Entah sampai kapan, nalar dan naluriku akan bertahan dalam tarung. Pun kita, yang entah harus bertahan hingga kapan dalam hipokritnya sikap yang terambil.Â
Bukan untuk mengelak, namun untuk menyelamatkan diri dari keadaan yang menolak. Sebenarnya, bukan hal yang aneh jika memang keadaan tidak berpihak pada keputusan kita.Â
Kembalinya tanganmu yang erat menggenggamku pun bukan hal yang sepenuhnya salah, walau keliru. Ini konsekuensi yang harus kita terima, kan? Berjalan dalam senyap dan bertingkah bak dua orang asing yang sesungguhnya saling memeluk dalam sunyi.
***
Hari ini adalah hari ke-sekian aku terdiam di balkon. Memandang langit dan mencoba untuk menemukan jawaban dari segala tanya yang diawali kata "bagaimana?"
Iya, aku menerka chaos-nya kondisi jika suatu saat dia tahu kita kembali. Memang dalam situasi ini, aku dan dia tidak saling terikat.Â
Namun, secara tersirat pun kamu paham, kan? Dia berusaha membatasi kita agar tidak bersua. Dia tidak jahat, dia adalah lelaki baik yang aku hargai.Â
Mungkin jika dia tidak ada, aku pun tidak akan bertahan tegar hingga detik ini. Dia yang membersamaiku di titik terendah akibatmu. Terima atau tidak, faktanya memang demikian.Â
Dia memang karibmu, tapi dia juga yang menopangku. Jadi, jika sekarang kamu memohon agar aku memilih satu di antara kalian, aku tidak bisa.
***
Tuan, jika boleh aku bertutur jujur, apa yang aku hadapi saat ini ibarat sebuah pertukaran posisi. Kamu dan dia seperti bertukar tempat walau kondisinya berbeda.Â