Tidak ada yang lebih konyol dari kita yang bertahan untuk menyantap nasi goreng ini hingga habis, padahal selera makan kita sudah sama-sama lenyap. Kita berdua sadar, ada kecamuk amarah yang sedang menguasaiku dan was-was yang membelenggumu. Kita terjebak lagi dalam ketidakjelasan, tepat di saat aku menjatuhkan kagum pada karibmu sendiri.
Iya, ini terbaca begitu lucu. Karibmu yang menyelamatkanku dari sendu akibat tikai yang kita rangkai di tahun lalu. Perlahan namun pasti, dia berhasil menguatkanku untuk tegak berdiri. Dia mampu menenangkanku dengan caranya sendiri, dan dia juga yang membuatku percaya bahwa semua baik-baik saja. Dia adalah candu yang kini aku rindu.
**
Tuan, kau tak perlu takut. Aku paham was-wasmu itu hasil dari ketidaktuntasan. Dan, aku yakin, kau pun paham bahwa amarahku tertahan ketidaktegasan.
Kau belum berani tuntas secara penuh, sedangkan aku belum sanggup tegas secara utuh. Ini brengsek, Tuan. Ini jahat. Tapi, apa boleh buat? Kau dan aku sama-sama enggan membebaskan diri dari semunya alur yang kita pilih.
Kita berdua egois. Kita tidak berani memilih satu, kita sama-sama bertahan di posisi yang tidak layak dipertahankan. Aku yang jelas-jelas tidak berikatan dengan karibmu, merasa kini sedang mengkhianatinya. Kau pun begitu, kan? Kau yang sudah tidak ada ikatan pun dengan masa lalumu juga masih merasa was-was, tepat ketika kita tengah berdua seperti ini.
Jujur, terkadang aku ingin melumpuhkan logikaku sendiri dengan patuh pada naluri yang meneriakkan kekeliruan. Tapi, bagaimana bisa aku melumpuhkannya jika nalarku pun menggemingkan tuntunan jalan yang membahagiakan. Walau, bahagia dalam jalan itu hanyalah semu yang samar.
Lucu sekali, kan?
Sudahlah, cukup. Mari merayakan kelucuan ini dengan tawa kecut! Mari kita bersulang untuk alur baru yang absurd!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H