Membaca uraian di situs Gojek, gojek.com, seakan membawa kita ke dalam suasana yang sangat "indah" dan "manis".Â
Mengutip hasil riset Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia tahun 2018, Gojek menyebutkan bahwa perusahaan aplikasi tersebut telah menyumbang sekitar US$ 3 miliar (setara Rp44,2 triliun) bagi perekonomian Indonesia pada akhir tahun 2018.
Dari jumlah tersebut, layanan Gofood menjadi penyumbang terbesar yaitu Rp 18 triliun, disusul oleh Goride Rp 16,5 triliun, Gocar Rp 8,5 triliun, dan Golife Rp 1,2 triliun.
Juga dijelaskan bahwa kualitas hidup mitra driver telah meningkat 100% sejak bergabung dengan Gojek. Mitra driver Gojek percaya bahwa dengan skema insentif dan kebijakan yang diterapkan Gojek, mereka dapat menyejahterakan keluarga mereka. Sebagian besar dari mereka mengklaim bahwa mereka sekarang dapat menyekolahkan anaknya.
Betul. Driver ojek online (ojol), baik Gojek maupun Grab, memang sangat sejahtera. Mereka bisa bawa pulang uang hingga Rp 10 juta per bulan. Mereka kewalahan memenuhi order dari calon penumpang. Pesanan terus masuk melalui ponsel mereka, padahal mereka masih membawa penumpang.
Nyaris tidak ada waktu untuk berleha-leha. Selesai menurunkan penumpang, langsung tancap gas lagi membawa penumpang baru. Dan begitulah seterusnya. Pokoknya, benar-benar nikmat menjadi driver ojol.Â
Tidak heran banyak yang melamar menjadi drover ojol. Bahkan banyak pula karyawan yang rela resign dari pekerjaannya dan memilih menjadi driver ojol, karena tergiur dengan penghasilan yang lebih besar.
Tapi itu dulu, sekitar tahun 2015---2017. Sejak saat itu sampai sekarang, penghasilan driver ojol terus menurun. Tahun lalu saja sudah banyak yang mengeluh. Mereka rata-rata hanya bisa membawa pulang uang Rp 3 juta hingga Rp 4,5 juta per bulan, setara dengan upah minimum provinsi (UMP) di DKI Jakarta.
Tidak hanya soal pendapatan yang menurun, mereka juga mengeluhkan semakin tingginya biaya pemeliharaan (service) kendaraan akibat naiknya harga suku cadang dan biaya jasa montir. Belum lagi kondisi kendaraan yang makin rewel termakan usia dan penyusutan. Risiko kecelakaan juga mengintai setiap saat. Sangat kontradiktif.
Dulu, jumlah driver ojol masih sedikit. Sementara di sisi lain, jumlah pengguna aplikasi ojol terus meningkat. Masyarakat merasa sangat terbantu dengan kehadiran ojol. Selain tarifnya yang lebih murah dari ojek pangkalan (opang), pelayanan ojol juga lebih baik. Akibatnya, terjadi ekses demand (jumlah permintaan/order lebih banyak dari penawaran/jumlah driver ojol).
Sekarang, kondisinya berbalik. Jumlah ojol begitu banyak, melebihi orderan. Akibatnya, order yang masuk jadi berkurang, yang berdampak pada berkurangnya penghasilan driver.Â