Saya bukan ahli di bidang bahasa, hanya kebetulan berkuliah di jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Jadi, bisa dibilang, saya memang belum pantas disebut ahli karena masih belajar. Belum tahu nanti setelah saya menyelesaikan pendidikan, apakah sebutan ahli lantas cocok untuk disematkan dalam diri saya? Atau, saya akan terus-terusan nyaman di fase belajar untuk bertumbuh? Entah, yang pasti, saya menulis ini tanpa tendensi menggurui. Saya hanya ingin mengajak orang-orang yang kebetulan membaca tulisan ini turut berpikir sejenak.
Oh iya, sebelum ada penghakiman yang membabibuta, saya mohon dengan kerendahan hati bagi seluruh pihak untuk berkenan mengoreksi isi tulisan ini jika dirasa ada yang kurang pas. Baik dari segi tata bahasa maupun tata tulis. Tentu saja, permohonan ini saya dasari dengan kesadaran diri bahwa saya juga manusia biasa yang tak luput dari dosa typo maupun keterbatasan diksi. Jadi, mohon koreksi, jangan dicaci!
Maklum, mental saya belum sekuat para pesohor yang tahan banting saat dinyinyiri warganet, hehe.
Nah, langsung saja!
Sesuai dengan judul, sebenarnya permasalahan keminggris ini memang sering mengusik pikiran saya. Bukan berarti saya tidak menyukai orang-orang yang lebih memilih untuk berkomunikasi lancar dengan bahasa Inggris. Saya justru bangga jika orang-orang di sekitar saya pandai bercakap dengan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris. Pasalnya, hal tersebut dapat dijadikan validasi atas keberhasilan masyarakat dalam menerapkan Tri Gatra Bangun Bahasa.
Yak, Tri Gatra Bangun Bahasa dapat dimaknai sebagai sebuah semboyan pemantik semangat sekaligus pengingat agar kita berani mengutamakan bahasa Indonesia, melestarikan bahasa daerah dan menguasai bahasa asing. Kenapa bahasa Indonesia ada di urutan pertama, sedangkan penguasaan bahasa asing ada di akhir? Padahal, jika direlevansikan dengan tuntutan pergaulan global, harusnya kita lebih mengutamakan bahasa asing agar lebih mudah menjalin komunikasi dengan bangsa luar.
Eitttsss, benar sekali!
Secara logika, jika memang kita ingin memperluas relasi global dan mempermudah proses komunikasi dengan bangsa luar, harusnya bahasa asing adalah bahasa yang diutamakan. Namun, pernahkah kalian sejenak merenungi, bagaimana jika bahasa Indonesia tidak lagi diindahkan eksistensinya? Parahnya lagi, eksistensi dari aturan yang melekat pada bahasa daerah kian diabaikan karena dianggap tak beresensi dan tidak lebih penting dari bahasa asing, khususnya Inggris.
Padahal, bahasa adalah salah satu indikator penentu yang dominan dalam proses identifikasi suku bangsa. Mudahnya, bahasa dapat diartikan sebagai pembawa identitas suku bangsa yang membedakan satu dengan lainnya. Berpijak pada pengertian tersebut, harusnya masyarakat Indonesia patut berbangga diri. Sebab, merujuk pada data yang dirilis oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Indonesia memiliki 718 bahasa daerah yang masih bertahan eksistensinya. Fantastis, bukan?Â
Tentu, kefantastisan pun kian bertambah karena dengan adanya kemajemukan bahasa dari masing-masing wilayah, masyarakat antar suku pun masih bisa berkomunikasi baik dengan satu bahasa, yakni bahasa Indonesia.Â
Maka, bukan hal yang berlebihan jika bahasa Indonesia disebut juga sebagai bahasa pemersatu bangsa. Mengingat, Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiami oleh beragam suku dengan bahasa dan budaya yang berbeda. Jadi, betapa berharganya bahasa Indonesia dalam proses pemertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Hmmmm, sebelum makin ngelantur, mari kita balik ke pertanyaan awal, yakni, "kenapa harus keminggris?"
Ya, kenapa sih kita harus keminggris? Kenapa makin ke sini, banyak yang seolah-olah mendewakan logat Inggris lantas menjadikannya tolok ukur kebenaran dalam pelafalan berbahasa? Padahal, pelafalan berkaitan erat dengan dialek yang juga bergantung pada berbagai faktor. Dialek, dalam KBBI dapat diartikan sebagai variasi berbahasa yang berbeda-beda menurut pemakainya. Perbedaan itulah yang kemudian menjadi dasar pembeda sebuah kelompok masyarakat dengan kelompok lainnya. Contohnya, kelompok suku Jawa dengan Sunda, kelompok Betawi dengan Batak dan sejenisnya.
