Menuju Kabupaten Dharmasraya dari Sumpur Kudus, Sijunjung, Sumatra Barat, pada suatu pagi Jumat di penghujung Januari kemarin, saya dan seorang teman mengambil rute Durian Gadang. Jalan ini sebenarnya sudah lama dirintis, namun - seperti umumnya proyek-proyek pengerjaan infrastruktur di negeri ini - baru kembali 'diperhatikan' setelah beberapa lama sempat merana dalam kubangan lacah, timbunan longsor, dan pelukan semak.
Kondisi jalan sudah mulai 'dikeraskan' di beberapa bagian, meski tetap saja kami harus berjuang melewati sejumlah titik yang masih dalam kondisi 'semula jadi'. Dibandingkan dengan jalur 'biasa' via Kumanis, jarak yang dipangkas jika melewati rute Durian Gadang sangatlah signifikan. Terlebih tujuan kami adalah kabupaten hasil pemekaran Sijunjung yang secara geografis terletak di arah 'hilir'.
Melewati Pinang, kami terus ke hilir hingga Durian Gadang. Di persimpangan setelah pasar Durian Gadang, kami lalu berbelok ke kiri menuju arah Paru dan Sungai Botuang. Di kanan kami adalah sungai Batang Kuantan, yang airnya seperti tak ingin berubah dari kuning-kecoklatan. Entah karena campuran lumpur akibat galian tambang di sekujur tubuh sungai, atau entah memang karena kandungan emas yang tersembunyi di dasarnya.
Beberapa alat berat tampak mulai bekerja, menggali tanah dan lumpur hingga jauh ke tempat biji-biji emas mengendap. Para pekerja galian tambang sesekali membasuh tubuh dengan guyuran air kuning-kecoklatan.
Kubangan bekas galian di bagian tengah, pinggir, dan bantaran sungai tampak seperti kain lusuh yang disobek serampangan. Pemandangan seperti ini tentu saja tidak hanya di satu kawasan saja. Agak ke hilir, sebelum mencapai jembatan besi tua yang kami tak tahu namanya, sebuah alat berat tampak hampir tenggelam dalam kubangan lumpur. Seolah mantan yang terabaikan...duh!
Tambang emas ilegal yang berdampak pada rusaknya ekosistem sungai dan lingkungan adalah salah satu isu yang terus timbul-tenggelam dalam perbincangan mengenai Sijunjung, kabupaten induk yang telah 'melahirkan' dua orang anak yang ternyata lebih sejahtera: Kota Sawahlunto dan Kabupaten Dharmasraya.
Selain di daerah Pinang dan Durian Gadang, masih banyak titik penambangan emas di Kabupaten Sijunjung yang berujung pada pengrusakan ekosistem, seperti di Kecamatan Koto VII dan daerah Palangki. Bantaran sungai yang dikeruk dan kubangan lumpur yang menganga bahkan terlihat dengan jelas dari jalan-jalan utama yang melewati Sijunjung. Namun sejauh ini upaya pencegahan dan perbaikan, kalau ada, sepertinya belum memperlihatkan hasil yang menggembirakan.
Pada Mei 2017, jalan utama yang menghubungkan Durian Gadang dengan pusat pemerintahan di Muaro Sijunjung ambles, yang membuat daerah tersebut terisolir untuk beberapa lama. Penyebabnya tak lain adalah karena aktifitas galian tambang yang telah menggerogoti bagian bawah jalan sejak lama.
Di samping itu, pemanfaatan hutan di kawasan Lisun (yang berbatasan langsung dengan Provinsi Riau) untuk kepentingan komersil pun layak menjadi topik untuk diperbincangkan dan dicarikan jalan keluarnya. Kayu-kayu yang ada di kawasan hutan yang berbatasan langsung dengan Kuantan Singingi, Riau tersebut kini ditebang untuk tujuan komersil oleh sebuah perusahaan pengolahan kayu di bawah izin Pemda.
Menyongsong usianya yang ke-69 tahun depan, Sijunjung masih mempunyai banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Kualitas pendidikan, pelayanan kesehatan, dan infrastruktur penunjang perekonomian berjalinberkelindan dengan isu mengenai keluarga prasejahtera, pengangguran, serta layanan publik yang masih jauh dari harapan.
Pemerintah daerah pernah mencanangkan program penanaman singkong untuk wilayah Sijunjung, namun tindak lanjut dari program tersebut tidak terlalu jelas. Singkong yang ditanam penduduk memang ada yang diolah menjadi makanan ringan kemasan, namun pemasarannya pun masih menjadi isu besar.