Perjalanan ke Banda Neira dengan kapal laut dari Ambon biasanya ditempuh dalam waktu 6-8 jam,tergantung cuaca,arus dan gelombang. Beruntung siang itu langit bersih,laut teduh dan angin pun berkesiur tenang.
Sebagai orang gunung,perjalanan laut bagi saya merupakan sebuah pengalaman yang menakjubkan. Memang ini bukan perjalanan pertama saya dengan kapal laut,namun tetap saja saya tak bisa menahan diri untuk tidak celingukan kiri-kanan-depan-belakang. Takut ada yang bakal terlewatkan.
Pada satu jam pertama perjalanan,pulau-pulau di Maluku masih terlihat. Sinyal ponsel pun masih sangat kuat. Bahkan saya masih sempat mengambil foto lalu menguploadnya langsung di media sosial (anak zaman banget haha). Penumpang juga terlihat sibuk dengan gadget masing-masing.
Begitu kapal meninggalkan perairan Seram menuju Banda,sinyal pun hilang. Pemandangan di sekeliling hanyalah laut dan laut. Seolah tak bertepi. Saya mencoba membunuh rasa bosan dengan membaca buku,namun tak sampai 5 halaman, kantuk pun menyerang. Alhasil saya pun tertidur.
Begitu bangun,pemandangan masih monoton: laut yang terhampar begitu luas (padahal kalau di peta Indonesia di ruang kelas SMP dulu perairan kelihatannya kecil banget hehe). Namun,tak beberapa lama kemudian dari riak air muncul satu dua ekor ikan terbang. Lalu disusul oleh segerombolan yang lain. Mereka ternyata benar-benar terbang. Tak hanya meloncat beberapa meter,namun mengepakkan sayap (sirip) hingga puluhan meter. Seru sekali menyaksikan ikan-ikan terbang itu dengan mata kepala sendiri.
Beberapa turis asing tampak antusias menyaksikan pemandangan tersebut. Beberapa bahkan telah siap 'mengintai' dengan posisi kamera menghadap ke laut.
Keseruan menyaksikan ikan terbang kemudian disusul dengan sekawanan lumba-lumba yang berenang beberapa meter dari kapal. Saya langsung teringat adegan di film besutan sutradara Ang Lee,Life of Pi,ketika Pi Patel terkatung-katung di samudara luas bersama Richard Parker si harimau bengala.
Perjalanan yang cukup lama membuat para penumpang membuka obrolan dengan penumpang lain. Saya kebetulan duduk di depan seorang bule dari Inggris yang ternyata adalah anggota sebuah komunitas menyelam (diving).
Edward, si bule ini, adalah seorang guru Kimia di Hongkong. Ia bercerita, sudah 17 tahun ia memimpikan untuk bisa berkunjung ke Banda Naira. Di bagian 'Banda Naira' di buku Lonely Planet yang dihadiakan oleh istrinya pada Natal 2003, ia telah menandai beberapa bagian di kepulauan Banda Naira yang ingin ia kunjungi.
Kami pun kemudian sepakat untuk mendaki gunung Banda Api bersama pada hari ketiga di Banda Neira. (Meski hal ini tak jadi terlaksana).
Obrolan terus berlanjut ke berbagai hal,mulai dari topik remeh-temeh hingga perbincangan serius tentang agama. Hingga di ujung garis laut mulai terlihat gunung Banda Api yang menjulang dengan gagah.