Satu hal yang harus dipahami dalam konteks ini adalah kita harus sama-sama menyadari bahwa pelafalan belum tentu sama dengan penulisan. Setiap kelompok masyarakat memiliki caranya masing-masing untuk melafalkan kata di setiap tuturnya. Untuk mempermudah proses pemahaman dapat dicermati contoh pelafalan kata sega pada dialek Surakarta dan dialek Ngapak.Â
Pada dialek Surakarta, kata yang ditulis sega, dilafalkan dengan sebutan sego. Huruf "a" pada kata sega dituturkan dengan vokal "o". Berbeda dengan dialek Ngapak, sega tetap dibaca sega dengan vokal akhir "a". Padahal, dialek Surakarta dan dialek Ngapak sama-sama milik suku Jawa.Â
Namun, kembali pada penjelasan sebelumnya bahwa pada dasarnya bahasa adalah penentu identitas suatu suku, maka hal tersebut dapat diartikan sebagai salah satu bukti bahwa keberagaman bahasa akan mempermudah kita dalam mengidentifikasi sebuah kelompok.
Berpijak pada penjabaran di atas, harusnya kita mulai intropeksi dong!
Eh, tunggu! Kita? Ah, nggak mau ah, kalian aja yang sok keminggris! Iya, kalian para oknum yang memiliki kecenderungan untuk menyalahkan kemampuan berbahasa orang lain karena tidak sesuai aksen British. Sebenarnya, niat kalian baik. Saya yakin di balik upaya pembetulan dalam pelafalan bahasa asing itu sebuah hal yang baik. Namun, hal yang baik pun bisa menjadi keji jika dilakukan dengan terang-terangan, tanpa tading aling-aling lantas menjustifikasi hingga yang dikoreksi tersudutkan. Hmm, kalau sudah begitu, pasti berbagai asumsi liar bermunculan dan ujungnya makin memperkeruh situasi.
Lagian, begini, ya! Menurut saya, pada akhirnya yang terpenting dalam proses komunikasi adalah seluruh oknum yang terlibat di dalamnya memiliki keseragaman tafsir untuk memahami topik yang dibicarakan. Namun, hasil pemikiran tersebut jangan ditelan mentah-mentah, ya!
Kalian juga harus paham bahwa cara kita berbahasa pun bisa dijadikan penentu dasar kepribadian yang akan dinilai oleh orang lain, tepatnya orang-orang baru yang belum sepenuhnya tahu kita ini seperti apa. Jadi, mau sejelek apapun pelafalannya jika memang dia paham apa yang kita maksudkan ya sudah. Selesai. Iya, kan?
Berbeda lagi jika posisinya, dia memiliki kerunutan cara berpikir dan gaya berbicara di depan umum yang baik, namun tidak menguasai materi. Alhasil, pesan yang seharusnya tersampaikan justru menjadi hal yang rumit untuk dipahami.
Oleh karena itu, ada istilah, berbahasalah yang baik dan benar. Baik karena disesuaikan dengan konteks dan situasi, sedangkan benar didasarkan pada kesepakatan pemaknaan terhadap diksi yang digunakan. Benar dalam hal ini tidak memiliki kemutlakan karena pada dasarnya, segala sesuatu yang berhubungan dengan bahasa tidak dapat disalahkan maupum dibetulkan dengan serta merta.
Ada banyak hal yang menyertai setiap kata yang terangkai dalam setiap kalimat. Ada beragam tendensi yang melekat pada setiap teks, yang tentunya berhubungan dengan berbagai sudut pandang interpretasi kalimat.
Haha, rumit, ya?
Memang!
Bahasa memang rumit, jadi jangan tambah diperumit dengan penghakiman atas keberagaman dialek yang digunakan untuk melafalkan bahasa asing.
Tak apa jika tak mampu berbicara bahasa Inggris dengan aksen  British, itu hal yang lumrah karena kita bukan penutur sejati. Tapi, malulah jika kita merasa tidak bersalah saat tidak mengindahkan marwah bahasa sendiri, baik itu bahasa daerah, apalagi bahasa Indonesia.
Yuk, belajar bijak!
Hargai keberagaman dialek yang dilafalkan oleh orang-orang di sekitar kita saat berbicara dengan bahasa asing. Jika memang ada yang perlu dikoreksi, maka benahilah dengan sikap yang santun. Jangan asal menyudutkan dengan seolah-olah kalian paling ahli! Sebab, tidak ada yang kebenaran dan kesalahan mutlak dalam proses berbahasa.
Sekian, terima kasih!
Mari diskusi sehat, jika memang ada yang perlu didiskusikan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H