Lika liku kehidupan adalah realitas. Sebuah realitas memang harus dijalankan. Menjalankannya dengan penuh rasa keikhlasan. Ikhlas sesungguhnya lahir dari kesadaran diri. Kesadaran yang terpaut kokoh pada Sang Penguasa Alam Semesta. Tanpa Sang Penguasa Alam Semesta hidup akan hampa. Makna kehampaan hidup adalah kehampaan jiwa. Kehampaan yang tiada setetes air keimanan, keikhlasan dan kesabaran menyertai insani menuju keabadian. Perbuatan insani menyebabkan air keimanan, keikhlasan dan kesabaran sirna dalam lika liku kehidupan. Sosok insani yang belum insyaf dalam setiap langkah kehidupannya, kemudian menjelma menjadi “Manusia Naif”. Mengapa demikian?, kadang keinsyafan tiada pernah mampu untuk didefenisikan, karena faktanya dunia menjadi nyata.
Kesucian bulan Ramadhan tidak lain dan tidak bukan untuk mendefenisikan yang belum terdefinisi. Ramadhan diharapkan sebagai bulan untuk membersihkan diri dari dosa selama hidup yang dijalani tanpa kesadaran, walau diyakini “sadar”. Kesadaran manusia dengan syarat-syarat pada keyakinan yang hakiki, tentu merupakan hal yang utama. Baik kesadaran tauhid maupun kesadaran kefanaan dunia. Hidup ini kuncinya adalah keseimbangan. Baik lisan, pikiran dan perbuatan. Pemaknaan terhadap kesadaran itu seharusnya juga mendalam. Tetapi, dalam prakteknya seringkali dijebak oleh suasana, waktu dan ruang. Sehingga antara lisan, pikiran dan perbuatan seolah tidak sejalan. Semua diisi ruang-ruang hampa dalam diri yang sempat merasa puas atas keimanan ini.
Kehampaan jiwa mengikuti aliran air dalam keruhnya suasana hati. Semua bercampur aduk menciptakan suasana yang tidak menentramkan. Fakta kehidupan menjadi simbol kokoh dalam keseharian, tanpa mau sempat diberikan makna. Fakta itu tidak bicara selayaknya manusia, tapi dapat disaksikan dan dinikmati. Kumpulan fakta menjadi cerita dalam kehidupan, kemudian hilang tanpa saksi-saksi kunci. Itulah kadang manusia terjebak dalam kedirian dan keegoan pribadinya.
Rangkaian peristiwa yang panjang, dalam fakta yang dinikmati, semua akan terus terulang tanpa rasa bersalah. Ketika semua terlanjur terlalu jauh dan menjelma menjadi sebuah “noda hitam” dalam jiwa, hati dan realitas hidup. Maka, ketika itu semua berubah menjadi sebuah gelombang tsunami yang maha dahsyat. Mau lari kemana sosok insani. Tidak ada tempat untuk mengadukan diri, kecuali bersimpuh kepada Sang Penguasa Alam Semesta. Kemunculan kesadaran akan “noda hitam” adalah kesadaran yang disertai pengakuan diri bahwa betapa diri ini lemah dan tidak berdaya di harapan Sang Penguasa Keabadian. Pengakuan betapa selama hidup bertumpuk-tumpuk dosa telah dilakukan, disadari atau tidak disadari. Dosa besar atau dosa kecil. Pada saat itu timbul suatu perubahan sikap hidup. Dari pandangan kesadaran hidup yang fana. Ketidakkekalan apa yang dimiliki sampai kepada penghindaran penyakit hati.
Anehnya, perbuatan manusia nista masih dapat dikatakan kebaikan oleh insani. Padahal, kenistaan tidak dapat dikatakan sebuah kebaikan. Kenistaan dalam nafsu duniawi yang berulang-ulang tetap kenistaan. Hidup dalam kemunafikan dan lingkaran kebaikan-kemungkaran, keberanian-ketakutan, dan kemauan-ketidakmauan. Itulah nafsu duniawi. Apa mau dikata “nasi sudah menjadi bubur”. Namun, bagaimana “bubur” itu menjadi makan enak dan lezat ketika disajikan. Selanjutnya dibuatlah “bubur ayam” yang diberi bumbu-bumbu sehingga terasa lebih lezat daripada nasi yang matang. Ketika mecarik bubur harus dipersiapkan mental insani. Siapkah kita mengubah nasi menjadi bubur ayam terbaik. Siapkah kita menyajikan dan menghidangkan bubur ayam terbaik yang siap disantap oleh konsumen terbaik. Semua tergantung pada mentalitas manusianya.
Setiap sudut pandang harus didialogkan. Upaya dialog menyebabkan kita sadar akan kekurangan dan kelebihan kita, sehingga pada titik tertentu kita tidak merasa dikecewakan atau bahkan menang dengan kenakalan kita. Tidak ada kesalahan yang tidak dimaafkan. Allah Sang Penguasa Alam Semesta akan selalu memaafkan hamba-hamba-Nya yang benar-benar memohon ampunan dari-Nya dengan kesungguhan dan keseriusan. Tujuan kesungguhan dan keseriusan adalah ketakwaan.
Ketakwaan menjadi kunci untuk membangun hubungan baik antar manusia dengan Allah dan manusia, dan sesama manusia. Sampai pada titik tertentu akan timbul berbagai macam perasaan. Perasaan bersalah, menyesal dan terhina. Titik lain akhirnya timbul kesadaran hati bergetar dan air mata mengalir dengan ikhlas. Timbul kesadaran hakiki lahir dari karunia ilahi. Titik terakhir muncul keinginan diri untuk bertobat “taubatunnasuha”. Tobat sebenar-benarnya tobat, dengan menanamkan dalam diri pada tingkat nurani yang dalam untuk tidak melakukan kembali apa yang telah dilakukan. Namun dapatkah tobat ini direalisasi dalam diri yang “hina dan nista” ini, tentu komitmen berada di garda terdepan untuk mencapai pengampuan dari Allah.
Namun, kadang keterlenaan diri menyebabkan diri hanyut dalam alunan kehidupan duniawi terasa tiada bertepi. Menciptakan sesuatu yang bukan sebenarnya. Mulai dari harapan, impinan dan cita-cita hanya bagian yang akan hilang. Kebahagiaan, suka cita dan keramaian semua bagian yang tak dapat dijelaskan dengan kata-kata saja. Berpadu dalam kemuliaan dan keangkaramurkaan. Kemana diri ini akan berlabuh?. Kemana dosa-dosa hendak disembunyikan?. Semua tiada bisa jelaskan dengan kata-kata. Semua harus dimulai dengan kesadaran diri yang bermuara pada tauhid kepada Sang Penguasa Alam Semesta. Selanjutnya terserah manusianyamanusia. (Afriantoni Al Imrani-Al falembani: Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Raden Fatah) Email: afriantoni_uin@radenfatah.ac.id, Note: Artikel pernah diterbitkan pada Bulletin Tinta LPM Ukhuwah UIN Raden Fatah Palembang
Buletin Tinta Edisi 31, Jumat 17 Juni 2016
Seputar Kampus : Minat UMPTKIN Turun 20%, UIN RF Tetap Jadi Pilihan
Tips : Meningkatkan Daya Ingat
Syiar : Kesadaran "Noda Hitam" oleh Afriantoni Al Falembani (Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN RF)