Aku kira, tepian Toba di malam hari tidak akan sedingin ini. Ternyata aku salah, Mas. Toba lebih dingin dari kita yang telah canggung. Semilir anginnya menusuk jantungku yang sudah lama mengerang karena terinfeksi luka darimu.
Oh, salah, salah.
Bukan darimu, tapi dariku sendiri. Iya, dari aku yang dulu sepercaya itu pada harap-harap semu. Harap yang selalu aku diktekan pada Tuhan, sekalinya aku tahu bahwa kemustahilan adalah ujung dari setiap paksaan yang aku tuntutkan.
Tapi meskipun begitu, aku tetap bersyukur telah menginjakan kaki di danau yang selalu kamu banggakan. Danau yang sering kamu ceritakan keelokannya dengan penuh semangat dan danau yang dulu sempat kamu janjikan akan menjadi tempat kita membunuh waktu selanjutnya.
Kini, semua itu hanya menjadi pemantik lamunku yang mulai nyaman dengan semilir angin dan suara air danau yang sayup-sayup terdengar gemericik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H