Acapkali kita mendengarkan perkataan bahkan menyetujui bahwa lingkungan dapat memengaruhi hingga membentuk perilaku manusia. Perkembangan dipengaruhi oleh faktor lingkungan, demikian seorang filsuf bernama John Locke berpendapat. Ibarat bayi dengan kertas putih yang siap ditulis dengan apa saja yang ada di depannya; demikian lingkungan menjadi salah satu faktor yang dapat memengaruhi kepribadian seseorang. Dapat dikatakan kurang lebih seperti itulah cikal bakal kejadian tragis dalam buku Salah Asuhan, karya Abdoel Moeis ini; Novel dengan tokoh utama bernama Hanafi yang merupakan seorang Bumiputra dari Minangkabau yang sedari kecilnya telah disekolahkan di "negeri orang" dan hidup berdampingan dengan kawan Belanda hingga menganggap bangsanya sendiri tidak lebih dari "orang kampung".
Dalam kehidupan sehari-hari, sadar atau tidak sadar acapkali kita mengalami benturan kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan modern maupun nilai-nilai Timur dan Barat. Hal ini menjadi menarik karena sebuah novel yang diterbitkan tahun 1928, nyatanya masih relevan dengan kehidupan kita saat ini. Dalam buku Salah Asuhan, yang ditulis oleh Abdoel Moeis, seorang sastrawan Indonesia pada cetakan pertama tahun 1928 hingga cetakan ke 44 (empat puluh empat) tahun 2019 ini berisikan 28 (dua puluh delapan) bagian menceritakan gejolak perkawainan campur antarbangsa yang bahkan dianggap lancang pada saat itu. Seorang pribumi "kelas rendah" bernama Hanafi yang sangat mencintai dan kemudian menikah dengan perempuan Belanda bernama Corrie. Bercerita tentang segala upaya yang dilakukan Hanafi untuk menjadi "sepadan" dengan Corrie, hingga meninggalkan bangsanya dengan diakuinya pengajuan permohonan persamaan hak dengan bangsa Belanda oleh Pemerintah Belanda kala itu. Novel ini bercerita tentang berbagai pertentangan-pertentangan yang dianggap menyimpang serta perilaku durhaka dan diakhiri kehidupan tragis yang dialami setiap tokoh.
Salah Asuhan diibaratkan sebagai potret Malin Kundang di Abad 20, kepergian Malin Kundang berlayar dengan kapal saudagar serta pengingkaran janji terhadap ibu kandungnya serupa dengan sikap Hanafi yang menempuh pendidikan di sekolah Belanda dan mengingkari adat ibunya. Persoalan anak muda yang tengah kita hadapi saat ini, yang mudah tergiur budaya Barat dan melupakan jati dirinya seperti dalam Salah Asuhan, bukankah menjadi salah satu hal yang miris dan penting untuk dibicarakan hingga hari ini?
Ketika membaca buku ini, menarik karena sepanjang sejak tahun 1928 hingga tahun 2022 saat ini, telah banyak perubahan-perubahan maupun benturan budaya yang tidak lagi begitu berbenturan layaknya zaman Hanafi; bahkan pokok utama dari buku ini yaitu perkawinan campur antarbangsa. Perkawinan campur antarbangsa di masa kita saat ini bahkan menjadi hal yang galib. Oleh karena itu, kita kemudian dapat melihat cerita yang disuguhkan dari berbagai sudut pandang hingga melihat perbandingan kondisi-kondisi yang kita alami hingga hari ini. Apakah kemudian perkawinan campur antarbangsa yang galib kita jumpai dewasa ini berarti berhasil mengikis budaya kita yang diceritakan pada zaman Hanafi? Sejatinya, bukan persoalan benturan budaya apa yang terjadi, namun bagaimana kita menyikapi benturan budaya yang ada dan dapat hidup berdampingan dengan benturan tersebut. Seiring dengan perkembangan zaman dan era digitalisasi serta kemudahan teknologi, masuknya budaya lain tidak dapat kita hindari. Hal tersebut diluar kendali kita; oleh karena kita tidak bisa mengontrol hal-hal yang diluar kendali kita, kita dapat mulai dengan mengontrol hal-hal yang didalam kendali kita; seperti pikiran kita, sikap kita dan segala hal yang berkaitan dengan kita. Kita dapat mengendalikan cara kita menyikapi benturan-benturan budaya yang terjadi dengan menyeimbanginya. Baiknya kita menerapkan konsep akulturasi, yaitu proses adaptasi kebudayaan dengan tetap mempertahankan kebudayaan yang ada, sehingga proses ini tidak berjalan secara tunggal, melainkan terjadi secara dinamis. Kehidupan ini bersifat dinamis, layaknya perkawinan campur antarbangsa yang merupakan masalah yang sangat besar pada zaman Hanafi, namun galib kita jumpai dewasa kini. Dalam kehidupan yang dinamis, kerap kaitannya dengan perubahan. Artinya dalam kehidupan, kita harus siap dengan perubahan dan adaptasi diri. Layaknya Covid-19 yang melanda dunia tahun 2020, membuat kita harus adaptasi pembatasan sosial dan perubahan budaya dengan menggunakan masker ketika bepergian, misalnya.
