Pemerintah telah secara resmi mengungkapkan niatnya untuk menerapkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN), menaikkannya dari yang saat ini sebesar 11% menjadi sebesar 12% dalam 1 Januari 2025 mendatang. Inisiatif kebijakan khusus ini telah menimbulkan berbagai reaksi dari publik, terutama dalam kaitannya dengan dampak pada ekonomi yang lebih luas serta daya beli individu dan rumah tangga di berbagai strata sosial ekonomi. Sementara para pendukung kebijakan ini menegaskan bahwa itu merupakan upaya penting yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara dan memfasilitasi proyek-proyek pembangunan, namun sejumlah besar para ahli ekonomi juga telah menyuarakan skeptisisme mereka terhadap kebijakan ini, terutama melihat mengenai kesiapan masyarakat umum untuk menghadapi implikasi dari kebijakan semacam itu.
Dari perspektif ekonomi, kenaikan PPN diproyeksikan memiliki dampak langsung dan tidak langsung pada struktur penetapan harga barang dan jasa yang tersedia di pasar. Dengan pengenaan tarif pajak yang lebih tinggi, masuk akal bahwa biaya yang terkait dengan kebutuhan pokok, layanan transportasi, dan banyak sektor lain dapat mengalami kenaikan yang substansif, sehingga mempengaruhi keterjangkauan kebutuhan ini. Terutama yang rentan dalam skenario ini adalah para masyarakat berpenghasilan rendah, yang mengalokasikan proporsi yang lebih signifikan dari sumber daya keuangan mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar. Selain itu, sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) juga akan menghadapi kesulitan yang cukup besar sebagai konsekuensi dari berkurangnya daya beli konsumen ditambah dengan meningkatnya biaya pengeluaran operasional. Kemudian, kebijakan ini juga berpotensi memicu tekanan inflasi, yang secara fundamental dapat merusak stabilitas dan ketahanan ekonomi nasional secara keseluruhan.
Pada tingkat sosial, keputusan untuk menaikkan pajak dengan cara ini menimbulkan risiko yang cukup besar untuk memperburuk kesenjangan ekonomi yang ada antara kelompok berpenghasilan rendah dan berpenghasilan tinggi dalam masyarakat. Bagi masyarakat yang termasuk dalam kelas menengah ke bawah, kenaikan PPN ini merupakan beban keuangan tambahan substantif yang mungkin sulit mereka jalani. Dengan tidak adanya strategi mitigasi yang menyertainya, seperti penyediaan subsidi yang ditargetkan atau program bantuan sosial yang komprehensif, kebijakan ini tentu dapat menimbulkan rasa ketidakadilan yang berkembang di antara masyarakat. Selain itu, ada kemungkinan bahwa penerapan kebijakan ini dapat menyebabkan penurunan tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah, terutama pada mereka yang menganggap kebijakan ini hanya sebagai tindakan yang memberatkan tanpa adanya manfaat nyata bagi rata-rata orang.
Mengingat dampaknya yang signifikan terhadap daya beli masyarakat, khususnya masyarakat kelas menengah ke bawah, sebaiknya pemerintah mempertimbangkan kembali kenaikan PPN menjadi 12%. Dalam perekonomian yang masih berada dalam tahap pemulihan pascapandemi, kebijakan-kebijakan tersebut berisiko memperburuk kesenjangan sosial dan memperlambat pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Sebagai alternatif, pemerintah dapat fokus pada langkah-langkah untuk meningkatkan efisiensi fiskal, seperti memotong belanja non-prioritas, menghilangkan pengurasan sumber daya publik, dan memperluas basis pajak dengan menyasar kelompok berpenghasilan tinggi yang sebelumnya kurang dapat diakses. Dengan cara ini, pendapatan negara dapat ditingkatkan tanpa membebani masyarakat yang sudah berada dalam tekanan ekonomi yang berat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H