berita palsu, dengan cara memberikan informasi yang faktual, mudah diakses, serta responsif terhadap isu-isu yang berkembang di masyarakat saat ini. Kolaborasi antara media dan pemerintah akan membantu menciptakan lingkungan informasi yang sehat dan terpercaya.

Kesimpulan

Era post truth merupakan tantangan besar bagi demokrasi di beberapa negara, termasuk di Indonesia. Kampanye politik yang tidak didasarkan pada fakta dan kebenaran hanya akan merusak kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi itu sendiri. Oleh karena itu, kita sebagai masyarakat harus lebih kritis dan bijak dalam menerima segala informasi. Prinsip "saring sebelum sharing" juga perlu menjadi pedoman bagi setiap individu dalam menghadapi arus informasi yang tak terbendung seperti sekarang.

Jika masyarakat, media, dan pemerintah dapat bekerja sama dalam memerangi semua hoaks dan narasi yang menyesatkan , maka kita akan mampu membangun demokrasi yang lebih sehat dan masyarakat yang lebih kuat. Pada akhirnya, kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin dan sistem politik juga kembali terbangun jika proses kampanye dilakukan dengan jujur dan sesuai fakta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun