Â
Pesatnya kemajuan alat teknologi informasi di era saat ini, makin mempermudah penyebaran informasi kepada publik. Di zaman belum mewabahnya paket data internet, gawai dan perangkat elektronik modern lainnya, informasi atau kabar berita biasanya didapat satu hari atau beberapa jam setelah terjadinya peristiwa. Kini, hanya dalam hitungan detik, publik bisa mengakses informasi dan berita yang terjadi lewat gawai yang dimiliki. Meskipun peristiwa atau berita itu terjadi di belahan bumi di ujung sana. Â
Pesatnya penyebaran informasi ini merupakan efek dari perubahan yang terjadi dalam proses komunikasi manusia. Perubahan ini juga membawa serta kemajuan alat teknologi informasi. Jika dulu, manusia saling berkomunikasi hanya lewat surat-surat yang dikirim via pos, kini manusia bisa mengirim pesan komunikasinya via email atau bahkan langsung via jejaring media sosial yang ada di gawai.
Pesatnya pemakai gawai ini tentu merupakan sebuah kemajuan yang begitu besar bagi peradaban manusia. Lalu lintas percakapan lewat berbagai platform yang ada, membuat manusia seperti dibanjiri informasi. Ironisnya, penyebaran informasi yang begitu pesat ini tak disertai dengan pemahaman yang begitu luas para pengguna gawai dalam hal membedakan informasi yang benar.
Padahal, dalam situasi seperti ini, informasi yang beredar tak hanya berisi informasi yang benar saja. Tak jarang ada juga informasi bohong, hoax, dan tak mengandung kebenaran, membanjiri lini masa media sosial. Pertanyaannya, lalu siapakah yang bertanggungjawab atas persebaran bohong atau hoaxs yang terjadi di lini masa media sosial yang belakangan ini sering meresahkan masyarakat?
Beberapa hari lalu, beredar video yang berisi tayangan siswa dan siswi SMP, laki-laki dan perempuan, tepatnya SMPN I Ciawi, Bogor sedang berdansa di tengah-tengah halaman sekolah. Keduanya berdansa di depan siswa-siswi SMA lainnya. Gerakan keduanya lincah. Menarik. Dan mengundang tepuk tangan dari siswa-siswi lainnya yang sedang menonton keduanya saat berdansa.
Lini masa media sosial pun mulai gaduh. Narasi-narasi negatif mulai bermunculan. Netizen dari berbagai penjuru menghakimi kedua siswa-siswi SMP yang sedang berdansa itu. Dibilang bukan muhrimlah. Dibilang anak SMP itu harus banyak belajarlah. Bahkan komentar sampai yang paling sarkas pun bermunculan, "anak laki kok gemulai", "kalau berdansa jangan pakai jilbab dong".
Ternyata, setelah video tersebut diklarifikasi oleh pihak sekolah, kedua siswa-siswi SMP tersebut memperagakan dansa yang mengantarkan mereka menyabet 4 emas di ajang Pekan Olahraga Provinsi (Porprov) Jawa Barat 2022 dari cabang olahraga Dance Sport.
Begitulah wajah media sosial kita saat ini. Dipenuhi dengan berita bohong, hoax, dan narasi-narasi yang menyudutkan seseorang tanpa tahu kebenaran dari apa yang ditonton. Kembali pada pertanyaan di atas sebelumnya. Lalu siapa yang bertanggungjawab atas mewabah dan tersebarnya kabar-kabar bohong itu?
Agus Sudibyo dalam Jagat Digital Pembebasan dan Penguasaan mencatat adanya pandangan terkait hal ini. Pandangan tersebut ialah mereka yang menyatakan tentang analogi jalan raya. Menurut pandangan ini, layanan media sosial seperti Facebook, Youtube, Twitter, Instagram dan aplikasi perpesanan semacam WhatsApp dan Telegram, sering diumpamakan sebagai jalan raya yang disediakan secara gratis untuk semua orang. Sederhananya, menurut mereka yang berada di kelompok ini, perusahaan penyedia layanan media sosial itu telah mewakafkan teknologi dan fasilitas penyimpanan data yang mereka miliki untuk digunakan secara cuma-cuma oleh semua orang di seluruh penjuru dunia. Maka dengan demikian, bila terjadi penyebaran kabar bohoang, hoax dan sebagainya, tidaklah patut menyalahkan perusahaan penyedia layanan media sosial itu.
Seperti diketahui bersama, bila teradi penyebaran berita bohng, hoax dan ujaran kebencian di media sosial, aparat keamanan biasanya hanya menindak para pembuat hoax dan ujaran kebencian itu. Padahal, tanpa banyak disadari, Facebook dan media sosial lainnya sebenarnya diuntungkan dengan adanya kontroversi hoax. Makin kontroversial hoax, makin banyak pengguna atau engunjung platform media sosial dan makin banyak pula data perilaku pengguna internet yang mereka dapat. Di tahap ini, akan makin cerdas algoritma produk kecerdasan buatan mereka sehingga makin besar potensi pendapatan iklan mereka.