Patrick H. O'Neil, dalam analisisnya mengenai kekerasan politik berbasis agama, mengidentifikasi tiga kondisi utama yang menjadikan agama sebagai sumber kekerasan politik: faktor-faktor institusional, ideasional, dan individual. Meskipun pemikiran ini memberikan kerangka yang komprehensif untuk memahami fenomena kompleks ini, terdapat beberapa aspek yang patut dikritisi. Artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi kelemahan dan batasan dalam pendekatan O'Neil serta menawarkan perspektif alternatif untuk analisis yang lebih mendalam.
- Faktor-Faktor Institusional
O'Neil mengemukakan bahwa struktur dan kebijakan institusi dapat memainkan peran penting dalam memicu kekerasan politik berbasis agama. Ia berargumen bahwa negara yang gagal dalam menyediakan mekanisme resolusi konflik yang efektif atau yang meminggirkan kelompok agama tertentu cenderung lebih rentan terhadap kekerasan. Seperti konflik di Suriah yang menunjukkan bagaimana kegagalan institusional dan marginalisasi kelompok-kelompok tertentu dapat memicu kekerasan. Pemerintahan Assad yang represif terhadap kelompok Sunni telah menyebabkan radikalisasi dan kebangkitan kelompok ekstremis seperti ISIS. Namun, kritik utama terhadap pandangan ini adalah bahwa O'neil cenderung mengabaikan kompleksitas lokal dan dinamika internal komunitas agama itu sendiri. Tidak semua institusi yang lemah atau eksklusif otomatis menghasilkan kekerasan, dan sebaliknya, beberapa negara dengan institusi kuat juga mengalami kekerasan berbasis agama. Misalnya, India, meskipun memiliki institusi demokratis yang kuat, tetap menghadapi kekerasan berbasis agama yang signifikan antara kelompok Hindu dan Muslim .
- Faktor-Faktor Ideasional
Faktor-faktor ideasional merujuk pada peran ideologi dan doktrin agama dalam mendorong kekerasan. O'Neil menekankan bahwa interpretasi ekstremis dari ajaran agama dapat memotivasi tindakan kekerasan politik. Contohnya, seperti Al-Qaeda dan ISIS, yang mana kedua kelompok ini menggunakan interpretasi ekstremis dari ajaran Islam untuk memobilisasi pengikut dan melakukan tindakan kekerasan di berbagai belahan dunia. Serangan 9/11 dan kekejaman ISIS di Irak dan Suriah adalah contoh nyata bagaimana ideologi ekstremis dapat memicu kekerasan. Meskipun argumen ini valid, namun O'neil tidak mempertimbangkan bagaimana ideologi ekstremis berkembang dan menyebar dalam konteks sosial yang lebih luas. Peran media sosial dan propaganda modern dalam menyebarkan ideologi ekstremis sering kali diabaikan. Propaganda ISIS yang tersebar luas di media sosial berhasil merekrut anggota dari berbagai belahan dunia, menunjukkan bahwa faktor teknologi modern memainkan peran penting dalam penyebaran ideologi ekstremis . Selain itu, pandangan ini dapat berujung pada generalisasi yang tidak adil terhadap agama tertentu, mengabaikan bahwa mayoritas penganut agama tersebut mungkin menolak kekerasan. Misalnya, mayoritas Muslim menentang kekerasan yang dilakukan atas nama Islam dan mengutuk aksi terorisme .
- Faktor-Faktor Individual
O'Neil juga menggarisbawahi bahwa faktor-faktor individual, seperti karisma pemimpin agama atau kondisi psikologis individu, dapat memicu kekerasan politik berbasis agama. Seperti yang dilakukan oleh Osama bin Laden, yang mana sebagai pemimpin karismatik, bin Laden berhasil menginspirasi banyak individu untuk bergabung dengan Al-Qaeda dan melakukan tindakan kekerasan atas nama agama. Pengaruh karismatik bin Laden sangat kuat dalam merekrut dan memotivasi teroris untuk melakukan serangan 9/11. Kritik terhadap pendekatan ini adalah bahwa O'neil terlalu berfokus pada individu dan mengabaikan faktor struktural dan kolektif yang lebih luas. Misalnya, pemimpin karismatik tidak beroperasi dalam kekosongan, mereka mendapatkan pengaruh dan kekuatan mereka melalui konteks sosial, ekonomi, dan politik yang mendukung. Selain itu, faktor psikologis individu tidak cukup untuk menjelaskan fenomena kekerasan yang sering kali melibatkan partisipasi massa dan dukungan kolektif.
Dengan demikian, meskipun Patrick H. O'Neil memberikan kerangka yang berharga untuk memahami kekerasan politik berbasis agama, pandangannya masih memiliki kelemahan. Kritik terhadap pendekatan O'Neil menunjukkan perlunya analisis yang lebih komprehensif dan kontekstual yang mempertimbangkan berbagai faktor sosial, budaya, dan teknologi modern. Dengan memahami kekerasan politik berbasis agama melalui lensa yang lebih luas, kita dapat mengembangkan strategi yang lebih efektif untuk mencegah dan mengatasi kekerasan tersebut di masa depan.