"Jangan bilang Nia kalau aku sakit ya, Pren! Jangan kabari juga kalau kau di sini karena membantuku, aku takut dia pikiran dan nggak fokus untuk seleksinya," pesan Firman kepadaku.
Tubuhnya yang terbaring lemas di kasur yang belum diganti spreinya ini benar-benar membuatku iba. Bagaimana tidak? 4 tahun kami di tanah rantau ini dan 4 tahun juga aku menghatamkan segala sisinya. Jadi, bukan hal yang berlebihan jika aku menganggapnya seperti saudara sendiri.
"Oh iya, satu lagi. Semisal Nia nyari aku lewat kau, bilang aja aku lagi sibuk. Jangan sampai dia tahu pokoknya dan kalau bisa, selalu cegah dia datang ke sini misal kau tahu dia mau ke kosku!" tambahnya.
Aku mengiyakan segala pesannya dengan anggukan kepala, tepat di saat ponselku bergetar yang menandakan bahwa ada panggilan masuk. Bergegas aku mengambil ponsel tersebut dari saku celana dan mendapati nama Nia yang menelpon.
"Pas kali bah, si Nia nelpon!" celetukku yang lantas mengejutkan Firman.
"Angkat aja, Pren!" katanya. "Pren" adalah panggilan keakraban kami dari awal masuk kuliah hingga detik ini.
"Oiiitttt, gimana?" kataku saat mengangkat panggilan Nia.
"Posisi di mana, Bang? Bisa ketemu?" tanya Nia dengan setengah terisak.
Gawat, sepertinya ada yang janggal. Perasaanku tidak enak, jangan-jangan Nia sedang menangis? Duh.
"Pren, keluar bentar aku ya!" izinku pada Firman yang diiyakannya dengan anggukan kepala.