Sesungguhnya, budaya menjadi salah satu hal yang kompleks untuk dibahas karena budaya tidak tertulis layaknya Undang-Undang. Budaya dapat pula diartikan sebagai perilaku turun-temurun yang dilakukan hingga menjadi kebiasaan. Kebiasaan dapat melahirkan kebudayaan. Seringkali kita hidup berdasarkan adat kebiasaan kita. "Jika hendak hidup aman, turutlah yang banyak di dalam hal adat kebiasaannya". "Masuk kandang kerbau menguak, masuk kandang kambing mengembek" --hlm 292. Begitulah pakaian hidup orang di tanah air Indonesia. Pada umumnya budaya timur lebih condong pada wujud budaya yang mengutamakan norma kesopanan dan ramah tamah, sedangkan budaya barat fokus pada kebebasan Individu. "Apakah harganya hidup ini, kalau seorang manusia masih tidak ada kelonggaran kepada sesamanya manusia pula, di dalam hal melakukan hidupnya sendiri?" -- hlm 292. Dapat dilihat bahwa Hanafi benar-benar memegang paham budaya barat akibat lingkungan yang sedari kecil ia miliki bersama bangsa Belanda. Hanafi disekolahkan jauh di negeri orang, tinggal bersama bangsa Belanda dengan harapan ibunya Ia dapat menjadi "seseorang". Mirisnya, sosok "seseorang" yang kemudian dibawa Hanafi kepada ibunya justru sosok "seseorang" yang berbeda, Ia meninggalkan keluarga bahkan bangsanya dan menikah dengan Corrie; mirisnya, tanpa restu kedua belah pihak orang tua, nyatanya perjalanan cinta mereka tak seindah yang dibayangkan. Mereka dikucilkan dari masing-masing bangsa dan menderita hingga Corrie akhirnya mendahului Hanafi menuju alam baka dan Hanafi berujung mengakhiri hidupnya.
Kisah larangan perkawinan campur antarbangsa sejatinya muncul akibat ketakutan tetua-tetua akan kehilangan identitas bangsa kita sendiri. Tidak dapat dipungkiri bahwa melalui perkawainan campur, dapat mengakibatkan "krisis identitas", contohnya perkawinan campur antara suku Bugis dan suku Kaili, ketika memiliki anak, anak-anak mungkin dapat bingung harus mengaku sebagai suku apa dan harus mempelajari suku apa. Namun bukankah jika kita dapat meyakinkan tetua-tetua tersebut bahwa anak kita tidak akan mengalami "krisis identitas" namun mendapatkan "kekayaan budaya" dengan berbagai budaya yang ia miliki tanpa menghilangkan budaya manapun layaknya konsep akulturasi tadi, maka persoalan selesai? Poin penting yang ingin dibawa dalam kisah  ini adalah bagaimana kita harus mampu menghormati budaya bangsa kita maupun bangsa lain. Kita harus pandai bergaul, jangan samapi lupa daratan dan terbawa arus, jangan sampai mengikuti budaya asing dan melupakan budaya sendiri.
Sebagai penutup, novel lawas ini sungguh menjadi tetap berharga untuk kembali dibaca. Utamanya bagi generasi muda penerus bangsa Indonesia; dimana kepemudaan adalah berbagai hal yang berkaitan dengan potensi, tanggung jawab, hak, karakter, kapasitas, aktualisasi diri dan cita-cita pemuda (UU 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan) artinya pemuda memiliki peran besar dan bertanggung jawab dalam masa depan bangsa, layaknya perkataan Bapak Ir. Soekarno "Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia". Pemuda lah sebagai tonggak dalam terus melestarikan dan melindungi budaya kita, Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H