Mohon tunggu...
afri meldam
afri meldam Mohon Tunggu... Freelancer - penyuka jengkol, ikan segar, dan rempah

Lahir di sebuah desa kecil di pedalaman Sumatra. Menghabiskan masa kanak-kanak dengan mandi di sungai dan bermain lumpur di sawah. Mempunyai ikatan dengan ikan-ikan. Kini tinggal di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Belajar Berbudaya di Jalanan Singapura

9 November 2017   15:31 Diperbarui: 9 November 2017   17:53 732
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gedung-gedung pencakar langit di kawasan CBD Singapura

Tertib di jalan raya konon katanya adalah salah satu ciri masyarakat berbudaya. Dan Anda tentu sadar belaka bahwa kita belum bisa dikatakan "berbudaya" ketika membicarakan etika di jalan raya ini. Lampu merah diserobot; hak pejalan kaki dilanggar; salip kiri-kanan; kendaraan melaju dengan kecepatan yang aduhai pongah sekali. Dan Anda tentu juga tahu (baik yang menyaksikan secara langsung atau pernah mendengar dari teman atau menonton di TV) bahwa negara jiran yang mungil namun menggiurkan bernama Singapura itu sangatlah tertib dalam berlalulintas. Alhasil di negeri mendiang Lee Kuan Yew itu tak akan Anda jumpai kemacetan sedikit pun.

Di jalan-jalan protokol seperti Nicoll Highway,Victoria Street atau yang paling mainstream Orchard Road sekalipun,mata Anda yang terbiasa dengan kemacetan Jakarta atau kota-kota lain di Indonesia akan merasa adem melihat betapa tertibnya penduduk Negeri Singa di jalan raya. Hak pejalan kaki pun sangat dihormati. Gambaran ini tentu harus kita akui sangat jauh berbeda dengan kota-kota di Indonesia. Apalagi baru-baru ini Jakarta 'dinobatkan' sebagai kota yang "Tidak Ramah Pejalan Kaki". 

Selain pedestriannya yang sungguh beradab,Singapura agaknya memang didesain menyerupai negara-negara di Benua Biru sana. Tentu saja negara bekas koloni Inggris ini mendapat banyak "pelajaran" dari Ratu Elizabeth tentang bagaimana seharusnya sebuah kota tumbuh dalam sebuah peradaban.

Anda tak perlu merasa waswas apalagi minder berjalan kaki di Singapura. Seperti yang saya singgung sebelumnya,negara kota ini memang sangat menghormari hak-hak para pejalan kaki. Di setiap titik penyebrangan tersedia tombol yang bisa Anda pencet untuk memberikan sinyal agar kendaraan berhenti mempersilahkan pejalan kaki menyebrang. Begitu lampu menyala,kita para pejalan kaki bisa melenggang santai di tengah jalan raya Singapura (bahkan pernah terpikir untuk berfoto di tengah "lebuh besar" itu haha). Ya,sama seperti di depan Musuem Nasional Jakarta. Bedanya,di Jakarta tetap saja rasa waswas itu selalu ada setiap kali menyebrang. Entah kenapa.

Suatu kali,saya dan beberapa teman sedang jalan-jalan di kawasan Marina Bay Singapura. Dari hotel kami naik bus umum yang menuju Suntec Convention Center. Setelah mencuci mata dan kantong di pusat perbelanjaan di kawasan Suntec (saya tentu saja hanya menemani mereka-mereka yang berbelanja haha),kami memutuskan untuk menikmati malam hari di spot paling ndeso di Singapura: Merlion park.

Keluar dari Suntec di senja itu,kami mendapati jalan Nicoll Highway di depan (atau belakang) Suntec ramai oleh kendaraan berlalu lalang. Sebagai pengunjung yang berbudaya,kami pun berniat mencari zebra cross terdekat. Namun aduhai kami baru sadar ternyata tempat penyebrangan yang paling dekat sekalipun mengharuskan kami untuk berjalan kaki agak memutar. Kaki-kaki letih sehabis cucimata di mall pun mengeluh. Capek. Alhasil kami mencari jalur alternatif.

Onde mandeh! Tepat ketika kami "merenung" di depan Nicoll Highway,tiba-tiba kami melihat seseorang menyeberangi jalan di depan kami -yang sama sekali tak ada zebra cross-nya. Kami terperangah. Lalu seperti yang mungkin Anda duga,kami pun mendapatkan ide. Hati kami terilhami untuk melakukan hal "tauladan" itu. Dan kami berhasil menyebrangi jalan Nicoll Highway tanpa harus memutar mencari tempat penyebrangan. Haha.

Tiba-tiba,entah kenapa,salah seorang teman berujar begini: "Eh,kayanya yang nyebrang tadi itu bukan orang Singapur deh. Jangan-jangan dia sama kaya kita. Orang Indonesia juga."

Kami tertawa. Dan hari itu kami gagal belajar menjadi warga kota yang berbudaya di Singapura.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun