Budang itulah panggilan akrab kami untuknya. Guru adalah profesinya. Dia adalah kakak perempuan dari Ayahku. Di keluarga Ayahku, Budang adalah satu-satunya perempuan. Ayah anak ke-empat dari empat bersaudara, Budang ada diurutan ketiga. Semenjak Ibuku meninggal tahun 2000, Budang yang selalu ada untukku dan kedua saudaraku. Saat itu usiaku baru 13 tahun, dimana seorang anak membutuhkan perhatian lebih dari kedua orang tuanya, terutama dari sang Ibu. Aku yang baru duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama merasa sangat kehilangan. Ibu yang sangat kusayangi meninggalkan Aku untuk selama-lamanya. Belum sempat Aku berbuat banyak untuk beliau, membalas semua yang telah beliau berikan padaku. Sekarang hanya doa yang dapat aku panjatkan untuk beliau.
Di pernikahannya, Budang tidak dikarunia anak. Itulah mengapa beliau sangat menyayangi kami. Begitu juga kami sangat menyayangi beliau. Suatu hari saya sangat membutuhkan seperangkat komputer untuk menyelesaikan tugas akhir ku. Tanpa berpikir panjang lagi, beliau membelikannya untukku. Aku ingat sewaktu kecil, beliau lah yang mengajarkan ku membaca dan menulis serta menghafalkan perkalian. Masa kecil yang tidak biasa dimana anak-anak seusiaku bermain dengan gembiranya. Aku di bebankan hafalan perkalian, yang manfaatnya aku rasakan sampai sekarang. Setiap hari beliau selalu mengajarkan kebaikan untuk diriku dan untuk masa depanku. Beliau mengajarkan kemandirian yang tidak aku dapatkan dari Ayahku. Pergi kemana-mana Aku selalu diantar oleh Ayah. Berbeda dengan beliau, Budang selalu mengajarkan aku untuk tidak bergantung pada siapapun. Beliau selalu mengajarkan aku untuk selalu berbuat baik dan bersedakah. Beliau percaya kebaikan yang kita lakukan walaupun tidak dibalas Tuhan hari itu juga. Suatu hari pasti akan Tuhan balas walaupun kita tidak menyadarinya. Entah itu untuk kita atau kebaikan yang dibutuhkan keluarga kita.
Tiba lah saatnya, Ayah memperkenalkan calon Ibu baru kepada kami bertiga. Beliau meminta persetujuan kami untuk menikahinya. Budang yang semula tinggal bersama kami, terpaksa meninggalkan kami dibawah asuhan Ibu baru. Pada awalnya kami tidak menyetujui pernikahan itu, begitu juga dengan Budang dan nenekku. Beliau tahu calon Ibu baru ku, orangnya tidak tulus mencintai dan merawat kami. Mendekati pernikahan Ayah dan Bunda (sebutan untuk Ibu tiriku). Aku dan kedua saudaraku tidak menghadirinya, aku tinggal bersama Budang dan nenekku. Itu aksi protes kami yang pertama pada Ayah, akhirnya beliau tidak tahan dan memohon kepada Budang untuk membawa kami kembali kerumah. Dengan berat hati, Budang melepas kami pergi. Di bawah asuhan Bunda, kami di larang bertemu dengan Budang. Rasa Rindu hanya bisa aku lepaskan kepadanya lewat telepon. Walaupun jauh, beliau selalu mengirimi kami makanan dan sesuatu yang kami butuhkan. Walaupun begitu, beliau selalu mengajarkan kepada kami untuk selalu patuh kepada Bunda. Beliau juga berpesan untuk selalu mendoakan Ibu.
Sebagai Ibu pengganti, Beliau sangatlah hebat. Di hari kelulusanku beliau datang dan mengucapkan rasa bangganya kepadaku. Walaupun terkadang aku sering membantah apa yang diperintahkannya kepadaku. Budang engkau adalah Ibu pengganti terhebatku. Hari ini baru saja aku pulang dari mengantarnya ke dokter. Semoga engkau selalu diberikan kesehatan dan umur yang panjang dari sang Ilahi. Sehingga engkau bisa hadir di hari yang paling membahagiakan bagi diriku, dihari pernikahanku. Belum banyak yang bisa aku berikan untukmu, hanya doa yang dapat aku panjatkan untuk kesehatanmu dan semua impianmu yang belum bisa engkau gapai dapat terlaksana. We love u Budang.........
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H