Dalam kebencian, cinta tak hilang. Salah satu judul opini yang dimuat dalam rubrik Opini harian Kompas edisi 29 November ini berhasil menarik perhatian saya. Membaca judulnya, saya mencoba memahami maksud kalimat tersebut (tanpa membaca isi opini yang diungkapkan oleh penulis).
Sudah barang tentu, dengan usia saya yang tergolong masih muda, arah pemahaman kalimat “dalam kebencian, cinta tak hilang” akan mengarah pada romansa kisah percintaan (pacaran) seorang lelaki dengan wanita pujaannya. Apa yang saya pahami dari judul opini tersebut adalah situasi gagal move on dari mantan kekasih merupakan momen dimana cinta yang Anda rasakan tetap ada (tidak hilang) walaupun biasanya kebencian sudah mulai tumbuh dalam diri Anda (secara sengaja ataupun tidak).
Berbicara mengenai cinta dan benci memang tidak sesempit berbicara soal urusan perasaan yang mengikat (ataupun pernah meningkatkan) sebuah pasangan. Dengan latar belakang saya sebagai seorang penggemar sepak bola, saya mencoba untuk mengamati fenomena cinta dan benci ini dalam konteks sepak bola.
Menjadi seorang fans dari sebuah tim sepak bola berarti menjebloskan diri dalam lautan cinta. Ketika seseorang memutuskan untuk menjadi suporter atau fans dari sebuah tim, tanpa disadari ia sudah mulai menumbuhkan benih-benih cinta terhadap tim yang menarik baginya. Kecintaan itu lama-kelamaan akan terus tumbuh seiring dengan perjalanannya mengikuti perkembangan tim yang ia sukai. Bila pengorbanan disepakati sebagai indikasi dari adanya rasa cinta, suporter-suporter sepak bola di dunia telah mengorbankan berbagai banyak hal dalam dirinya, khususnya bagi mereka - mereka yang dijuluki sebagai fans garis keras.
Lalu bagaimana dengan kebencian? Saya kira dunia sepakbola tidak lepas dari jangkitan kebencian, walaupun tidak seluruhnya mereka-mereka yang saya sebut sebagai insan persepakbolaan (pemain, pelatih dan staf kepelatihan, official klub, fans atau suporter dan orang-orang lain yang terlibat dengan olah raga sepak bola) pernah merasakan kebencian selama menyelami dunia persepakbolaan. Bila ingin melihat bukti dari adanya kebencian, tengoklah fanatisme berlebihan dari suporter tim yang berujung dengan tindak kekerasan. Entah karena rivalitas tim ataupun karena luka lama yang sempat digoreskan tim lawan pada tim kesayangannya, kebencian mampu menggerakan suporter berbuat anarkis dan brutal.
Perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat membuat nuansa kebencian dalam dunia sepak bola semakin muncul ke permukaan. Ejek-mengejek dan caci-memaki semakin banyak dilontarkan oleh insan sepak bola, khususnya dari kalangan fans. Dari berbagai macam media sosial, cuitan atau posting-an negatif tidak sulit ditemukan. Pelampiasan kebencian suporter sepak bola semakin memperkeruh wajah media sosial --di mana cuitan berbau kebencian di luar topik sepak bola sudah lebih dulu ada dan tidak kalah derasnya.
Namun, dalam beberapa hari terakhir kita patut bersyukur atas apa yang terjadi di dunia media sosial. Sebuah tragedi memilukan menjadi pemicu mengalirnya ungkapan cinta dari insan persepakbolaan di tengah derasnya arus kebencian di sosial media. Tragedi tersebut adalah jatuhnya pesawat yang ditumpangi oleh tim asal Brazil, Chapecoense. Peristiwa ini menjadi tragedi memilukan lainnya yang pernah terjadi di dunia sepak bola, dimana tragedi serupa pernah menimpa Manchester United pada tahun 1958.
Tragedi ini menyisakan kesedihan yang mendalam. Harapan bagi fans untuk melihat Chapecoense berjaya, khususnya di laga final Copa Sudamericana pupus sudah. Selain itu, selepas tragedi ini Chapecoense akan mengalami masa-masa sulit karena hampir seluruh pemain dalam pesawat itu meninggal dunia sehingga mereka perlu kembali membangun tim untuk meraih kesuksesan.
Di tengah suasana duka ini, beragam aksi solidaritas diberikan untuk mengungkap rasa cinta sebagai sesama manusia. Klub-klub sepak bola, pemain, mantan pemain, suporter dan juga orang-orang dari luar dunia sepak bola memberikan ungkapan belasungkawa melalui laman media sosial miliknya.
Tengok saja bagaimana klub-klub Eropa seperti Manchester United, Chelsea, Real Madrid dan masih banyak klub lainnya dengan kompak menyampaikan ucapan turut berduka cita untuk Chapecoense. Beberapa tim juga melakukan minute of silence dalam sesi latihan mereka untuk mendoakan pemain-pemain yang menjadi korban dari tragedi ini -- di mana tentu saja minute of silence juga dilakukan menjelang pertandingan.
Tim-tim Brazil pun tak mau kalah. Dengak kompaknya, tim-tim yang berlaga di serie A Brazil mengganti profil picture mereka dengan logo Chapecoense. Menurut informasi yang beredar, beberapa tim menyatakan siap meminjamkan pemain mereka dan juga meminta kepada Federasi sepak bola Brazil agar Chapecoense diberikan ‘keistimewaan’ supaya tidak terdegradasi dalam 3 musim ke depan, di mana waktu-waktu tersebut adalah waktu untuk Chapecoense untuk membangun kembali timnya. Sementara itu Federasi sepak bola Brazil memutuskan untuk menghentikan segala kegiatan sepak bola sementara waktu sebagai bentuk berkabungnya Brazil.